Posted by
Fahrizal
|
0
comments
DASAMUKA BANGUN KARYA HENKY B HERNOWO
DAFTAR ISI
.
PEMBUKA
- NASEHAT IBU
TERCINTA…………………………………………………………………..
- ALENGKADIRAJA………………………………………………………………………….
- FITNAH, FITNAH DAN FITNAH…………………………………………………………..
- PERSEKONGKOLAN……………………………………………………………………….
- BIANG
KELADI……………………………………………………………………………..
- SEKALI DUSTA TERUS
DUSTA…………………………………………………………….
- KIJANG KENCANA AWAL
BENCANA…………………………………………………..
- JATAYU YANG
MALANG…………………………………………………………………..
- TRAGEDI GOA
KISKENDO………………………………………………………………..
- SHINTA MENCARI
SUAKA………………………………………………………………..
- MANDIRI, CINTA
BERSEMI……………………………………………………………….
- AJAKAN
BERDAMAI……………………………………………………………………….
- WIBISANA
PENGKIANAT………………………………………………………………….
- RAMA TAMBAK…………………………………………………………………………….
- PETAKA DICELAH BUKIT
KEMUNING…………………………………………………..
- ISTERI RAHWANA DAN PUTERANYA
DISANDERA……………………………………
- PATI
OBONG………………………………………………………………………………..
- GEGER JONGGRING
SALOKA……………………………………………………………
- PELELANGAN BUDAK
BETINA…………………………………………………………..
- SANG
PUJANGGA………………………………………………………………………….
- SEMAR
KEPILUT…………………………………………………………………………….
- BANJIR BANDANG SHINTA
MINGGAT………………………………………………….
- SERANGAN
KELANGIT…………………………………………………………………….
- SUKSESI
DIALENGKA………………………………………………………………………
- PATUNG PAHLAWAN……………………………………………………………………..
- PURI DILEMBAH
RAHTAWU……………………………………………………………..
- RAMA TAKLUK, TERBONGKARNYA
KEDOK……………………………………………
- PERTEMUAN DENGAN BUAH
HATI…………………………………………………….
- PERDAMAIAN DAN
PERADILAN……………………………………………………….
- HIDUP
BAHAGIA…………………………………………………………………………..
PEMBUKA
Disini penulis menyajikan lakon “DASAMUKA
BANGUN”, adalah ceritera fiksi yang mengkisahkan lakon wayang dari negeri
Alengka dengan versi yang berbeda. Maka sebelum membaca buku ini, penulis
menyarankan kepada pembaca terlebih dahulu untuk membersihkan diri dari
belenggu-belenggu hati yaitu upayakan berprasangka baik, berpikir merdeka,
jadilah bijaksana, berpikir secara adil dan ingat bahwa semua kebenaran
bersumber dari Allah SWT. Mengapa demikian, sebab ini adalah ceritera fiksi
yang sangat kontroversi berbeda dengan ceritera Ramayana yang beredar selama
ini. Diceriterakan disini bahwa, ditinjau dari sudut pandang atau kacamata
pewayangan yang lahir dan dibesarkan di Alengkadiraja, maka kebanyakan dari
mereka mempunyai pendapat berbeda-beda didalam mengungkap nilai-nilai
kemanusiaan.
“DASAMUKA BANGUN” ini adalah kisah fiksi yang memang berbeda dengan ceritera klasik
Ramayana dimana kebanyakan orang selalu berpihak kepada Ramabadra. Biasanya
orang selalu melihat penokohan dalam wayang secara hitam putih, ada yang baik
dan ada yang buruk, yangmana penonton dipaksa menerima apa adanya. Bahwa
menganggap kesatria Ramabadra dalam ceritera Ramayana atau para Pandawa dalam
ceritera Mahabarata serba baik. Kedua epos tersebut sepertinya membenarkan
bahwa didunia wayang hanya milik laki-laki saja yang berhak jadi pahlawan,
padahal perang keduanya ternyata dipicu oleh kasus pelecehan terhadap wanita.
Didalam kehidupan nyata tak ada yang mutlak baik dan mutlak buruk. Dua
watak saling bertentangan ini dipunyai pada diri manusia secara bersama-sama.
Pada hakekatnya tak ada seorang didunia yang sama sekali jahat atau sama sekali
baik. Disini pembaca kami ajak kedunia dongeng ini untuk menyeberang dari
kehidupan Rama berganti melihat kehidupan Rahwana, untuk menyaksikan banyak
kehidupan di Alengkadiraja dimana tiap-tiap orang dapat memastikan apa yang
betul dan apa yang salah, baik dan buruk serta tata kramanya. Harapannya hasil
penyeberangan ini bisa menjadi yakin bahwa mahkluk manusia yang mencoba
mengadili mahluk manusia lain sebenarnya punya peran yang agak sulit. Oleh
karena itu bila mahkluk manusia tersebut tidak ada wewenang untuk mengadili,
maka sebaiknya berbuat yang lain dengan pikiran yang luas untuk mengenal
perikemanusiaan dan belajar mengerti mengapa orang-orang berbuat sesuatu,
daripada mengutuk perbuatannya itu saja.
Pada pagelaran wayang untuk
lakon “DASAMUKA BANGUN” ini bisa diatur melingkar, dimana posisi sang
dalang memainkan boneka wayang berada ditengah-tengah, tanpa kelir, cukup ada
gedebok untuk menancapkan boneka wayang. Dalang dikelilingi pesinden dan
niyaganya, juga penontonnya yang menyaksikan pertunjukan duduk secara
melingkar, coba bayangkan seperti formasi bangunan Stupa pada candi Borobudur
di Jawa Tengah atau Ka’bah di masjidil Haram di Mekah atau Stadion Senayan
sewaktu ada pertandingan sepak bola. Disini antara dalang sebagai pembawa
ceritera dan penonton bisa berdialog. Sang dalang didalam mengekspresikan
tokoh-tokoh wayang bisa sambil duduk dan juga bisa berdiri pada saat mengajak
berdialog dengan para penontonnya, disini Penonton boleh mengomentari
tokoh-tokoh wayang saat dimainkan dalang, memberikan kritik atau saran masukan
sebagai luapan isi hatinya. Seru, merakyat dan apresiatif ! ayo kita mulai dan
simak baik-baik ceriteranya dengan urut,
1
NASEHAT
IBU TERCINTA
Kala
itu Togog yang berada dialam dongeng, persisnya dinegeri Alengkadiraja dimana
dia selalu setia mengikuti dan ngemong layaknya punakawan yaitu pada majikannya
Rahwana, yang posisinya didunia pakeliran selalu dikiwakke. Togog hanya
tersenyum saja, dewasa ini orang-orang dari dunia pakeliran menganggap hal-hal
yang berbau kiwa itu konotasinya selalu jelek, kotor, bersalah, jahat,
dosa dsb….pokoknya tidak disukai. Lihat saja tangan kiri, apa yang
dilakukan tangan kiri, keseharian urusan kotoran adalah bagian dia, tapi yang
ia lakukan itu adakah sanjungan atau pujian datang padanya? Jarang, bahkan
tidak sama sekali, malahan umpatan jika dia memberikan uluran tangan kirinya
atau memberikan sesuatu meskipun bukan kotoran, tetap dikatakan….”kemproh,
tidak sopan, menghina dsb!”…
Benarkah kiwo itu
negative, apakah mereka yang punya pemahaman kanan pernah memperhatikan dari
belakang pakeliran, dimana jajaran kanan berubah menjadi kiri, nah yang kiwa
apakah tetap mereka nilai negative? Ibaratnya orang naik kereta api, pandangan
orang diluar kereta api mengatakan
kereta api tersebut bergerak meninggalkan dia, tetapi bagaimana pandangan
mereka yang diam didalam kereta, dengan melihat keluar kenyataannya bahwa
sawah-sawah, tiang listrik dan pepohonan yang bergerak atau berjalan
meninggalkan dia, atau orang naik pesawat terbang melihat keluar jendela
pesawat terlihat awan berjalan atau yang bergerak sedangkan dia anteng diam
didalam pesawat, dengan contoh tersebut mana yang benar-benar bergerak ?
Togog tidak
sependapat, dia berkeyakinan bahwa manusia karena kodrat kenisbiannya sehingga
punya keterbatasan didalam menilai suatu kebenaran. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa
saja yang berhak memberikan penilaian tentang kebenaran mutlak, mungkin bisa
jatuh yang kanan atau yang kiri. Hanya Dia, tak ada yang lebih tinggi dariNya,
lebih benar dan lebih mutlak selain Dia. Segala apa selain Dia, nisbi dan lemah
sifatnya. Togog berpendapat bahwa manusia hanya pantas mencari kebenaran dengan
imannya, meskipun bersifat lemah dan terbatas, orang-orang didunia pakeliran
sanapun berhak merasa benar dengan imannya, apabila mereka juga mampu
memberikan hak yang sama kepada orang-orang yang berada dibalik pakeliran.
Sebaliknya jika tidak, akan muncul tiran-tiran kecil yang merasa telah berada
pada kebenaran tertinggi.
Togog kemudian
ikut masuk kekaputren memenuhi panggilan bandoronya Dewi Sukesi. Kaputren
Alengka terlihat regeng dimana Dewi Sukesi janda Resi Wisrawa sedang
dikerumuni keempat putera dan puterinya mendengarkan wejangan dan
nasehat darinya. Setelah suaminya meninggal dunia beberapa tahun yang lalu Dewi
Sukesi merawat sendiri keempat puteranya dengan penuh kasih sayang. Dan sudah
menjadi tradisi keluarga dimulai sejak dari suaminya masih hidup yaitu pada
setiap hari Respati Kasih, dimana keempat puteranya selalu ia kumpulkan untuk
menjalin silahturahmi dan menerima wejangan atau santi-aji dari orang
tuanya.
Keempat puteranya sekarang telah dewasa dan
sudah mandiri jadi orang tua, puteranya yang paling besar diberi nama Rahwana
atau Dasamuka, putera kedua diberi nama Kumbokarno, putera ketiga adalah puteri
diberi nama Sarpakenaka dan putera keempat diberi nama Wibisana. Tradisi
kumpul-kumpul keluarga tetap Dewi Sukesi lestarikan meskipun suaminya Resi Wisrawa
sudah tiada, dengan lembut Dewi Sukesi memberi wejangan dan santiaji kepada
keempat buah hatiya yang ia sayangi,
……”kalian harus wujudkan misi ini, agar
perempuan-perempuan dinegeri kita Alengka ini menjadi perempuan yang
merdeka!”……
demikian inti nasehat dari ibunda tercinta
kepada keempat putera puterinya. Topic nasehat kali ini soal perempuan.
Mengapa harus
perempuan? Memang benar nasehat Dewi Sukesi sampai saat ini para perempuan
didunia ini masih dibawah cengkeraman keangkara murkaan dan dunia ini masih
menjadi sarang ketidak adilan. Masih jauh upaya-upaya untuk melindungi dunia
ini dan membangun menjadi dunia yang menjadi orang-orang yang bersahabat,
sampai pada lingkup paling kecilpun yaitu keluarga saja masih jauh dari
harapan, keluarga yang semestinya adalah satu tempat kasih sayang, dengan
wanitanya rumah tangga benar-benar menjadikan satu tempat cinta dan keibuan,
dimana tidak ada gangguan macam-macam pekerjaan tetek bengek yang bisa
mematahkan tulang belakang perempuan bekerja hingga jauh larut malam untuk
diselesaikan, tapi kenyataannya lain hingga sekarang masih ada perbudakan
terselubung terhadap perempuan.
…..”Rumah tangga adalah tempat dimana
laki-laki, perempuan dan anak-anaknya hidup bersama bagaikan burung dalam
sarangnya. Pekerjaan rumah tangga yang mereka kerjakan dilandasi kemerdekaan
kemauan dan kegembiraan. Disarang ini laki-laki dan perempuan memenuhi
kodratnya, melimpahkan turunannya dengan pemeliharaan dengan penuh kasih sayang
yang tiada gangguan dimana satu sama lain menjalin kerukunan tidak saling
menindas atau merendahkan satu dengan yang lain, disitu tidak ada perempuan
yang tertindas berakibat tubuh dan jiwanya remuk tertimpa beban hidup
sehari-harinya. Disarang ini tidak ada anak dipisahkan dari ibunya dan ibu
berpisah dengan anaknya, meskipun sang ibu pagi-pagi keluar pergi
kepekerjaan.”……
Dewi Sukesi berhenti sejenak dan tersenyum
geli melihat Wibisana sedang epyek mengganggu dan bermanja-manja dengan
kakaknya Sarpakenaka.
…..“Sang ibu yang berkarya keluar rumah bukan halangan
untuk membina rumah tangga, rumah tangga dan pekerjaan dapat saling mengisi
satu sama lain. Wanita sebagai ibu tetap memelihara anak, wanita sebagai isteri
dan ibu menjalankan rumah tangga semua itu dalam kesenangan dan dengan
kemerdekaan bisa memilih. Semuanya itu sebagai amal kasih dan amal bahagia,
tapi itu semua akan berhasil bilamana ada dukungan dari anggota keluarga dan
masyarakat.”…..
Rahwana langsung
bisa menebak yang dimaksud ibunya yaitu solusinya adalah kolektivitas, adalah
merupakan kunci keberhasilan rumah tangga yang bahagia. Kolektivitas dalam
arti kebersamaan, kekeluargaan dan kesosialan. Dengan memberdayakan
masyarakat, misalnya urusan masak sudah bisa dioperkan keluar dengan membeli
pada penjual ideran atau berlangganan dikedai-kedai makanan. Pakaian bisa
dibeli ketoko tanpa harus menjahit sendiri. Pembuangan sampah atau keamanan
bisa dioperkan atau diselenggarakan ke-Rt lingkungan-an atau jasa partikelir.
Air minum bisa berlangganan pada perusahaan air minum atau kios-kios air mineral
apalagi sekarang telah ada produk air mineral dalam kemasan, demikian juga
listrik penerangan dsb.
Pekerjaan rumah
tangga yang bisa dikeluarkan atau dikerjakan oleh umum secara kolektivitis,
entah itu berupa paguyuban, masyarakat atau Negara ini akan meringankan
perempuan atau ibu rumah tangga, meskipun harus mengeluarkan dana untuk
keperluan tersebut. Dengan demikian perempuan yang berkarya diluar, tidak lagi
ia kalau sore pulang dari pekerjaan, dirumah lantas masih terpaksa lagi
membanting tulang, mengulurkan tenaga, memeras keringat. Tidak lagi badannya
keletihan kalau besok paginya bangun dari tempat tidurnya, kemudian masih lesu
kalau berangkat kerja.
Masyarakat
sendiri kemudian juga akan menjadi sibuk, dunia wiraswasta akan tumbuh subur
dan banyak membuka lapangan pekerjaan, kesempatan kerja ada dan tidak ada
pengangguran. Kemakmuran dan kesejahteraan akan tercipta dengan sendirinya. Perempuan
menjadi merdeka, sepulangnya dari pekerjaan, ia akan cukup waktu untuk
beristirahat, cukup waktu untuk berkasih-kasihan dengan suaminya dan
anak-anaknya. Cukup waktu untuk menambah ilmu pengetahuan dan belajar sastra,
atau ikut kegiatan social, kumpulan arisan warga, membantu posyandu dan lansia
atau kursus-kursus dan pelatihan ketrampilan. Tidak njublek saja dirumah
plongah-plongoh.
“Dan kamu Rahwana, setelah kamu memenangkan
pemilihan raja di Alengka diantara para putera dan cucu-cucu Prabu Sumali, ibu
berikan santi aji agar selalu kamu ingat sebagai pegangan pada saat kamu
memulai memimpin negeri Alengka ini, coba dengarkan…dst..dst!”…..
Rahwana mendengarkan nasehat dari ibunya
dengan serius, demikian juga adik-adiknya Kumbokarno, Sarpakenaka dan sikecil
Wibisana.
Diantara
nasehat-nasehatnya tentang cara mengatur dan memimpin negara dijelaskan bahwa,
sebuah bangsa itu adalah merupakan sarana kokohnya negara, maka dari itu jangan
sekali-kali menyepelekan bangsa sendiri, agar supaya mendapatkan anugerah,
tercipta berdirinya bangsa yang kuat andhana warih. Negara itu tidak
akan berjalan dengan baik, bila tidak mempunyai angger-angger atau
undang-undang yang merupakan kekuatan negara yang berdasarkan isi kalbu
warga negaranya. Ikutilah santiaji ini agar sukses didalam pengabdian kepada
masyarakat didalam memimpin bangsa dan negara yaitu, ”Ing ngarsa asung
tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”.
Negara kita ini
akan bisa tenteram, bila murah sandang dan juga pangan, dikarenakan rakyatnya
suka bekerja dengan giat, juga pemimpinnya mempunyai watak, ”berbudi bawa
leksana”. Oleh karena itu seorang pemimpin jangan sok atau sombong dan
berkuasa sendiri, sebab pada saatnya sang pemimpin pension dan tidak berkuasa
lagi maka dikemudian hari bakal ora
kajen atau tidak dihormati setelah hidup kembali ditengah masyarakat.
Pemimpin harus
selalu ingat bahwa sebenarnya masih ada orang yang bisa mengalahkan dia
dibidang apa saja. Janganlah lupadaratan dan senang yang berlebihan selagi
masih berkuasa, dan merasa mangkel selagi tidak memegang kekuasaan lagi. Sebab
kesemuanya itu rejekinya sudah ada yang mengatur.
Bila seorang
pemimpin tidak mempunyai watak berbudi bawa leksana, simpati dan dukungan
wadyabala yang jadi unggulannya negara itu tidak suyud lagi dan bisa timbul
keinginan merebut kekuasaan negara. Jangan sok menang-menangan sendiri sehingga
menimbulkan negara dan bangsanya terpecah-belah, harus suka lakukan musyawarah
untuk menjaga ketentraman batin.
Demikian juga
Wadyabala dan pamong praja yang dekat dengan rakyat kecil itu akan menjadikan
kegembiraan dan kebanggan rakyat yang bisa membuat Negara menjadi kokoh serta
merupakan benteng atau perisai negara. Pemimpin-pemimpin Wadyabala dan pamong
negara juga harus ikut membuat ketentraman rakyatnya, sebab kalau tidak maka
bisa terjadi rakyat berontak dan akan merebut kekuasaan negara dengan caranya
sendiri.
Demikian pula
para pemuda dan pemudinya, gemar dan giat belajar ilmu pengetahuan dan mau
mempraktekan ilmu-ilmu yang didapatkannya untuk berkarya dimasyarakat, sehingga
akan membuat kokohnya negara, menjadi bangsa yang unggul yang bisa bermanfaat
bagi kesejahteraan bangsa dan negara, negara kuwat itu karena rakyatnya senang
hidupnya dan dihormati oleh negara-negara lain.
Pemimpin yang
baik, semua yang tidak baik harus dibenahi agar bisa menjadi baik, sedangkan
yang tidak bisa diperbaiki harus disingkirkan agar tidak mengganggu atau
menular pada yang sudah baik. Hati-hati memilih seorang pemimpin, teliti dulu
mulai dari mana dia berasal dan kehidupan kesehariannya apakah bisa dijadikan
panutan. Jangan sampai keliru sebab negara bila sampai diperintah orang yang berwatak
tidak baik, semuanya bisa terbalik dimana yang baik bisa dikatakan buruk atau
yang buruk dikatakan baik. Sebaliknya bila terpilih pemimpin yang punya watak
baik, disitu kejujuran adalah landasannya sehingga dia akan melakukan hal-hal
yang baik baik saja.
Kemudian
peperangan itu bisa dikatakan baik bila tujuannya adalan menuntut keadilan atau
merebut kemerdekaan negara dan bangsanya. Sedangkan melakukan perang yang
tujuannya untuk menjarah milik orang itu tidak baik dan terkutuk.
Bila kita cermat,
meneliti hakikat yang melatar belakangi berbagai peristiwa peperangan antar
manusia bahwa, setiap peperangan, pergolakan atau kekacauan yang sering
menumbalkan kehidupan manusia dan materi adalah akibat dari persekongkolan
kekuatan jahat terhadap kebenaran. Mereka inilah yang menutup mata
bangsa-bangsa dengan kaca mata iblis sehingga tidak bisa melihat ajaran-ajaran
Tuhan Yang Maha Kuasa yang benar.
Waspadalah dengan
gerakan-gerakan jahatnya, ketahuilah bagaimana cara mereka merusak persatuan
bangsa yaitu ;
pertama, sengaja mereka
menanamkan benih perpecahan dalam suatu negeri dengan menciptakan berbagai
masalah mulai dari keluarga, kesukuan hingga wilayah-wilayah mulai dari masalah
ekonomi, social, politik, budaya, ras dan seterusnya.
kedua adalah, menciptakan
perseteruan antar kelompok kemudian mereka mempersenjatai kelompok-kelompok
tersebut agar saling menghancurkan.
ketiga adalah, merusak
norma-norma susila, termasuk ajaran-ajaran agama yang benar dan moralitas yang
menjadi pegangan masyarakat.
Dan yang terakhir adalah menghancurkan
pemerintahan yang sah untuk dikuasainya.
Untuk membentengi
masuknya gerakan iblis tadi warga negara harus jaga persatuan bangsa dan
negara, setiap warga negara punya kewajiban mempertahankan dan merasa ikut handarbeni
dan juga wajib hanggondheli, mulat sarira hangrasa wani, akan utuhnya
negara kesatuannya ini. Arahkan didalam kehidupan sehari-hari saling menjaga
kerukunan bertetangga dan berkeluarga sebab keluarga itu saka gurunya negara,
tumbuhkan rasa persatuan dan semangat gotong royong.
Untuk menjadi bangsa yang besar dan
disegani oleh negeri-negeri lain, bilamana bangsa ini bisa menghargai dan tidak
melupakan sejarah bangsanya sendiri, tahu menghormati jasa-jasa pahlawannya
yang pernah berjuang demi kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan bangsa dan
negaranya. Budayakan selalu mencatat dan memperingati hari-hari yang bersejarah
juga para pahlawannya yang menjadi bagian sejarah kuno pusaka bangsa kita , perlu untuk dirawat agar kita bisa mencontoh
keteladannya dan tidak kehilangan jejak, yang artinya bila itu terjadi,
kerugian besar terjadi pada anak-turun kita dan bangsa sendiri, tidak mengerti
sejarah leluhurnya yang rindu untuk sarana membuka “ sintruning bebuden “ yang utama. Apalagi bila untuk menelusuri
atau ancer–ancer yang bisa
mengukuhkan “rasa ketimuran” kita yang masih murni yang belum tercampur
oleh ikatan atau rasa dari lain bangsa.
Budayakan setiap keluarga untuk bisa
mengenal dan akrab dulu dalam lingkup yang paling kecil dulu untuk mengenal “Sejarah
rolas“ yaitu sejarah leluhurnya sendiri urutan dari 12 ( dua belas )
turunan, yaitu : Anak, Bapa- biyung, Embah, Buyut, Canggah, Wareng, Udheg–udheg, Gantung
siwur, Gropak senthe, Tebu sinosog, Patarangan bubrah dan Amun–amun dan
memang urutan leluhur dicoba untuk dikenal terlebih dulu, meskipun jumlahnya
mencapai ribuan orang, andaikata belum sanggup, boleh saja dimulai mengenal
yang “pancer“ terlebih dahulu.
Marilah kita coba untuk menghitung : Anak ( diri sendiri – 1 orang), Bapa
dan biyung (2 orang), Embah ( dari Bapak dan Ibu – 4 orang), Buyut
( dari Bapak dan Ibu-8 orang), Canggah ( dari Bapak dan Ibu-16 orang), Wareng
( dari Bapak dan Ibu-32 orang), Udheg–udheg ( dari Bapak dan Ibu-64
orang), Gantung siwur ( dari Bapak dan Ibu-128 orang), Gropak senthe
( dari Bapak dan Ibu-256 orang), Tebu sinosog ( dari Bapak dan Ibu-512
orang), Petarangan bubrah ( dari Bapak dan Ibu-1.024 orang), Amun–amun
( dari Bapak dan Ibu-2.048 orang), jadi jumlah keseluruhan adalah 4.095 orang.
Terakhir ibunda Dewi Sukesi menutup wejangannya,
….…,”Anak-anakku, Rahwana, Kumbokarno, Sarpakenaka dan cah
bagus Wibisana camkan baik-baik nasehatku….. tangeh lamun negoro iki biso
ngadeg jejeg, yen siro ora miwiti kenal disik karo sedulur-sedulurmu, ora gelem
srawung disik karo sedulurmu, ora biso gawe rukun lan tetulung disik karo
sedulurmu, sebab kuwi pondasine negoro.”……
Persatuan negeri ini memang harus
dimulai dari lingkup yang paling kecil dulu, yaitu “keluarga,” kemudian meningkat kelingkungan sekitar kita dan
kemudian meningkat lagi hingga kadipaten, kedatuan hingga yang lebih luas lagi
yaitu …negara! Ya, menjadi Negara yang kuat sentosa dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika Datan Hana Dharma Kang
Mangkrowa, seperti pesan-pesan dari mpu Sotasoma pada zaman Majapahit, yang
jadi pegangan Patih Gajah Mada dalam mempersatukan Nusantara.
….,”Kelihatannya
adikmu Wibisana wis ngantuk, baiklah pertemuan ini ibu akhiri, tetapi ingat
……..jaga selalu dan budayakan terlebih dahulu semangat gotong-royong didalam
keluarga kalian, kita jangan malu dan bisa meniru orang-orang desa diluar sana
mereka itu rukun, dan ibu jadi ingat nasehat tetua didesa itu, begini……..“Jaman
saiki urip amrih bisa mulyo lan tentrem, kudu rukun karo sedulur, srana enggal
tumandang nyambut gawe lan gotong royong……...Lanang-wadon pada oleh bubuhan
kewajiban pegawean, sing cocok karo kaanane, timbang pada abote………Jaman biyen
wong lanang mikul, wong wadon gegendong. Yen wong lanang macul, nggaru lan
mluku, wong wadon tandur, derep lan nutu. Yen wong lanang nganam kepang, wong wadon
nenun, mengkono sakpanunggalane…..…..Jaman saiki kaanane wis beda, nanging ora
kok banjur budaya kerukunan melu owah, sing owah kuwi carane anggulowentah
nyesuaiake kaanan saiki , nangin kudu tetep ngugemi lan mujudake kerukunan
keluarga amrih sentosa..…….. Ana paribasan, yen mlaku dewekan kuwi gampang
ditumpaki setan beda karo yen bebarengan, ora ono sing wani ngganggu.”……..
dalam sekali makna pesan yang tersirat pada
nasehat Dewi Sukesi.
2
ALENGKADIRAJA
Sejak
pemerintahan Alengka dipegang Prabu Rahwana, harga barang-barang dan jasa pada
umumnya menunjukan perkembangan yang lebih stabil dibandingkan dengan pada saat
pemerintahan Prabu Sumali. Prabu Rahwana adalah pemimpin yang masih muda dengan
dukungan para menteri-menterinya yang rata-rata usianya sebaya dengannya
berhasil membawa Alengkadiraja suatu tingkat kemajuan yang melebihi
prestasi–prestasi yang pernah dilakukan pemerintahan Alengka sebelumnya maupun
negeri-negeri lain, sehingga banyak negeri-negeri lain terutama negeri anggauta
perkesemakmuran yang mereka namakan Negeri-negeri Perdamaian banyak yang
belajar kepadanya.
Pangan adalah
merupakan salah satu sasaran utama. Disamping usaha-usaha untuk meningkatkan
produksi beras, pemerintahan Alengkadiraja juga berusaha menciptakan dan memelihara
harga beras pada tingkat yang wajar, sehingga memungkinkan para petani
mendapatkan imbalan yang layak. Dipihak lain beras masih berada dalam jangkauan
daya beli rakyat banyak. Pembinaan perdagangan beras yang sehat, agar harga
beras pada musim paceklik dan daerah-daerah yang kekurangan beras harga beras
tetap stabil. Menjamin penyaluran beras atau bahan pangan lainnya ketempat
tempat yang tertimpa bencana alam.
Tengoklah disektor industry pertanian,
meningkatnya produksi beras berkat intensifikasi pertanian melalui bimbingan,
pembinaan, serta bantuan pemerintah pada pengairan yang teratur, penggunaan
bibit unggul, penyediaan pupuk dan pestisida, teknik bercocok tanam yang baik
dengan teknologi mutakir mengingat Alengka adalah suatu Negara yang mempunyai
luas tanah pertanian yang sempit, meskipun demikian Alengka bisa melaksanakan
swasembada pangan untuk dalam negerinya. Tidak hanya produksi beras saja,
produksi hortikultura yang terdiri sayur-sayuran dan buah-buahan terus
meningkat. Fluktasi produksi memang ada karena pengaruh iklim, serangan hama da
penyakit tanaman. Tapi atas kerjasama pemerintah dan rakyatnya yang punya
semangat untuk maju kesemuanya itu bisa teratasi.
Coba perhatikan
disektor Perikanan laut, dengan bertambahnya unit-unit penangkapan dengan
perlengkapan peralatan yang lebih efisien, seperti trawl, purse, saine, pole,
line, gillnet dan lain-lainnya membantu pesat pada peningkatan produksi
perikanan. Lebih-lebih dengan penggantian kapal-kapal penangkap ikan
berteknologi mutakir untuk menunjang industry perikanan, yang punya kemampuan
operasi penangkapan diwilayah lepas-pantai hingga kewilayah laut-dalam,
produksi perikanan meningkat dengan pesat. Juga disektor peternakan, perkebunan
mengalami peningkatan.
Tidak ketinggalan
dibidang perindustrian, kimia, industry dasar meliputi logam, mesin, alat-alat
transport, textile dan benang tenun mengalami peningkatan produksi yang pesat
sehingga kesemuanya itu telah dapat menciptakan kemantapan harga-harga barang
dalam tingkat yang dapat dijangkau oleh rakyat banyak dengan memenuhi kebutuhan
selera, baik mutu maupun coraknya.
Tidak hanya itu, kemajuan diberbagai sector
pembanguan Alengkadiraja karena ditunjang perbaikan-perbaikan prasarana antara
lain irigasi, tidak hanya menunjang sector pertanian saja, tapi juga ditujukan
untuk menanggulangi banjir didaerah produksi padi dan daerah-daerah yang padat
penduduknya.
Kemudian
prasarana perhubungan meliputi angkutan darat, laut dan udara. Sehingga hampir
seluruh Alengkadiraja sudah terjangkau oleh jaringan berbagai jenis angkutan,
juga keluar negeri bagi keseluruh negeri anggauta perkesemakmuran turut juga
menikmati, semakin mendekatkan satu negeri dengan negeri lain, sehingga semakin
memperkokoh persatuan dan kesatuan, baik dalam negeri Alengkadiraja sendiri
maupun anggauta Negeri-negeri Perdamaian. Program rehabilitasi dan pemeliharaan
jalan dan jembatan diprioritaskan pada jaringan yang mempunyai nilai social
ekonomi penting. Demikian halnya dalam rangka menaikan produktifitas dan
menjamin kelancaran perhubungan laut, telah diusahakan peningkatan fasilitas
angkutan laut seperti pelabuhan, keselamatan pelayaran, kepanduan, pengerukan,
fasilitas galangan dan dok, jumlah armada pelayaran.
Dibidang
pendidikan dan kebudayaan ada peningkatan, meliputi pembinaan kurikulum,
keseimbangan jumlah murid, pemenuhan tenaga-tenaga pengajar, perbaikan
prasarana pendidikan serta penyempurnaan organisasi dan pengolahan pendidikan
serta pembinaan kebudayaan, meliputi pembinaan kesenian, kepurbakalaan,
permuseuman, pembinaan bahasa, penyediaan buku-buku bacaan serta pengembangan
perpustakaan.
Tidak lupa
kemajuan pembinaan dibidang kesehatan, melalui program-program pendidikan
kesehatan masyarakat, melengkapi sarana kesehatan, pembrantasan penyakit
menular, tersedianya obat-obatan dan alat-alat kesehatan, tenaga paramedic yang
terampil, peningkatan hygiene dan sanitasi dan managemen dibidang pelayanan
kesehatan. Keberhasilan didalam pelaksanaan program Keluarga berencana,
sehingga meningkatkan derajat kesehatan, kesejahteraan ibu dan anak, keluarga
serta masyarakat pada umumnya.
Peningkatan
Pertahanan dan keamanan, sangat penting demi keutuhan bangsa dan Negara
Alengkadiraja, maka ada beberapa sasaran pokok yaitu, pertama adalah terbinanya
stabilitas nasional disegala bidang, dan pemeliharaan daya tahan, kesiapsiagaan
kekuatan-kekuatan pertahanan dan keamanan nasional Alengkadiraja guna
menghadapi segala kemungkinan.
3
FITNAH,
FITNAH DAN FITNAH
Ini
telah terjadi didunia dongeng. Dengan tergopoh-gopoh Sarpakenaka datang melapor
kepada raja Alengka yang baru yaitu Prabu Rahwana yang menggantikan Prabu
Sumali setelah meninggal dunia. Diusia masih sangat muda yaitu sekitar 25 tahun
Prabu Rahwana yang juga kakak Sarpakenaka yang pertama, telah terpilih sebagai
pemenang pada pemilu awal tahun yang lalu, Rahwana bersaing dengan cucu-cucu
Prabu Sumali yang lain, dan rakyat sebagian besar memilihnya sebagai raja
Alengkadiraja yang baru.
Rahwana menyambut
Sarpakenaka dan mengajaknya masuk kekraton untuk didengar laporannya.
Sarpakenaka melaporkan bahwa negeri-negeri bawahan seperti Lokapala, Ayodya,
Kutarunggu dan Dandaka terkena hasutan Resi Yogiswara berniat untuk mbalela,
dan para penjaga tapal batas dinegeri tersebut pada dibunuh. Dulu sewaktu Prabu
Sumali masih hidup sebagai raja Alengka, negeri Lokapala, Ayodya, Kutarunggu,
Dandaka, Mahendra, Suwelagiri telah tergabung dibawah perjanjian yang
disepakati bersama dalam bentuk perkesemakmuran yang dibawahi oleh
Alengkadiraja dengan nama Negeri-negeri Perdamaian, dimana negeri-negeri
tersebut bersepakat tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya, demi kemakmuran
bersama.
Sarpakenaka
adalah adiknya Rahwana, meskipun perempuan orangnya cerdas, gesit, dinamis,
supel didalam pergaulan, kulitnya yang sawo matang dengan postur tubuh yang
tinggi dan atletis selalu memenangkan setiap ada efen-efen pertandingan
seperti, lomba lari, renang, panjat tebing, berkuda dan juga memanah. Dan dia
memang pernah mendapat pendidikan ilmu kepolisian dinegerinya, yang kemudian
setelah Rahwana terpilih sebagai raja maka Sarpakenaka ia tugasi dan menjabat
sebagai Kepala Polisi Kerajaan Alengkadiraja untuk menjaga ketertiban dan
keamanan masyarakat.
Mendengar laporan
Sarpakenaka, Prabu Rahwana segera memanggil Patih Prahasta dan para Pangeran
yaitu Kumbokarno, Wibisana dan para Menteri bupati, Intelejen, Wadyabala dan
Bayangkara yaitu Kala Marica, dibicarakan dalam rapat mendadak tersebut yaitu
berbagi tugas sebagai persiapan-persiapan dini untuk mengantisipasi kerusuhan
bila terjadi pada wilayah kerajaan-kerajaan bawahan.
Sebagai raja baru
Prabu Rahwana berkeinginan untuk melakukan kunjungan-kunjungan kedaerah-daerah
untuk mengetahui secara dekat dan secara detail permasalahan-permasalahan apa
yang terjadi dimasyarakatnya, dia lebih suka perjalanan inkoknito dari pada
hanya mendengar bisik-bisik dari punggawanya dan kemudian dengan segera
bisa memberikan jalan keluar yang terbaik kepada rakyatnya agar terhindar dari
bencana atau kekurangan sandang maupun pangannya.
Pada hari Dite
Kasih, pagi-pagi sekali Prabu Rahwana dikawal Kala Marica dengan menyamar
sebagai pengemis dengan pakaian yang lusuh untuk mengelabui masyarakat agar
tidak mengetahui identitas mereka sebenarnya, dengan hati-hati kemudian mereka
keluar dari pintu gerbang Kutagara, begitu lihainya sehingga para penjaga
gerbangpun tidak ada yang mengenalinya. Perjalanan dilanjutkan dengan
menyeberangi lautan dengan menumpang prahu nelayan, yang arah tujuannya
kepesisir Mahendra, terus dilanjutkan kenegeri-negeri bawahan lainnya…….!!
Jauh diluar
perbatasan Mahendra, yaitu didaerah pedalaman tepatnya adalah kerajaan Ayodya. Prabu Rahwana yang masih
dalam penyamaran, melihat seorang penduduk Ayodya, yaitu Aki-tua yang sedang
teraniaya dan menjadi bulan-bulanan keganasan siluman garuda Sempati, Aki-tua
tersebut berteriak-teriak kesakitan karena salah satu tangannya nyaris putus
karena dipatuk oleh siluman garuda Sempati, Prabu Rahwana segera bertindak
menolongnya dengan memukulkan gada miliknya ketubuh siluman garuda Sempati
sehingga kesakitan dan melepaskan cengkeraman sehingga Aki-tua tersebut
terbebas. Siluman garuda Sempati kemudian terbang melarikan diri. Prabu Rahwana
kemudian mencoba menolong Aki-tua dan mengobati lukanya, kemudian Prabu Rahwana
bertanya kepada Aki-tua sebab musabab sampai ada garuda menganiayanya. Aki-tua
tersebut menceriterakan kejadiannya dan ia katakan bahwa siluman garuda tadi
adalah piaraannya Prabu Rahwana yang sengaja dikirim dari Alengka untuk
menteror penduduk Ayodya sini. Korban sudah cukup banyak mati diserang garuda
tersebut. Wah ini adalah fitnah!
Prabu Rahwana
kaget juga sedih mendengar penuturan Aki-tua tadi, bersama Kala Marica kemudian
melanjutkan perjalanan untuk mencari sisik melik atas kejadian yang
barusan ia lihat tadi. Prabu Rahwana sampai sebuah perkampungan, tampak sepi
rumah-rumah penduduk pintunya pada ditutup rapat-rapat. Prabu Rahwana sampailah
kebalai desa, terlihat disana seseorang sedang diikat disebuah tiang dan ada
tiga orang berpakaian seragam prajurit Alengka sedang memukulinya. Darah mengucur
dari mulut orang yang terikat tersebut dan akhirnya orang tersebut meninggal.
Prabu Rahwana melihat penganiayan yang tak berperikemanusiaan itu kemudian
menyuruhnya untuk dihentikan,
…..” hei, prajurit hentikan tindakanmu! Apa
salah orang ini sampai kalian ikat dan kalian pukuli hingga mati?”......
demikian perintah Prabu Rahwana, tetapi tidak
digubris ketiga prajurit tersebut, malahan balas menghardik seraya mengayunkan
bogemnya kearah muka Prabu Rahwana,
…. “diam kamu gembel, tak usah ikut campur ini
semua aku lakukan karena Lurah ini tidak menuruti perintahku, pergi kamu……!”
belum sempat tangannya menyentuh muka Prabu
Rahwana, prajurit tersebut mengaduh dan kemudian mati terjungkal karena
tendangan kilatnya Rahwana tepat menenai ulu hatinya. Melihat temannya mati,
kedua prajurit lainnya berusaha melarikan diri, tapi sial Kala Marica sigap
menangkapnya. Kemudian Prabu Rahwana mengintrogasi kedua prajurit gadungan
tersebut,
… “ siapa sebenarnya kalian dengan
berpakaian layaknya prajurit Alengka? Siapa yang menyuruh kalian berbuat
seperti ini?”…..
akhirnya kedua prajurit gadungan tersebut
mengaku kalau disuruh rajanya yaitu Prabu Banaputra raja Ayodya untuk menteror
para penduduk dengan tujuan penduduk agar membenci Alengka dan mau diajak
memberontak kepada Prabu Rahwana yang dianggap menjajah Ayodya,
……”pergi kamu, awas jangan perlihatkan batang
hidungmu kalau ingin selamat!”…..
maka dilepaskanlah tawanannya dan segera lari
terbirit-birit. Prabu Rahwana dan Kala Marica melanjutkan perjalannan untuk melanjutkan
penyelidikannya, siapa sebenarnya dalang dibalik peristiwa ini.
4
PERSEKONGKOLAN
Disuatu
tempat sedang diadakan pertemuan rahasia antara Resi Yogiswara, Resi Wasista,
Resi Rawatmeja, Resi Mitra dan Pangeran Dasarata, persekongkolan rencana menggulingkan
Prabu Banaputra dari tahtanya dan ambisi Pangeran Dasarata punya keinginan bisa
menggantikan menjadi raja di Ayodya,
…….”bagaimana langkah berikutnya Resi,
semua rencana Resi telah aku lakukan dan rakyat Ayodya sebagian besar sudah
tertanam benih kebencian kepada Prabu Banaputra dan Alengkadiraja,”……
pangeran Dasarata mengawali pembicaraan,
…..”berikutnya ananda Pangeran coba laporkan
kepada raja bahwa prajurit-prajurit Alengka diperbatasan berbuat aniaya kepada
rakyat Ayodya, kemudian bujuklah raja untuk menuntut balas dan memutuskan
hubungan dengan Alengka,”……
jawab Resi Yogiswara memberikan petunjuk
berikutnya kepada Pangeran Dasarata.
Dibalairung
tampak raja Ayodya yaitu Prabu Banaputra mondar-mandir gelisah, sepertinya ada
sesuatu yang membebani pikirannya dimana ia harus secepatnya memberikan
keputusan sebagai jawaban atas desakan para Menteri dan Bupati se Ayodya yang
diprakarsai Pangeran Dasarata, untuk mengajak rajanya untuk memutuskan hubungan
dengan Alengkadiraja demi keadilan, sebab prajurit-prajurit Alengka telah
berbuat aniaya kepada rakyat Ayodya yang tidak besalah…. ditengah-tengah rapat
pertemuan dibalairung, tiba-tiba datang utusan dari Alengka yaitu Kataya dan
Kala Marica yang diutus Prabu Rahwana untuk mengusut peristiwa-peristiwa yang
mencemarkan nama baik raja Alengkadiraja.
Belum sempat
Prabu Banaputra mempersilahkan tamunya duduk,
orang-orangnya Pangeran Dasarata menyerang duta-duta Alengka tersebut,
sehingga suasana Balairung berubah menjadi keributan yang berakhir dengan terbunuhnya
salah seorang duta Alengka yaitu Kataya, sedangkan Kala Mrica sempat untuk
melarikan diri pulang ke Alengka. Prabu Banaputra marah atas terjadinya
peristiwa tersebut, Pangeran Dasarata tanggap dan pura-pura memerintahkan untuk
menangkap dan membunuhnya orang-orang yang lancang berani menyerang para duta
dari Alengka. Para Resi saling pandang dan tersenyum senang karena rencananya
telah bergulir dengan sendirinya, tinggal menunggu hasil akhirnya. Yaitu
tergulingnya Prabu Banaputra dari tahta kerajaan, dan kemudian menggantikan
dengan orang kepercayaannya.
Nasi telah
menjadi bubur, Prabu Banaputra menyesali terjadinya kekacauan di Balairung
tersebut, sehingga mau tidak mau ia harus bertanggung jawab menghadapi resiko
pengadilan Alengkadiraja yang bakal terjadi setelah mendengar kejadian tadi.
Alengka pasti tidak akan memaafkan dan tinggal diam, membunuh dan melukai para
utusan negara sama halnya suatu penghinaan atau meremehkan raja yang
mengutusnya, sama halnya pernyataan menantang untuk berperang, disini harga
diri suatu bangsa dan negara Alengka telah diinjak-injak.
Alengkadiraja!
Dalam hati Prabu Rahwana sangat marah melihat utusannya diperlakukan sangat
kejam, Kala Marica melaporkan semua kejadian di Balairung Ayodya sampai
terjadinya kekacauan itu sehingga membawa korban Kataya mati terbunuh. Prabu
Rahwana menahan diri, luapan emosinya yang berkeinginan untuk balas dendam
ditahannya. Rahwana ingat akan nasehat ibunya Dewi Sukesi,
….”anakku Rahwana, panasnya hati sedapat
mungkin dikendalikan, jangan dituruti sehingga menjadi muntab yang menjadikan
meluapnya nafsu. Bagaikan menyiram api dengan minyak, kemarahan itu akan terus
menyala selamanya, bilamana tidak ada ketenangan pikiran dan hati yang bening.
Beningnya hati dan ketenangan pikiran akan mudah untuk memecahkan permasalahan,
dan menahan serta memadamkan semua perilaku setan,”
….
lanjut nasehat ibunya,
……”hawa nafsu dan watak angkara itu
sepenuhnya berada didalam diri pribadi masing-masing. Bila dibiarkan bebas akan
membuat bencana dan kesengsaraan. Sebaliknya apabila bisa mengendalikan akan
menjilma menjadi watak sabar dan prasaja, tulus iklas memberikan pengampunan
terhadap sesame yang mempunyai kesalahan.”
Dipanggilnya
Patih Prahasta menghadap Prabu Rahwana,
….”Paman Prahasta, berangkatlah kamu ke
Lokapala untuk menemui Prabu Danaraja untuk meminta bantuannya mengirimkan
prajuritnya untuk menangkap Prabu Banaputra dan membawanya ke Alengka untuk
diadili,”…..
mendapat perintah dari rajanya maka Patih
Prahasta mohon pamit menjalankan tugas, dengan didampingi beberapa pengawal,
mereka menyeberangi lautan menuju ke Lokapala. Kerajaan Lokapala adalah satu
benua dengan Ayodya, Mahendra, Gua Kiskenda, Mantili, yang kesemuanya adalah
Negara bawahan dari Alengkadiraja sudah sejak jamannya Prabu Sumali hingga
sekarang, sedangkan Prabu Danaraja raja Lokapala adalah saudara seayah berbeda
ibu dengan Prabu Rahwana, yaitu Resi Wisrawa. Dulu Resi Wisrawa pernah menjabat
raja di Lokapala melanjutkan pemerintahan Prabu Lokawana mertuanya yang
meninggal karena sudah tua. Prabu Wisrawa kawin dengan Dewi Lokawati dan
berputera seorang laki-laki diberi nama Wisrawana. Wisrawana menggantikan
ayahnya Prabu Wisrawa yang meletakan jabatan raja karena menjadi seorang
pendeta di Girijembatan. Wisrawana diangkat menjadi raja bergelar Prabu
Danaraja.
Hubungan Prabu
Danaraja sebagai anak dan ayahnya Resi Wisrawa semula sangat baik, tetapi
setelah selesainya sayembara di Alengka hubungan keduanya menjadi renggang.
Prabu Danaraja merasa dikhianati oleh ayahnya, sewaktu prabu Sumali raja
Alengkadiraja mencarikan calon suami buat puterinya Dewi Sukesi dengan
menyelenggarakan sayembara, demikian pula Resi Wisrawa mencarikan isteri untuk
anaknya yaitu Prabu Danaraja, tapi setelah sayembara dimenangkan Resi Wisrawa,
Dewi Sukesi tidak mau dikawinkan dengan Prabu Danaraja, bahkan ia memilih Resi
Wisrawa sebagai suaminya karena yang memenangkan sayembara adalah Resi Wisrawa
bukan Prabu Danaraja. Maka kawinlah Resi Wisrawa dengan Dewi Sukesi. Prabu
Danaraja marah dan kemudian mengirim tentaranya menyerang Alengka, tapi kalah!
Maka sejak itu
Lokapala menjadi kerajaan bawahan Alengkadiraja. Perkawinan Resi Wisrawa dan
Dewi Sukesi membuahkan empat orang anak yaitu, Rahwana, Kumbokarno, Sarpakenaka
dan Wibisana. Jadi Rahwana adalah saudara tiri Prabu Danaraja. Kemudian setelah
Prabu Sumali meninggal, dari hasil pemilu Alengka dari calon-calon raja
diantara pangeran-pangeran kerajaan yaitu anak dan cucu-cucu Prabu Sumali yang
termasuk Prahasta adiknya Dewi Sukesi
dan Rahwana, hasil pemilu Rahwanalah yang terpilih, kemudian ia
dinobatkan sebagai raja Alengkadiraja.
Tibalah Patih
Prahasta dan pengawalnya dinegeri Lokapala, kemudian menghadap Prabu Danaraja
untuk menyampaikan pesan-pesan dari Prabu Rahwana minta bantuan untuk menangkap
Prabu Banaputra dari kerajaan Ayodya yang telah menghina Prabu Rahwana. Tapi
apa tanggapan Prabu Danaraja,
……”pulanglah Paman Prahasta, aku tidak punya
urusan dengan Prabu Banaputra jadi aku tidak perlu mengusiknya, sampaikan
kepada adikku Rahwana agar supaya melakukan penangkapan sendiri, aku menolak
perintahnya!”…..
bergegas Prahasta kembali ke Alengka dalam
hatinya mengatakan bahwa ini adalah awal
bakal terjadinya bencana.
Prabu Rahwana
marah sekali, kali ini dia harus bertindak tegas terhadap negeri-negeri bawahan,
……”Kala Marica ! siapkan prajurit kavaleri
pilihan satu garda hari ini, juga
prajurit pemanah, aku sendiri yang akan memimpin penyerangan ini ke Ayodya,
kemudian kita teruskan penyerangan ke Lokapala kita sapu bersih mereka, sudah
habis kesabaran saya! Sudah kuwajiban saya untuk menjaga selalu kesatuan
persatuan negeri-negeri persekemakmuran ini, barang siapa yang mbalelo harus
ditindak tegas, tidak pandang bulu meskipun dia kakak tiri saya! Paman Prahasta
siapkan prajurit mariner diperbatasan Mahendra, tunggu saja disana jaga-jaga
bila saya perlu bantuan nanti !”……
demikian Prabu Rahwana memberi instrusi, untuk
bersiap berangkat memerangi Ayodya dan Lokapala.
Perjalannan yang mendebarkan, Prabu Rahwana
berangkat dengan mengerahkan kekuatan militernya menyeberang lautan menuju ke
Ayodya. Tengah malam pasukan-pasukan Alengka mendarat di Mahendra, penduduk
masih pada tidur lelap tidak ada satupun yang mengetahui kedatangan
tentara-tentara Alengkadiraja, memisahlah pasukan kavaleri dan barisan prajurit
pemanah melanjutkan perjalanan ke Ayodya sedangkan prajurit mariner yang
dipimpin Patih Prahasta menunggu dan menguasai pesisir Mahendra.
Fajar pasukan
Kala Marica masuk keibu kota Ayodya, penduduk baru pada bangun, kaget dan
kalang kabut setelah melihat banyaknya tentara berkuda Alengka datang menyerang
pos-pos penjagaan dengan bengis, tampak diwajah-wajah mereka ketakutan yang
amat sangat dan bergegas masuk kerumah dan menutup kembali pintu jendela rumah
mereka dan bersembunyi.
Dibawah komando
Prabu Rahwana sendiri yang memberi aba-aba untuk menyerang kraton Ayodya dan
barak-barak prajuritnya. Para prajurit Ayodya tidak menduga sama sekali dan
tidak siap kalau akan terjadi penyerangan mendadak ini. Peperangan antara
Alengka dan Ayodya akhirnya tidak bisa dihindarkan. Ayodya pada situasi yang
lemah sehingga Prabu Banaputra terbunuh, demikian pula Resi Rawatmeja dan
siluman garuda Sempati semuanya mati terbunuh ditangan pasukan Alengka.
Pangeran Dasarata, para Resi dan punggawa-punggawa kerajaan Ayodya menaikkan
bendera putih sebagai tanda menyerah kalah dan Pangeran Dasarata mohon
pengampunan kepada Prabu Rahwana dan berjanji akan tetap setia dibawah
Alengkadiraja.
Bagaimana dengan
rakyat Ayodya? Dalam hati mereka bertambah yakin bahwa tentara Alengka memang benar
jahat, yang mana dari bukti-bukti pengalaman mereka prajurit Alengka (gadungan)
pernah menganiaya dan sering menteror mereka, semua tercatat pada benak mereka
perlakuan yang pernah mereka alami sebelum perang ini terjadi, mereka tidak
tahu kalau semuanya itu adalah rekayasa dan merupakan bagian dari rencana
Pangeran Dasarata dan Resi Yogiswara dan kawan-kawan.
Setelah suasana
tenang, Prabu Rahwana kemudian memanggil Majelis perwalian untuk
menyelenggarakan pemilihan raja Ayodya, agar pemerintah tidak vacuum. Kemudian
segera Majelis melaksanakan pemilu, dan hasil akhir terpilih Pangeran Dasarata
untuk menjadi raja Ayodya. Penobatan raja baru
dilaksanakan dengan gelar Prabu Dasarata. Sekali lagi Resi Yogiswara tersenyum
lagi dan saling pandang dengan para Resi lainnya, mengangguk mengiyakan bahwa satu tahap
rencana mereka berhasil, meskipun ada yang menjadi tumbal yaitu salah seorang
dari mereka Resi Rawatmeja gugur dimedan perang, tapi hal itu tidak
mengendurkan semangat, misinya harus tewujud!
Prabu Rahwana
bersama tentaranya kemudian bertolak ke Mahendra menyatu dengan
prajurit-prajurit marinirnya Prahasta yang siaga sedang menunggunya,
…..”Paman Prahasta, sekali lagi saya utus kamu
berangkat untuk nanting kakang Prabu Danaraja di Lokapala, tawarkan padanya
apakah mau untuk berubah pikiran, rela dan iklas tunduk kembali dibawah
Alengkadiraja, atau aku harus memaksanya dengan kekerasan, bawa seluruh
pasukanmu keperbatasan Lokapala dan lakukan tindakan, apabila dia tidak
menuruti segala perintahku!”…..
daulat tuanku, maka Prahasta berangkat dengan
bala tentara siap menyerang Lokapala. Tetapi sampai diperbatasan Lokapala
rupa-rupanya Prabu Danaraja sudah mengendus rencana Alengka akan menyerang
Lokapala. Oleh karena itu Prabu Danaraja dengan bala tentaranya menyongsong
tentara Alengka diperbatasan, untuk menghindari korban lebih banyak bila
tentara Alengka sempat masuk keibu kota. Niat Prabu Danaraja sudah bulat, ia
tidak mau tunduk dibawah Alengka. Peperangan terjadi! Lokapala hancur! Dan
Prabu Danaraja tidak mau menyerah, terpaksa dibunuh oleh Prabu Rahwana.
Berakhirlah riwayat Lokapala.
5
BIANG KELADI
“Nyai, seyogyanya
nyai mencari pendamping yang sesuai untuk menjadi suami, agar nyai mendapat
ketentraman jiwa dan siapa tahu nanti punya keturunan yang kemudian hari bisa
menggantikan tahta kerajaan,”….
demikian bujukan Resi Wasista kepada Dewi
Sukasalya yaitu jandanya Resi Rawatmeja. Benar juga nasehat Resi Wasista, Resi
Rawatmeja sudah ada lebih dari seribu hari terhitung sejak saat meninggalnya,
….”Tapi siapa yang sudi melamarku?”…..
sepertinya Dewi Sukasalya menanggapinya.
Ada! Yaitu Prabu Dasarata, memang didalam
scenario para Resi, Prabu Dasarata saatnya harus tampil kepanggung,
,….”tapi semua langkah dan kegiatannya harus
ada orang kita yang bisa mengawasinya, yaitu Dewi Sukasalya. Jangan sampai dia
melenceng dari relnya sehingga bisa menggagalkan semua rencana kita.”…..
Maka Para Resi
menyarankan Prabu Dasarata untuk mengambil Dewi Sukasalya menjadi istrinya. Dan
Prabu Dasarata menyanggupi, apalagi paras orangnya sangat cantik. Dengan gigih
Prabu Dasarata merayu Dewi Sukasalya, dan akhirnya selang tak beberapa lama
Dewi Sukasalya berhasil diajak kawin dengannya. Upacara perkawinan
diselenggarakan secara besar-besaran, disaksikan kedua isterinya yaitu Dewi Kekayi dan Dewi Sumitra.
Sempurna sudah rencana Resi Yogiswara dan kawan-kawan untuk menghantarkan Prabu
Dasarata ketapuk kerajaan Ayodya, dan Prabu Dasarata otomatis dibawah kendali
para Resi, setelah mengawini Dewi Sukasalya.
Tiga bulan
kemudian, Ratu Sukasalya hamil, sebulan kemudian disusul Dewi Kekayi dan dua
bulan berikutnya Dewi Sumitra juga hamil. Sembilan bulan kemudian, Ratu
Sukasalya melahirkan seorang bayi laki-laki yang kemudian diberi nama
Ramabadra, sebulan kemudian Dewi Kekayi melahirkan seorang bayi laki-laki dan
diberi nama Barata, sebulan kemudian Dewi Sumitra melahirkan bayi laki-laki
diberi nama Lesmana dan setahun kemudian Lesmana punya adik laki-laki diberi
nama Taruna. Jadi putera Prabu Dasarata semuanya berjumlah empat orang anak.
Tidak dapat dibayangkan gembiranya Prabu Dasarata dikaruniai empat orang anak
yang kesemuanya cakep-cakep. Tidak hanya sang raja yang gembira, Rakyat Ayodyapun ikut gembira mendengar
kelahiran putera-putera rajanya.
Akan tetapi
kegembiraan itu tidak lama, karena Resi Wasista menagih janji yang mana
sebelumnya telah disepakati keduanya, apabila Prabu Dasarata setelah berhasil
menduduki tahta kerajaan Ayodya dan bila punya anak, maka anaknya harus
diserahkan padanya untuk dididik dibawah pengawasan para Resi. Terpaksa Prabu
Dasarata melepaskan keempat puteranya setelah usia sepuluh tahun dibawah asuhan
dan pendidikan dari Resi Wasista dan Resi Yogiswara tinggal dipertapaan. Disana
mereka dididik sesuai doktrin-doktrin faham yang dianut para Resi-resi dari
Gangga.
Prabu Dasarata
jatuh sakit, akibat stress karena lama tidak bertemu dengan putera-puteranya,
sering dia jatuh pingsan dan hidupnya selalu berada ditempat dipembaringan
karena sering sakit. Akhirnya para Resi tidak tega dan merasa kasihan
mengetahui keadaan Prabu Dasarata, maka diijinkanlah putera-puteranya untuk
kembali keistana. Barata dan adiknya Taruna yang mau kembali, sedangkan
Ramabadra dan Lesmana yang tidak mau kembali keistana. Dia lebih menyukai
tinggal di pertapaan dan bebas bisa berkelana kemana saja ia mau. Prabu
Dasarata kecewa campur kangen kepada puteranya Rama dan Lesmana, wajahnya
selalu terbayang dan terkenang sewaktu anak-anaknya masih berkumpul semua. Rasa
kangen yang dipendam akhirnya menambah parah sakitnya Prabu Dasarata dan
berakibat sang Prabu Dasarata meninggal dunia.
Pemilihan raja
baru! Majelis perwalian mengusulkan Ramabadra dinobatkan menjadi raja, akan
tetapi usulan itu ditentang oleh Dewi Kekayi dengan argumentasinya mengatakan,
bahwa Rama tidak layak sebagai raja! Berlarut-larut tahta kerajaan kosong oleh
sebab jadi perebutan intern kerajaan. Ayodya saat ini sedang terjadi kemelut
didalam keluarga kerajaan, dimana Dewi Kekayi isteri kedua Prabu Dasarata
menuntut tahta kerajaan Ayodya supaya diberikan kepada puteranya Batara, dia
tidak setuju bila kerajaan dipegang oleh Ramabadra yang acuh terhadap
permasalahan-permasalahan bangsa dan Negara, ia lebih mementingkan dan
memanjakan diri sendiri dengan kesenangan
berburu yang setiap hari dilakonninya hampir separoh waktunya, Dewi
Kekayi kawatir rakyat Ayodya akan terabaikan. Bagaimana kalau pilihan pada
Lesmana dari putera selir yang lain? Ratu Kekayi juga tidak setuju, Lesmana
orangnya tidak punya pendirian, bisanya hanya mengekor pada kakaknya Ramabadra.
Tapi Ramabadra itu putera Mahkota dari Ibu Suri? Dialah yang berhak atas tahta
itu, Barata mengingatkan pada ibunya. Tapi didalam hatinya sendiri Batara
membenarkan apa yang dikatakan ibunya bahwa Ramabadra memang orangnya egois dan
dia lebih senang dalam pergaulan liar dengan preman-preman, yaitu munyuk-munyuk
dari Reksamuka, jarang pulang kekesatrian dan lebih krasan tinggal digunung
dipadepokan bersama gurunya Resi Yogiswara……!! Akhirnya Barata ditetapkan
sebagai YMT Raja atau Yang menjalankan tugasraja. Sewaktu-waktu bisa dicopot
apabila Putera Mahkota sudah kembali keistana.
Resi Yogiswara
setelah suksesi di Ayodya berhasil kemudian tinggal dipegunungan didaerah
Kutarunggu, dari awal ia datang ke Ayodya dengan membawa faham kepercayaan dari Gangga, dia
mendapat tugas dari sana untuk menyebarkannya, tidak hanya di Ayodya, tapi
hingga keseluruh dunia dongeng. Rencana Resi Yogisrawa sasaran yang pertama
adalah Negara-negara bawahan Alengka terlebih dulu sebelum masuk ke
Alengkadiraja, tapi didalam pelaksanaannya mengalami banyak kendala, tertunda
semua rencananya karena meninggalnya Prabu Dasarata juga sulitnya mengajak atau
mempengaruhi masyarakat diwilayah-wilayah negeri bawahan Alengkadiraja.
Masalahnya, cara berfikir rakyat Alengka jauh lebih maju dibandingkan dengan
rakyat Ayodya. Mereka itu kritis dan tidak percaya tahyul-tahyul, realistis
cara berfikirnya mereka hanya percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa pencipta alam
semeta dan seluruh isinya, yang didalam ajarannya mengedepankan tentang kebenaran
dan kejujuran.
Diantara
murid-murid Resi Yogiswara adalah Ramabadra dan Lesmana, keduanya adalah
cantrik-cantrik yang paling setia dan fanatik kepada gurunya. Ramabadra berusia
25 tahun dan adiknya Lesmana berusia 23 tahun, keduanya gagah dan tampan. Resi
Yogiswara mendapat akal untuk melanjutkan rencana misi berikutnya, yaitu akan
memanfaatkan kedua muridnya yaitu Ramabadra dan Lesmana. Strategi awal
Resi Yogiswara yang harus dipenuhi adalah;
Langkah pertama,
membangun kekuatan atau mencari dukungan dari kerajaan-kerajaan tetangga. Yaitu
dengan cara mengambil alih kekuasaan negeri bawahan Alengka diseberang lautan.
Langkah kedua
adalah menundukan raja-raja besar seperti Prabu Janaka raja Mantili, Resi Rama
Bergawa dan Resi Subali. Mereka orang-orang yang punya ambisi-ambisi untuk
berkuasa, harus ditundukkan, sebab kalau tidak akan menjadikan penghalang besar
untuk menuju kenegeri Alengkadiraja. Prabu Janaka penguasa kerajaan Mantili
yang saat ini sedang mencari calon menantu untuk puterinya yang bernama Shinta.
Langkah ketiga adalah
merangkul munyuk-munyuk preman dari Reksamuka bersama raja beruk bernama Prabu
Sugriwa dengan cara membantunya untuk mengkroyok Subali saudara kandungnya yang
tinggal di Gua Kiskendo, kebetulan saat ini Sugriwa butuh pertolongan untuk
menyelesaikan masalah dengan saudaranya bernama Resi Subali, mereka sedang
memperebutkan Dewi Tara seorang bidadari dari Kahyangan hadiah pemberian Batara
Indra setelah berhasil membunuh dua siluman Mahesasura dan Jatasura.
Langkah keempat
yaitu menyerang Alengkadiraja yang membawahi Negeri-negeri Perdamaian dengan
menundukan Maharajanya yaitu Rahwana!
Langkah kelima
dengan mengerahkan seluruh kekuatan dan memperalat Rahwana yang tidak bisa
mati, akan mudah menguasai Mayapada dan Kadewatan di Jonggring Saloka didunia
dongeng ini.
Mulailah rencana
Resi Yogiswara dijalankan, maka dipanggilah kedua muridnya Ramabadra dan
Lesmana, diperintahlah keduanya untuk mengikuti sayembara dikerajaan Mantili
dimana Prabu Janaka sedang mencari calon menantu yang perkasa,
…..”berangkatlah Ngger! Disayembara tersebut
akan teruji kesaktianmu dan buktikan kalau kalian adalah muridku yang juga sebagai ksatria-ksatria Ayodya yang perkasa
atau tidak?!”......dan lanjutnya lagi,…..”soal
hadiah Shinta putrinya adalah nomor dua, yang utama adalah kekuasaan,
kemenanganmu akan punya arti sangat penting, secara tidak langsung kamu telah
menundukkan atau paling tidak bisa mempengaruhi sikap Prabu Janaka terhadapmu
menjadi segan dan tidak meremehkan!”……
rupanya gengsi Ramabadra dan Lesmana terusik
sehingga termakan oleh hasutan Resi Yogiswara. Maka pagi harinya Ramabadra dan
Lesmana turun gunung dan berangkat mengikuti sayembara kenegeri Mantili.
6
SEKALI DUSTA
TERUS DUSTA
Singkat
ceritera dongeng, akhirnya Ramabadra didalam sayembara berhasil unggul
mengangkat gendewa (busur) wasiat milik Prabu Janaka, beberapa tahapan
dipertandingkan pada keahlian memanah, dimulai dari cara merentang busur sampai
dengan memanah obyek-obyek tersulit dengan berbagai posisi atau gerakan bahkan
memanah sambil menaiki kuda,
berkali-kali mengangkat gendewa besar dan cukup melelahkan, kalau
dihitung jumlahnya berapa kali mengangkat gendewa sama halnya memindahkan
barang yang beratnya hampir dua ton, dengan demikian Ramabadralah sebagai
pemenangnya dan berhak menerima hadiah yang telah dijanjikan yaitu sebagai
suami Shinta puterinya Prabu Janaka dari kerajaan Mantili.
Kegembiraan
dilampiaskan dengan pesta tujuh hari tujuh malam sebagai perayaan perkawinan
Ramabadra dan Shinta, diselenggarakan dengan mengundang besannya yaitu Ratu
Sukasalya juga gurunya Resi Yogiswara dari kerajaan Ayodya, juga dihadiri
tamu-tamu dari kepala negeri-negeri tetangga. Hanya Lesmana saja yang terlihat
murung, karena kecewa tidak berhasil didalam mengikuti sayembara, dia diam
duduk dipojok ..menyendiri,
merenungi nasibnya.
Tapi tidak hanya
Lesmana saja yang murung, Shintapun juga sedih karena merasa harga dirinya
tidak ada, tidak ada kemerdekaan bagi dirinya, ada protes didalam batinnya
penyesalan kenapa ia dijadikan sebagai seorang perempuan, yangmana statusnya
didalam adat atau budaya didunia dongeng ini selalu saja perempuan teraniaya,
direndahkan derajadnya, disamakan seperti barang yang bisa dioperkan, dibuang,
dibunuh atau dijual, dilelang atau disayembarakan seenaknya untuk pemuas
keangkara murkaan mereka, semua yang terlibat pada sayembara itu adalah sama
saja, mereka itu termasuk golongan angkara murka.
…“belum….belum Ngger, masih ada Pemanah yang
lebih unggul dari kamu yaitu Resi Rama Bergawa, hingga saat ini dia masih
menyandang nama sebagai Pemanah terunggul di Mayapada ini,……kamu belum unggul
seperti Rama Bergawa, kecuali kalau dia sudah mati, nah barulah urutan
berikutnya adalah kamu…..” ….
demikian bisikan Resi Yogiswara kepada
Ramabadra saat berpamitan akan kembali ke Kutarunggu dan menyalaminya diatas
pelaminan pengantin. Cemburu dan jengkel Ramabadra setelah mendengar ucapan
Resi Yogiswara,
…..”tidak Guru, aku pasti bisa mengalahkan
Resi Rama Bargawa akan aku tantang dia, kalau perlu…..!”
gumamnya dalam hati.
Setelah sepasar
rencana kedua pengantin akan boyongan kenegeri Ayodya, tapi Ramabadra harus
menyelesaikan dulu akan janjinya yaitu mencari Resi Rama Bargawa. Ya, Resi Rama
Bergawa yang berpostur tubuh tinggi besar, berkulit hitam dan gagah meskipun
usianya sudah kakek-kakek. Dulunya dia seorang jawara yang disegani, ambisinya
untuk selalu unggul memang sembada dengan kemampuannya didalam olah
keprajuritan, dia sakti dan sejata ampuh andalannya adalah panah Bargawastra
sehingga ia terkenal sebagai Sang pemanah tiada tandingan.
Pengembaraan dan petualangan yang nyleneh dan
nyentrik itu sangat merepotkan banyak
negeri yang dilaluinya. Selalu ada keributan hanya karena adu kekuatan dan
kemahirannya memanah untuk mendapatkan pengakuan atas kemenangan dan
keunggulannya saja, sudah hanya itu thok! Resi Rama Bargawa tidak ingin
kekuasaan, hanya popularitas saja yang ia cari. Yah, tapi tingkahnya selalu
membawa korban pada setiap lawan yang ia tantang.
Kepala negeri
atau para raja banyak yang membencinya dan berusaha menjebaknya. Diberi
kekayaan atau kedudukan yang tinggi dikerajaan asal mau menghentikan hoby
ngawurnya, Rama Bargawa menolaknya, dia ingin bebas dan tidak mau diperintah
oleh siapapun. Para raja mencoba membayar orang untuk membunuhnya namun belum
ada yang berhasil, malahan mereka menjadi korban seperti Prabu Harjuna
Sasrabahu pun mati ditangannya.
Ramabadra mencoba
mencari sendiri keberadaan Resi Rama Bargawa, dicobanya menelusuri tepi hutan
Mantili, biasanya sang Resi melakukan latihan-latihan ditepi hutan, sambil
berteriak-teriak memanggilnya,
……”hei tua Bangka Rama Bargawa dimana
kamu!....tunjukanlah batang hidungmu, aku menantangmu, hei Rama
Bergawa!......keluarlah, jangan sembunyi kaya anak kecil, omong kosong
orang-orang menyebutmu jago memanah, lawanlah aku!”......
diluar dugaan tiba-tiba sudah berdiri dihadapannya yaitu Resi Rama Bargawa datang
muncul dari semak-semak, sehingga membuat kaget Ramabadra,
……”ada apa kisanak, mengapa teriak teriak,
dengan berbisikpun aku bisa mendengar dan mengerti maksudmu.”
Demikian sang Resi menjawab tantangan
Ramabadra,
….”disana ada empang, kamu dan aku mengambil
posisi berseberangan, langsung saja tembakkan panahmu kearahku dan aku bisa
mengimbanginya.”…..
Mereka sepakat
persyaratan pertandingan memanah ini, kemudian Ramabadra mengambil posisi
diseberang empang
….”terimalah anak panahku Resi!”…..
Ramabadra dengan cepat mendahului merentang
busur dan menembakkan anak panah kearah Resi Bargawa, tapi secepat itu juga
Sang Resi melepaskan anak panah kearah anak panah Ramabadra yang meluncur
kearahnya, dan terdengarlah suara,…kraak…kedua anak panah bertubrukan,
terbelahlah anak panah Ramabadra dan jatuh kedalam empang.
Dua, tiga dan
empat kali Ramabadra melepaskan anak panahnya kearah sang Resi, namun selalu
gagal dihabisi oleh anak panah sang Resi. Dan tiba-tiba Ramabadra mengaduh
sambil memegang telinganya sebelah kiri keluar darah karena terluka dan sumping
perhiasan telinga lepas entah kemana, rupa-rupanya dia kena panah sang Resi, beruntunglah
hanya telinganya yang kesrempet. Dan tahu-tahu Resi Rama Bargawa sudah berdiri
dihadapannya sambil merentang busur dengan anak panahnya diarahkan ketubuh
Ramabadra,
,…..”ampun Resi, saya mengaku kalah, biarkan
saya hidup, masalahnya saya pengantin baru….”
Ramabadra mengiba takut kalau sang Resi akan
membunuhnya,
….”ha, ha, ha…pengantin baru. Baiklah pergilah
kamu, tapi ingat aku bukan tipe pembunuh seperti yang ada dalam pikiranmu yang
kotor itu!”….
Ramabadra kemudian melangkah mundur untuk
pergi, juga sang Resi segera membalikkan tubuhnya untuk meninggalkan Ramabadra
yang ketakutan.
……“Inilah kesempatan bagus,”….
pikiran jahat Ramabadra membujuknya.
Saat itu Rama
Bargawa posisinya membelakangi Ramabadra, posisi lengah ini segera dimanfaatkan
Ramabadra untuk melepaskan anak panahnya, dan meluncur tepat mengenai leher
sang Resi,
….”aahh, aaahh…..kamu…kamu..!”
sang Resi roboh sambil menuding Ramabadra. Dan
matilah sang Resi Bargawa dengan mengenaskan, matanya melotot sepertinya ada
sesuatu yang dia tidak bisa terima dan sesalkan ketidak sportifan Rambadra.
Licik dan berdarah dingin, adalah sebutan yang pantas untuk Ramabadra, tapi
sebutan apa kek tidak dihiraukan Ramabadra, yang penting target akhir
terpenuhi, bahwa mulai sekarang hanya dialah yang berhak menyandang sang
pemanah tiada tandingan di Mayapada ini.
Orang-orang mulai
berdatangan, juga Lesmana dan Shinta yang sedari tadi mencari-carinya
Ramabadra. Dengan bangganya Ramabadra menunjukan bangkai Resi Rama Bargawa yang
mati tertembus oleh panahnya. Cepat berita ini tersebar keseluruh dunia
dongeng, dan membuat kegembiraan orang-orang yang pernah menjadi musuh Resi
Rama Bargawa, termasuk Prabu Janaka sempatkan menemuinya untuk mengucapkan
selamat.
Hanya Shinta yang
diam tidak berkomentar, ada kecurigaan dengan apa yang telah dilakukan suaminya
terhadap Resi Rama Bargawa, dia sempat memperhatikan Ramabadra sewaktu mencabut
panahnya dari leher Resi Rama Bargawa. Posisi panah menancap dari belakang?
Genap sepasar
Ramabadra berpamitan kepada Prabu Janaka, membawa isterinya Shinta dan Lesmana
akan kembali ke Ayodya. Prabu Janaka menawarkan pengawalan dengan barisan
prajurit mengiringi sampai Ayodya. Tapi Ramabadra menolaknya, karena akan
singgah dulu di Kutarunggu yaitu dipertapaannya Resi Yogiswara. Akhirnya Prabu
Janaka hanya bisa mengantar hingga batas kota saja, perpisahan dengan putrinya
Shinta sangat mengharukan, Shinta menangis dalam pelukan sang ayah, demikian
pula Prabu Janaka memeluknya erat-erat Shinta sepertinya takut kehilangan
satu-satunya putrinya yang ia cintai
,…..”maafkan putrimu ayah, setelah perpisahan
ini, mungkin aku akan kembali menjadi Shinta yang lain, tapi apapun wujutku aku
tetap Shinta kecilmu yang selalu menyayangimu ayah!”……
Prabu Janaka terkesiap mendengar bisikan
putrinya, sepertinya ada penyesalan, apakah penyebabnya sayembara itu, yangmana
putrinya Shinta sebenarnya tidak menyetujuinya, perpisahan ini menambah
kekhawatiran Prabu Janaka pada putrinya setelah berumah tangga malahan
menjadikan Shinta tidak bahagia. Nasi telah menjadi bubur, sang Prabu Janaka
pasrah kepada dewa-dewa bagaimana nantinya membawa nasib Shinta.
Kutarunggu!
Terjadi keributan dipertapaan Resi Yogiswara. Sang Resi Yogiswara sedang
terbaring lemah, didadanya berdarah-darah sedang dibalut dengan kain kasa oleh
Resi Wasista karena luka kena tusukan, sedangkan Resi Mitra ikut memegangi
tubuhnya agar tidak banyak bergerak,
…..”ayo Resi segera diminum ramuan obat yang
aku buat untukmu, ini bisa mengurangi rasa sakitmu!”……
Resi Wasista membantu mendekatkan mangkuk
berisi cairan ramuan obat kemulut Resi Yogiswara untuk diminum,
…..”bagaimana kejadiannya sehingga Wirada bisa
mencelakai Resi?”….. sambil menahan sakit Resi
Yogiswara menceriterakan perkelahiannya dengan Wirada.
Waktu itu Resi
Mitra sedang mengganti sesaji diruang pemujaan, sedangkan Resi Yogiswara baru
saja pulang mengambil buah-buahan dari hutan, kemudian dia memergoki ada orang
asing mengedhap-edhap masuk keruang pemujaan, Resi Yogiswara mencoba
menegurnya, tetapi orang tersebut malahan menyerang Resi Yogiswara, terjadilah
pergumulan seru keduanya, Resi Mitra keluar dan melihat perkelahian itu
maksudnya mau melerai, tapi akhirnya orang asing tersebut berhasil dibekuk oleh
Resi Yogiswara.
Orang asing
tersebut mengakui namanya Wirada orang suruhannya Dewi Kekayi ibundanya Barata
adik tirinya Ramabadra. Wirada disuruh untuk membuntuti Ramabadra dan Resi
Yogiswara kemanapun perginya, segala gerak dan perkembangannya selalu
dilaporkannya kepada Dewi Kekayi. Karena Dewi kekayi tidak menghendaki Ramabadra
kembali keistana, Dewi Kekayi menginginkan tetap barata yang memegang tapuk
kerajaan Ayodya.
Sewaktu Resi
Mitra akan mengikat Wirada, tidak terduga Wirada dengan secepat kilat merebut
keris Resi Mitra dan kemudian menyergap Resi Yogiswara dan menusukkan keris
tersebut ketubuh Resi Yogiswara yang pada saat itu sedang tidak siaga, kemudian
Wirada meloncat keluar mau melarikan diri melarikan diri tetapi didepan pintu
Wirada bertubrukan dengan Resi Wasista yang baru saja datang dari Ayodya
….”tangkap Resi!!”…
dengan sigap Resi Wasista mengkaitkan kakinya
pada kaki Wirada yang hendak lari sehingga dia jatuh terjerembab ketanah, dan
sekali lagi Resi Wasista memberikan pukulan tenaga dalam tepat didadanya
sehingga Wirada lemas kesakitan sulit bernapas. Resi Wasista datang
menghampirinya dan menotok jalan darahnya sehingga Wirada terkulai semakin
tidak berdaya.
…..”baiklah Resi sekarang istirahat dulu agar
pulih kesehatannya, kejadian ini sebaiknya dirahasiakan saja, langkah
selanjutnya kita korek dulu keterangan-keterangan dari Wirada dan setelah itu
kita habisi saja dia, sebab kalau tidak rencana bisa terhenti ditengah jalan,
Wirada dan Dewi Kekayi sudah tahu terlalu banyak!”….Resi
Wasista mengingatkan.
Suasana tegang
mulai mereda, tak beberapa lama terdengar orang mengetuk pintu gerbang dan
terdengar seseorang memanggil-manggil,
….”Resi, aku Ramabadra datang untuk
sowan!”…..Resi Wasista, Resi Mitra saling berpandangan,
….”sudah Resi, nanti aku yang akan menjelaskan
kejadian ini kepada Ramabadra, sekarang bukakan pintu dan suruhlah dia masuk!”….sahut
Resi Yogiswara meredakan kebimbangan para Resi.
Ramabadra, Shinta dan Lesmana kemudian
dipersilahkan masuk setelah dibukakan pintu oleh Resi Mitra. Kedatangan mereka
bertiga sangat membuat gembira para Resi. Ketika masuk kedalam terlihat oleh
Ramabadra disudut ruangan ada tergeletak Wirada yang mengerang tapi sulit
bicara karena telah ditotok jalan darahnya oleh Resi Wasista,
…..”siapa orang itu Resi?”…Tanya
Ramabadra,
…..”oh, dia adalah pecundang biarkan saja,
sekarang masuklah dan temuilah Resi Yogiswara yang sedang sakit, dadanya
terluka karena ulah sipecundang itu!”…...jawab resi Wasista atas pertanyaan
Ramabadra.
Tapi tanpa
dipikir panjang, Ramabadra mengambil panahnya dan melepaskan anak panah kearah
Wirada,
…..”jangan kakang!”….Shinta berusaha
mencoba menahannya,
tapi panah terlanjur dilepaskan dan tepat
mengenai jantung Wirada. Wirada mati! Resi Wasista kaget dan terdiam karena
tidak sempat menghentikannya. Shinta melongo sepertinya ada kekecewaan atas
sikap suaminya Ramabadra, sudah dua kali ia menyaksikan tragedy yang disebabkan
oleh suaminya yang tega melakukan pembunuhan dengan alasan yang tidak jelas.
…..”oo, ananda Ramabadra, Shinta dan
Lesmana mendekatlah kepadaku,………aku senang sekali kalian datang menjengukku,
kalian memang muridku yang paling setia, sudah seringkali pertapaan disini
mendapatkan terror, dan tadi pagi Resi Wasista dan Resi Mitra sempat menangkap
Wirada, tapi pecundang itu sempat melukai aku sehingga keadaanku menderita
seperti ini…….. Wirada adalah orangnya Alengka yang melakukan terror-teror agar
kami hengkang dari Kutarunggu………….Bila aku meninggal nanti aku percayakan
tugas-tugas kependetaan ini kepada Resi Wasista. Maka dari itu bantulah beliau
agar kamu mendapatkan berkah dari para dewa, apabila benar apa yang dikatakan
wangsit yang aku terima dalam mimpiku semalam bahwa dimasa mendatang kamu
Ramabadra yang akan menduduki ke-maharaja-an menggantikan Alengka setelah kamu
berhasil merebutnya,……… oleh karena itu ikuti selalu petunjuk-petunjuk Resi
Wasista supaya kamu berhasil menjadi Raja Gung Binatoro di Mayapada ini!”……
demikian Resi Yogiswara memberikan amanah
kepada Ramabadra. Aneh bin aneh! dalam kondisi sekarat kebohongan masih menebar
dari mulutnya. Dan Ramabadra senang mendengarkannya dan jawabnya
,….”baiklah, akan aku laksanakan semua
pesan-pesan Resi,”……
tapi rupanya Resi Yogiswara kondisinya semakin
lemah dan sudah tidak bisa mendengarkan lagi, karena lukanya yang cukup dalam
dan banyak mengeluarkan darah menyebabkan sang Resi koma tak sadarkan diri.
Resi Wasista mencoba membantu dengan menotok aliran darah pusat agar darah
mampet, dan menyalurkan energy panas pada tubuh Resi Yogiswara agar bisa
bertahan kesadarannya. Akan tetapi takdir mengatakan lain, Resi Yogiswara telah
tiada. Seluruh penghuni pertapaan diwilayah Kutarunggu sangat berduka atas
meninggalnya orang yang mereka hormati, lebuh-lebih Ramabadra dan Lesmana
sangat kehilangan guru yang sangat mereka cintai. Para cantrik mulai sibuk
menyiapkan kayu-kayu untuk perapian ditempatkan dihalaman. Kemudian setelah
mayat Resi Yogiswara disucikan kemudian diangkat diletakan diatas balai-balai
perapian diatas tumpukan kayu yang dipersiapkan layaknya untuk upacara
pembakaran jenasah. Resi Wasista memimpin membacakan mantra-mantra dan Resi
Mitra segera menyulut kayu perapian sehingga api berkobar ganas dan hingga
petang api sempurna melenyapkan jasad Resi Yogiswara.
Sudah tiga bulan
lebih Ramabadra, Shinta dan Lesmana tinggal dipertapaan, Shinta sering
ditinggal pergi berburu oleh suaminya Ramabadra dan adik iparnya Lesmana yang
sama-sama punya hoby berburu. Dipertapaan yang letaknya terpencil dipuncak
gunung Kutarunggu jauh dari pedesaan maupun perkotaan membuat Shinta jenuh dan
bosan, tiga hari mereka baru pulang dengan membawa hasil buruannya rusa atau
babi hutan. Hasil perolehannya kemudian diberikan kepada Shinta untuk
diselesaikan hingga jadi dendeng-daging untuk disimpan sebagai persediaan
makanan atau menjadi masakan-masakan yang sudah siap saji. Kemudian empat hari
Ramabadra dan Lesmana tinggal dipertapaan dan kemudian berangkat lagi berburu
selama tiga hari kemudian baru pulang dan begitu seterusnya. Shinta kesepian,
bosan dengan kehidupan yang monoton, Shinta dalam hatinya ingin berontak
menentang banyak kebiasaan dari kehidupan social seperti modelnya Ramabadra dan
Lesmana. Ia ingin mempergunakan banyak waktunya untuk apa yang ia pikir lebih
bermanfaat. Kapan datang kesempatan itu?
7
KIJANG KENCANA
AWAL BENCANA
Perburuan
hingga jauh memasuki hutan diwilayah negeri Dandaka. Kali ini Shinta diijinkan
suaminya untuk ikut berburu, perannya hanya tukang bawa perbekalan yang kintil
kesana kemari, melelahkan!
……”lihat, lihat itu seekor kijang
kencana…..hus….husah!!.....Shinta melihat seekor kijang kencana yang elok rupanya,
Shinta merasa sayang kalau sampai dibunuh maka
ia berusaha menggusahnya biar pergi sebelum Ramabadra dan Lesmana
mengetahuinya. Tapi tidak, Ramabadra lebih jeli melihatnya segera merentang
busurnya untuk membidik sasarannya yaitu kijang kencana, namun kijang kencana
melarikan diri memasuki belukar
,……”aah, kenapa kamu gusah Shinta,….akan aku
kejar sampai dapat! Lesmana tolong temani Shinta!....aku harus dapatkan
buruanku tadi!”……Ramabadra cepat menghilang kehutan
mengejar buruannya Kijang kencana.
Tinggallah Shinta
ditemani Lesmana berdua ditengah-tengah kesunyian hutan, Lesmana memandang
Shinta sangat dekat. Dulu sewaktu ia mengikuti sayembara di Mantili, kesempatan
memandang Shinta cukup jauh karena ia berada bersama peserta lomba yang berada
dibawah panggung kehormatan raja. Namun baginya sudah cukup menilai akan
keelokan paras dari Shinta, sehingga ia merasakan ada getaran didalam kalbunya,
yaitu asmara. Sekarang Lesmana ini ia dibiarkan sendirian memandang Shinta dari
dekat. Dia memandang tanpa berkedip, Shinta yang lugu tersenyum manis menoleh
kepadanya, hatinya Lesmana terasa seperti terserempet benda yang tajam…..siir…..dan
degub jantungnya semakin cepat, tidak seperti biasanya. Senyum dan pandangan
Shinta meskipun hanya sekilas, tapi membuat gemuruh asmara cintanya Lesmana.
Rasanya seperti mimpi bisa berdekatan dengan Shinta, kepingin Lesmana bisa
mengelus-elus pipi yang halus, dan bibirnya yang tipis memerah sepertinya
menantang, hidungnya yang mancung ingin rasanya dicium dan matanya yang riyep-riyep
nyata enak dipandang,
…..”beruntunglah kakakku!”……gumannya
Lesmana dalam hati dan
…….”siapa yang kau maksud beruntung dimas
Lesmana?”……Tanya Shinta yang rupanya mendengar keluhannya,
dan Lesmana menjawabnya…..”ayunda Shinta,
maafkan aku bila ada tutur kata dan tindak-tandukku yang lancang,…ayunda Shinta
aku mencintai kamu!”….
gelora api asmara Lesmana tidak terbendung
lagi, Shinta ditariknya dan dirangkulnya erat-erat dengan dada yang panas
bergetar karena luapan nafsu birahi kedewasaannya, mencoba menciumi wajah
Shinta. Lesmana berusaha memperkosanya!
Shinta
memberontak dan berteriak-teriak, berusaha melepaskan himpitan tubuh Lesmana
yang kekar sambil memukul dan mencakarkan kuku tangannya dimuka Lesmana
sehingga terpaksa Lesmana melepaskan pelukannya untuk menangkap kedua tangan
Shinta.
Tanpa diduga sempat Shinta menendangkan
kakinya kebagian prana diantara kaki Lesmana,
…”aduhh!!”….
Shinta terbebas
dan segera melepaskan diri lari masuk kehutan meninggalkan Lesmana sendiri yang
sedang meringis kesakitan dan sibuk menggenggam sesuatu yang sangat berharga
pada celananya. Terus berlari terus Shinta tidak tahu arah menerobos semak dan
mengikuti jalan tikus
…..”ayunda Shinta, tunggu aku…….dan maafkanlah
aku…ayunda Shinta, dimana kamu, tunggu aku!”
terdengar teriakan Lesmana dibelakangnya.
Shinta berlari terus, dan sampailah dipinggir hutan dan disisinya terhampar
tanah lapang, Shinta berlari melintas tanah lapang dan Lesmana memburunya
dengan tertati-tatih karena masih sakit pada selangkangnya. Shinta melihat
sebuah menara silo tua dekat bangunan penggilingan bijih jagung, silo tua
bangunan besar yang bentuknya silinder menjulang tinggi fungsinya sebagai
gudang penyimpanan bijih-bijih jagung sehabis panen. Silo tersebut sudah tidak
pernah dimanfaatkan semenjak paceklik melanda Dandaka sepuluh tahun yang lalu.
Dibawahnya ada pintu control keruangan silo, Shinta lari sekuat tenaga dan
mencoba masuk kesilo tersebut melalui pintu tersebut dan kemudian menutup dan
mengunci pintunya dari dalam.
Terdengar gedoran-gedoran
dari luar silo, sehingga Shinta yang berada didalam silo pekak telinganya
……”ayunda Shinta buka pintunya….atau kalau
tidak akan aku kunci pintunya dari luar….ayunda Shinta bukalah!…..der…der…der…!”
pintu silo digedor-gedor keras oleh Lesmana,
nampaknya ia seperti kesetanan, namun Shinta diam didalam silo tidak memberi
kesempatan membukakan pintu kepada Lesmana
….”baik ayunda akan aku timbuni dengan batu
pintu ini agar ayunda Shinta akan mati membusuk didalam!”….
Lesmana sudah putus asa, dan dilaksanakan apa
yang ia ucapkan. Pintu silo ditimbun batu besar sehingga sulit untuk membuka
pintu dari dalam. Lesmana kemudian pergi, masuk kembali kedalam hutan mencari
kakaknya Ramabadra dengan meninggalkan Shinta sendirian terperangkap didalam
silo.
…..“aku tidak menyangka, kalau adik Lesmana
akan berbuat kurang ajar terhadapku, aku pikir dia orangnya pendiam tapi
ternyata dibalik itu mempunyai sifat jahat seperti binatang!”……
Shinta mengomel sendirian didalam kegelapan
silo. Silo yang diameternya hanya kurang lebih tujuh langkah dengan dinding
menjulang tinggi terbuat dari batu bata seperti sumur, atapnya diatas tidak
terlihat, hanya ada seberkas sinar matahari menembus melalui celah tutup lobang
control diatas atap sana
…..”sepertinya adik Lesmana sudah pergi
meninggalkan aku,….baik aku akan segera keluar dari sini sebelum kehabisan
nafasku,”…..
Shinta mencoba
membuka pintu silo, tapi tidak berhasil sebab pintu diganjal batu oleh Lesmana
dari luar. Shinta melihat tangga kayu yang tertanam menempel didinding silo
berdiri keatas hingga keatap persis menuju kelobang control diatap. Maka
dikumpulkan keberanian dan seluruh kekuatannya dicobanya menaiki tangga kayu
tersebut. Satu persatu anak tangga diinjaknya dengan hati-hati naik menuju
keatas, silo yang berdiri tegak bagaikan menara mercu suar ditengah karang.
Separoh
ketinggian Shinta berhenti sejenak mengatur nafasnya, tiba-tiba muncul suara
gaduh keplakan beribu-ribu sayap dengan suara mencicit dari burung-burung
wallet yang bersarang didalam silo merasa terusik dan terbang berputar-putar
didalam silo menuju lobang control diatas atap silo untuk keluar. Kaget Shinta
akan kegaduhan yang tiba-tiba ini, hampir saja ia melepaskan pegangannya,
berdebar keras jantungnya dicobanya mengambil nafas panjang untuk meredakan
rasa kagetnya, setelah tenang diteruskannya memanjat kembali anak-anak tangga
hingga sampai ke atas atap, dibukanya tutup lobang control bersamaan itu
pulalah ribuan burung wallet berebut keluar dari sarangnya.
Dua kali Shinta
dikejutkan ulah burung-burung ini sehingga ia membuat gerakan keras untuk
menepis burung-burung tersebut yang menabrak mukanya, segera ia keatas berusaha
berpegang erat bibir lobang sehingga mengakibatkan terdorongnya anak tangga
yang diinjaknya menjadi patah dan jatuh kebawah. Untung Shinta selamat dan
dengan sekuat tenaganya berusaha mengangkat tubuhnya keluar melalui lobang
tersebut dan berhasil naik diatas atap yang terbuat dari geladak kayu. Shinta
berdiri diatas atap silo, tinggi sekali hampir sama ketinggiannya dengan pohon
kelapa. Dia coba memandang keadaan sekelilingnya, dibawah sana disebelah
selatan terlihat kebun milik penduduk, dan disebelah utara terhampar padang
yang luas sampai ketepi hutan dimana diperkirakan Shinta tadi datang dari hutan
dan berlari menuju kebangunan silo ini
…..”dimanakah Lesmana sekarang berada?
Masihkah ia berkeliaran disekitar sini?”….terus bagaimana ini, kapan aku bisa
mendapatkan pertolongan untuk bisa keluar dari neraka ini!”…..sangat
diharapkan ada penduduk yang lewat untuk dimintai pertolongan, tapi berjam-jam
Shinta tunggu tidak ada seorangpun yang lewat kebangunan silo ini
…..”biarlah aku tunggu dengan sabar, semoga
Tuhan melihatku dan mengirimkan malaikatnya untuk menolongku!”
Shinta sepertinya membujuk dirinya sendiri
untuk tenang.
8
JATAYU
YANG MALANG
Diangkasa!
Prabu Rahwana baru saja kembali dari perjalanan inkoknitonya kedaerah-daerah
negeri bawahan, masih biasa selalu dalam penyamarannya kebetulan lewat didaerah
Dandaka. Dari atas penerbangannya Prabu Rahwana melihat jauh dibawah sana
sepertinya ada angin puting beliung gelap meliuk-liuk dari salah satu titik
diatas sebuah bangunan dibawah sana. Dicoba merendah untuk didekati, oh
ternyata sekumpulan burung wallet sedang keluar dari sarangnya.
Tapi sepertinya
ada yang aneh tampak diatas sebuah atap bangunan tersebut, penasaran Prabu
Rahwana turun lebih rendah lagi untuk meneliti agar lebih jelas
…..”hei, ada seorang puteri cantik sedang
duduk diatas atap sebuah silo, siapakah gerangan?”…..
maka Prabu Rahwana turun mendekat diatas atap
silo,
…..”sedang apa kisanak, dan siapa namamu
kok aneh berdiri diatas atap silo tua ini?”….tanya Prabu Rahwana kepada
Shinta,
…”oh, kebetulan Aki lewat, tolonglah aku Aki
agar aku bisa turun kebawah, namaku Shinta tadi aku iseng naik tangga silo ini
kemudian sebagian anak tangganya patah sehingga aku kesulitan untuk turun
kembali kebawah!”…..
Shinta memberi penjelasan kepada Aki tua yang
sebenarnya adalah Prabu Rahwana dalam penyamarannya
….”baiklah Shinta, bisakah kamu berpegang
erat-erat pada tanganku ini, aku akan membawamu terbang turun kebawah, ayo
hati-hati….!”
Prabu Rahwana mengulurkan tangannya, dan
Shinta menyambutnya dengan berpegang erat-erat ditangan Prabu Rahwana yang
kokoh, pelan-pelan Prabu Rahwana mengangkat terbang kemudian secara perlahan
turun kebawah.
Tapi belum
keduanya sempat menyentuh tanah, mendadak ada seekor burung raksasa datang dari
angkasa menukik kemudian menyambar Prabu Rahwana sambil mematukan paruhnya
kemuka Prabu Rahwana, sehingga Prabu Rahwana dan Shinta jatuh bersama ketanah,
Shinta sedikit terbanting sehingga tak sadarkan diri, sedangkan Prabu Rahwana
jatuh terjerembab mukanya ketanah.
Prabu Rahwana
mukanya terluka parah, segera ia berdiri dan ,
…..”hei, burung raksasa siapa kamu dan apa
maksudmu mencelakai kami?”…..berteriak memaki burung raksasa
tersebut yang masih melayang rendah mengitari Prabu Rahwana,
….”ha..ha…ha…, aku Jatayu sahabat Dasarata,
pergilah kamu dan tinggalkan Shinta,….aku akan membawanya kembali ke Ayodya!”….
Jatayu menjawab, tapi Prabu Rahwana tidak
mempercayai omongan burung raksasa tersebut, masalahnya Jatayu datang dengan
cara yang tidak bersahabat. Maka Prabu Rahwana memutuskan untuk membalas
serangan Jatayu, maka terjadilah perang dahsyat diudara antara Prabu Rahwana
dengan burung raksasa Jatayu. Akhirnya Jatayu kalah dan melarikan diri dalam
kondisi luka parah akibar pukulan-pukulan dari Prabu Rahwana.
Prabu Rahwana bergegas turun ketanah dan
segera menghampiri Shinta kembali yang masih tidak sadarkan diri. Prabu Rahwana
bingung apa yang harus ia lakukan, maka diangkatlah Shinta dan cepat-cepat
dibawanya terbang menuju ke ruang gawat darurat dirumah sakit Alengkadiraja
agar segera ditangani pemeriksaan dan mendapatkan perawatan serta pengobatan
dari para dokter-dokternya.
Hutan Dandaka!
Lesmana akhirnya berhasil mencari Ramabadra, dan melaporkan kejadian perginya
Shinta sewaktu diserahi Ramabadra untuk menjaga Shinta
….”jadi dinda Shinta sengaja pergi bukan
karena kamu ganggu, tapi karena keinginannya ingin mencari aku, baiklah ayo
kita cari bersama!”……
kemudian keduanya berangkat mencari Shinta.
Dan sampailah keduanya dibangunan silo tua, Lesmana hatinya berdebar-debar
ketakutan, dalam pikirannya ada kekhawatiran jangan-jangan Shinta masih hidup
ada didalam bangunan silo. Dan pasti akan terbongkarlah rahasia kelicikan
Lesmana yang telah berani merusak pager ayu Shinta isteri kakaknya Ramabadra
….”ee, tapi kok sepi dan tumpukan batu itu
masih menutup pintu silo, artinya ayunda Shinta masih ada didalam, mampus aku?”….
tapi diatas menara silo terdengar suara
rintihan, Lesmana segera memeriksanya, oh ternyata ada seekor burung raksasa
Jatayu sedang bertengger diatas atap silo merintih kesakitan karena terluka
setelah dihajar habis-habisan oleh Prabu Rahwana,
…..”Hei burung Jatayu, apakah kamu mengetahui
isteriku Shinta lewat kesini?” Tanya Ramabadra
kepada Jatayu,
…..”ampun raden, Shinta isterimu dibawa pergi
oleh Rahwana raja Alengkadiraja, dan aku sudah mencoba menahannya tapi aku
tidak sanggup melawannya,”….begitu penjelasan Jatayu
kepada Ramabadra,
….”apa, jadi kamu biarkan Shinta dibawa
lari Rahwana ke Alengka dan Jatayu sakti tidak sanggup menahannya,….aah dasar
burung tidak berguna!”
Ramabadra marah dan dicabutnya anak panah
kemudian dibidikan kearah Jatayu diatas atap silo, kaget Jatayu dan tidak
sempat menghindar, panah mengenai tubuhnya
sehingga Jatayu jatuh dari ketinggian terhempas ketanah dan akhirnya
mati mengenaskan. Sadis! Lesmana gemetar ketakutan melihat begitu bengisnya
kakaknya Ramabadra, tiada sedikitpun rasa kasihan terhadap Jatayu yang telah
membantunya untuk menyelamatkan Shinta, bukan ucapan terimakasih malahan
kematian yang Jatayu terima.
9
TRAGEDI
GOA KISKENDO
Ramabadra
dan Lesmana kembali kepertapaan Kutarunggu, disana telah ada pertemuan para
Resi dengan Batara Sri
,…..”masuklah Ramabadra dan Lesmana, aku sudah
tahu masalahmu, janganlah susah Shinta pasti akan kembali setelah terjadi
peperangan antara Ramabadra dengan Rahwana. Ada syaratnya bila kamu
menginginkan kemenangan atas peperangan itu agar Shinta bisa kembali, pergilah
kepuncak Reksamuka temuilah Prabu Sugriwa, ia akan membantumu dengan segala
kekuatannya dan akan menuruti segala keinginanmu, bilamana kamu mau membantu
selesaikan permasalahannya yaitu perseteruannya dengan Resi Subali. Isterinya
yang bernama Dewi Tara direbut sama kakaknya yaitu Resi Subali dari Gua
Kiskendo. Maka dengan pertolonganmu Resi Subali akan mati dan Dewi Tara akan
kembali ketangan Sugriwa. Kamu tahu apa yang aku maksud, Rama?”
……
Batara Sri memberi penjelasan kepada Ramabadra,
….. “baik pukulun, hamba mengerti dan akan
melaksanakan saran-saran pukulun,” jawab Ramabadra.
Hadirnya Batara Sri kepertemuan para Resi,
semakin jelas kemana arah misi-misi yang dibawa para Resi dari Gangga ini
nantinya. Dengan campur tangan Batara Sri dengan para Brahmana, ini suatu bukti
adanya konspirasi untuk tujuan kekuasaan.
Tapi yang
menimbulkan tekateki keberpihakannya kepada Ramabadra mengapa sasaran untuk
dihancurkan harus Rahwana? Apakah Rahwana sosok yang menakutkan dan membahayakan
bagi posisi para Brahmana dan para Dewa? Salahnya dimana, Rahwana didalam
menjalankan tugas sebagai Maharaja pada negeri-negeri bawahan yang tergabung
dalam perjanjian persekemakmuran juga baik-baik saja, Rahwana juga tidak
mbalelo terhadap kekuasaan Jonggring Saloka penguasa kadewatan sana? Meskipun
berbeda faham kepercayaan dengan para
Brahmana tetapi ia selalu bisa menyesuaikan diri dan menghormati faham
kepercayaan orang lain didalam cara-cara manembah kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa, dan lagi pula Rahwana dicintai oleh rakyatnya karena kebijaksanaannya
didalam ngemong masyarakatnya.
Ramabadra dan
Lesmana berangkat ke negeri Reksamuka yaitu kerajaan munyuk (kera atau beruk)
terbesar sakdunia dengan rajanya bernama Prabu Sugriwa yang sakti dan mempunyai
jutaan bala tentara. Saat ini Prabu Sugriwa sedang sakit, sakitnya semacam
psikosomatik dimana secara lahiriah fisiknya sehat tetapi jiwanya bermasalah,
menderita batin kata orang, karena cintanya kepada Dewi Tara yang saat ini
direbut kembali oleh kakaknya sendiri yaitu Resi Subali yang bertahta dinegeri
siluman Gua Kiskendo.
Ramabadra dan
Lesmana diterima baik oleh Prabu Sugriwa dibalai Maliawan, yaitu suatu tempat
untuk menerima tamu-tamu negeri yang terhormat. Dan Prabu Sugriwa gembira
sekali mendengar kalau Ramabadra mau membantu menyelesaikan masalahnya dengan
Resi Subali,
…..”kakang Sugriwa cobalah tantanglah
kembali Resi Subali, berperanglah sekuat tenagamu keluarkan semua ajian dan
mantra yang kamu miliki, aku akan membantumu saat kakang dalam situasi
terjepit,” …….
demikian saran dari Ramabadra
….”baiklah dimas akan aku lakukan,”…….
.jawab Prabu
Sugriwa.
Berangkatlah Prabu Sugriwa diiringi bala
tentaranya yang dipimpin Anoman yang masih kemenakannya sendiri putera kakaknya
Anjani, menuruni gunung menuju ke kerajaan siluman Gua Kiskendo. Saat itu Resi
Subali sedang semedi diruang pujan, dan isterinya Dewi Tara yang sedang
mengandung berada ditaman bersama para inang.
Dewi Tara tampak
sedih merenungi nasibnya, ketidak berdayaan untuk melawan ketidak adilan yang
ia alami membuatnya hanya bisa pasrah, ia sendiri heran mengapa para dewa tidak
ada yang perduli untuk menolongnya. Para dewa dikadewatan sana perilakunya
sudah berubah. Sepertinya mereka itu bukan dewa-dewa lagi yang bisa menjadi
junjungan para umat manusia diseluruh dunia dongeng ini, tugas-tugas untuk
mengatur urusan ketertiban di Mayapada dan Kadewatan sudah melenceng dari
pepakemnya. Perilakunya lebih rendah dari manusia, yang seharusnya menggembala
umat manusia agar tidak melenceng dari kodratnya.
Prabu Sugriwa
berteriak menantang Resi Subali,
…..”Subali keluarlah, menyerahlah dan bawa
Dewi Tara kembali kepadaku baik-baik, atau aku sendiri yang akan memaksamu
berlutut kepadaku, keluarlah Subali terimalah tantanganku ini!”…..
Resi Subali mendengar teriakan dan tantangan
dari adiknya Prabu Sugriwa, tetapi ia tidak tahu kalau dibelakang Prabu Sugriwa
ada Ramabadra dan Lesmana yang siap membantunya,
….”adikku Sugriwa pulanglah dan
bertobatlah, dengarkan sekali lagi bahwa akulah yang berhasil membunuh siluman
Mahisasura dan Jatasura, sejak kita turun dari Sunyapringga Batara Indra telah
menyaksikan seluruh kejadian ini dan juga tanyakan pada hati nuranimu pernahkah
kamu menyentuh siluman siluman itu? Kamu seperti anak kecil saja suka merebut
milik orang yang bukan hakmu, hidupmu hanya tergantung dari belas kasihan
orang, belajarlah dewasa untuk mandiri, pulanglah dan jangan mengusikku lagi,
Dewi Tara adalah milikku!” …..
muntab Prabu Sugriwa mendengar ejekan dari
kakaknya Resi Subali, sifat keranya kelihatan, dengan melempari batu-batu
kepintu gerbang dan kemudian dikuti oleh anak buahnya, ikut-ikutan merusak
sarana-sarana umum, lapu-lampu taman dirusaknya, pot-pot bunga di bulevar pada
digulingkan, merobohkan pohon-pohon melintang dijalan sehingga kendaraan dan
orang-orang tidak bisa lewat. Pokoknya kondisi kerajaan Gua Kiskendo jadi
runyam, Anoman muda merasa bangga bisa membantu pamannya ikut merusak ibukota
Gua Kiskendo menjadi rusak porak poranda
….,”adik Sugriwa, perilakumu sudah
kelewatan, baiklah aku akan layani apa yang kamu mau!”….
Resi Subali keluar dengan muka memerah
menandakan ia sangat marah kepada Prabu Sugriwa
…..”bagaimana dengan janjimu, aku ingatkan
kepadamu bahwa ketika kamu masuk kedalam gua kamu minta aku menunggumu diluar
gua, dan ingatkah kamu berpesan kepadaku untuk mengamatimu dari pintu gua bahwa
jika terjadi sesuatu yang menandai mengalirnya darah merah maka kamu meyakinkan
aku bahwa kedua siluman itu berhasi kamu bunuh, dan sebaliknya jika mengalir
darah putih artinga kakanglah yang mati terbunuh, dan seperti kakang lihat
sendiri dipintu gua telah mengalir darah merah bercampur darah putih, itu
artinya apa….sudah sekarang tidak usah perang mulut, lawanlah aku hingga titik
darah penghabisan, jika kamu mati Dewi Tara adalah milikku dan sebaliknya jika
aku mati maka Dewi Tara adalah milikmu!” ……..
begitu teriakan jawaban Prabu Sugriwa tidak
mau kalah dengan suara kakaknya Resi Subali.
Terjadilah perang
tanding kakak beradik yaitu Prabu Sugriwa dan Resi Subali. Seperti yang sudah
sudah Prabu Sugriwa selalu kalah. Kali ini Resi Subali sudah tidak sesabar dulu
lagi, dia sudah lupa statusnya sebagai kakak maupun sebagai seorang Brahmana
dan kembali sifat keranya yang dikedepankan. Pergulatan seru sehingga Prabu
Sugriwa jatuh dibawah dihimpit oleh Resi Subali, kesempatan ini tidak
dilewatkan oleh Ramabadra membidikan anak panahnya tepat mengenai jantung Resi
Subali, dan robohlah Resi Subali dengan teriakan yang memilukan, kesakitan dan
kemarahan sambil memegang panah yang menancap tepat mengenai jantungnya, darah
muncrat membasahi dadanya,
….”aah…aah…siapa kamu, braninya kamu membokong
dari belakang, apa urusanmu….aahhh,” …….
akhirnya Resi Subali mati.
Prabu sugriwa
girang seperti kesetanan segera masuk keistana Gua Kiskendo mencari Dewi Tara,
ketika akan masuk keputren disana terdengar suara bayi,
……oee, oee, oee, oeee...!!. Rupanya
Dewi Tara baru saja melahirkan puteranya, bayi kera laki-laki yang lucu berbulu
merah, diberinya nama sesuai pesan suaminya Subali dengan nama Jaya Anggada
…..”maafkan aku Dewi, semuanya sudah berlalu,
marilah kembali bersamaku!” ……
Prabu Sugriwa menggendongnya keluar bersama
bayi Anggada.
Kutarunggu! Resi
Wasista dan Resi Mitra selalu mengikuti perkembangan dari muridnya Ramabadra,
para Resi pun giat melakukan profokasi kenegeri-negeri bawahan Alengkadiraja
dengan memberitakan bahwa Raja Alengkadiraja telah menculik Shinta isteri
Ramabadra putera mahkota Ayodya. Dengan harapan mendapatkan simpati dan mau
bergabung membantu Ramabadra untuk menyerang Alengka yang katanya demi
keadilan, agar Shinta bisa dikembalikan kepada Ramabadra.
Banyak
negeri-negeri bawahan termakan hasutan ini dan menyatakan kesediaannya untuk
bergabung dengan Ramabadra melakukan serangan terhadap Alengkadiraja. Resi
Wasista dan Resi Mitra tersenyum mendengar laporan para Resi-resi yang membantu
terlaksananya misinya. Seluruh perkembangan ini mereka laporkan kepada Batara
Sri
……”dengan demikian jalan menuju Jonggring
Saloka semakin dekat.”…. ia bicara dalam hati dan hanya dia
saja yang tahu tujuan akhir dari misi ini.
Kembali di
pesanggrahan Maliawan milik Prabu Sugriwa, banguan terebut untuk sementara
dimanfaatkan oleh Ramabadra untuk memimpin rapat-rapat persiapan atau mengatur
strategi rencana penyerangan ke Alengkadiraja.
Sekali lagi Ramabadra mengumpulkan
sekutu-sekutunya, yaitu raja-raja bawahan Alengka yang mbalelo dan berbalik
sedia membantu untuk memerangi Alengkadiraja. Hadir dipertemuan itu diantaranya
adalah YMT Raja Barata dari Ayodya, Prabu Sugriwa dari Resamuka, Prabu Danarajaputra
dari Lokapala, Prabu Janaka dari Mantili dan para Raja dari Mahendra,
Kutarunggu dan masih banyak lagi. Mereka berikrar akan membantu Ramabadra untuk
menuntut keadilan yaitu melakukan perang dengan Alengkadiraja.
10
SHINTA
MENCARI SUAKA
Shinta
siuman, seorang dokter dan beberapa perawat ada disekitar tempat tidurnya,
….”dimanakah aku?”…..
Tanya Shinta kepada orang yang ada
disekitarnya,
…..”tenanglah, anda berada dirumah sakit
Kutagara kerajaan Alengkadiraja, anda tadi dalam keadaan pingsan dibawa kemari
oleh Prabu Rahwana raja Alengkadiraja,”…. jawab dokter yang merawatnya
…..”oh iya, aku baru ingat kejadian
penyerangan burung raksasa itu, sehingga aku terjatuh…dan mataku menjadi
gelap,”….
Shinta pulih ingatannya
….”Prabu Rahwana, tidak salah dengarkah
aku, bukankah tadi itu seorang Aki-aki?”
Sudah sebulan
Shinta dirawat dirumah sakit, dan selanjutnya dinyatakan sembuh total oleh
dokter yang menanganinya. Shinta diperbolehkan untuk pulang kenegerinya
….”pulang? ah, tidak! Aku tidak akan mau
kembali kepada kakang Ramabadra, inilah saatnya bebaskan diriku dari belenggu
iblis, aku ini manusia sama halnya Rama kalau dipukul juga sakit, perempuan
hadir didunia ini tidak untuk diinjak-injak martabatnya, dimata Tuhan baik
laki-laki dan perempuan adalah sama yang berbeda adalah amalan-amalan ketika
hidup didunia….tidak, aku bukan benda, bukan binatang jadi tidak bisa mereka
memperlakukanku seperti itu, aku akan menghadap raja dan mohon ijinnya untuk
tinggal disini!”…..
Keinginannya hidup merdeka, satu-satunya jalan
Shinta memutuskan tidak kembali ke Ayodya. Shinta meminta suaka kepada Prabu
Rahwana untuk tinggal di Alengkadiraja.
Shinta ingin
hidup sebagai manusia yang bebas dan merdeka yang tidak terikat oleh
rantai-rantai belenggu yang menjeratnya, sehingga ia dapat bebas mencapai
cita-cita luhurnya, yaitu cita-cita mulia manusia menjadi insan kamil, menjadi
hamba Sang Kaliq yang shalih, mengabdikan hidupnya pada kehendakNya, menegakkan
kebenaran, melawan kebatilan dan mewujudkan kehidupan yang adil, damai dan
sentosa.
Belenggu alam
masih mudah diatasi yaitu dengan ilmu pengetahuan dan kemauan yang kuat,
manusia dapat menaklukkan rintangan-rintangan alam. Lhah, kalau belenggu
tradisi dan masyarakat atau adat istiadat yang sudah turun temurun
pada hakekatnya adalah penjara yang mengungkung manusia. Yaitu orang-orang pada
beranggapan bahwa tradisi warisan dari nenek moyang adalah kebenaran yang harus
dilestarikan meskipun irrasional dan bertentangan dengan akal sehat, tanpa mau
untuk mengujinya kembali apakah warisan tersebut sudah benar, masuk akal dan
bermanfaat bagi masyarakat? Kadang-kadang masyarakatpun ada yang membelenggu
warganya dengan kelatahan-kelatahan. Maka dari itu Shinta memutuskan lebih baik
menghindari Ramabadra agar tidak semakin terjerat kebelenggu yang paling
berbahaya yaitu belenggu ego dimana sang nafsulah yang menjadi rajanya
yang harus dituruti, mengabaikan spirit kerjasama dan tolong menolong menjadi
sirna, bahkan menjelma menjadi manusia yang exploitative, dimana pihak yang
kuat memeras dan menindas pihak yang lemah, yang kaya menghisap yang miskin,
kecenderungan hidup kian materialistik. Tidak! Shinta harus pergi menghadap
Prabu Rahwana, tak peduli keinginannya ini bakal menjadikan masalah, dan
sensitive menyangkut hubungan kenegaraan antara Alengkadiraja dengan Ayodya,
meskipun Ayodya termasuk negeri bawahan Alengkadiraja,
…..”baiklah Shinta, saya ijinkan kamu menetap
sementara di Alengkadiraja, dan Sapakenaka selanjutnya yang akan mengatur
dimana kamu bisa tinggal,”….
demikian keputusan Prabu Rahwana sebagai
jawaban atas permohonan suaka Shinta di negeri Alengkadiraja. Betapa gembiranya
Shinta diijinkan untuk tinggal di Alengkadiraja, dan Sapakenaka mengantarnya
kepesanggrahan di Taman Soka untuk kediaman sementara Shinta
,….”terima kasih Yang Mulia, atas segala
bantuannya.”…..
ucapan terimakasih Shinta kepada Sang Prabu.
Rasanya hidup Shinta bergairah kembali,….dan malamnya Shinta tidur nyenyak
sekali.
Ada pepatah, “lebih baik hujan batu
dinegeri sendiri dari pada hujan emas dinegeri orang,” bagaimana dengan
Shinta, sependapatkah????
11
MANDIRI,
CINTA BERSEMI
Pada
suatu sore yang cerah Prabu Rahwana berkunjung ke Taman Soka, disana sempat
bertemu Shinta dan memperhatikan Shinta yang datang menyambutnya seraya
membungkuk menghormat tanpa mengangkat matanya dan kegemulaiannya dalam
membungkuk tidak luput dari perhatian Prabu Rahwana. Sang Prabu menyadari bahwa
Shinta memang cantik, kelihatan muda, sopan dan tahu adat istiadat. Tinggi
dengan lekuk tubuh yang istimewa, dan pakaian yang menonjolkan bentuk tubuhnya,
rambutnya yang hitam gelap kearah coklat, dan matanya berwarna hitam
kebiru-biruan, kulitnya jernih dan putih dengan gaun kuning menambah anggun
penampilannya. Shinta sore itu kelihatan luar biasa cantiknya,
……”terimalah hormat hamba Yang Mulia,
sejahtera dan panjang umur selalu menyertai paduka Yang Mulia….tetapi
seyogyanya Yang Mulia utusan hamba kepada punggawa dan pasti hamba segera
menghadap, sehingga Yang Mulia tidak repot harus datang kesini,”…..
Shinta mengucapkan salam kepada Prabu Rahwana,
…..”terimakasih, dan bagaimana kabarmu Shinta,
kerasankah kamu tinggal disini? Dan apa rencana hidupmu selanjutnya, dan apa
yang bisa aku bantu untukmu Shinta, katakanlah?”…..
jawaban sapaan Prabu Rahwana
….”terimakasih Yang Mulia, hamba masih
bingung, apa yang harus hamba kerjakan kedepannya,”…
.jawab Shinta,
…..”baiklah, kapan kamu telah mendapatkan
inspirasi dan jika membutuhkan bantuanku katakanlah lewat Sarpakenaka atau kamu
bisa menghubungi Kumbokarno, dan kamu bisa minta saran-saran padanya, adikku
Kumbokarno ahli dibidang pemasaran dan perdagangan”….
setelah keperluannya cukup, kemudian Prabu
Rahwana berpamitan dan kembali keistana.
Seperti yang
dijanjikan, Sang Prabu mengirim adiknya Kumbokarno untuk membimbing, mengajar
seta mengarahkan Shinta tentang peluang-peluang bisnis di Alengkadiraja.
Anjurannya adalah agar Shinta memulai usaha dari bawah dulu, supaya tahu persis
seluk beluk cara berdagang. Dan suatu
pagi datang Sarpakenaka menemui Shinta
…..“selamat datang ayunda Shinta di
Alengka,”….
demikian sapaan Sarpakenaka kepada Shinta di
pesanggrahan Taman Soka,
….”ini ada hadiah sebuah mesin jahit dari
kakang Prabu Rahwana, mungkin bisa bermanfaat untuk ayunda Shinta.”……
dan Shinta menerimanya dengan sukacita,
…..”tapi aku belum bisa menjahit, dimana
aku bisa kursus menjahit….oh ya, sampaikan terimakasihku kepada sang Prabu atas
pedulinya kepada kami,”…..
dan Sarpakenaka tersenyum mengangguk.
Hampir satu bulan
mesin jahit itu dibiarkan Shinta masih ndongkrok dipojok kamar, dia belum tahu
apa yang harus perbuat dengan mesin itu, ia sama sekali tidak mengerti urusan
jahit menjahit. Setelah ia mendapat informasi dimana tempat kursus menjahit,
kemudian ia mendaftar dan memulai kursus ini dimulai dari tingkat dasar,
kemudian dilanjutkan ke tingkat trampil dan mahir. Setahun lebih Shinta
mendalami kursus menjahit dan akhirnya ia dinyatakan lulus dan dianggap sudah
menguasai teknik menjahit dengan baik.
Shinta mencoba
membuka usaha sendiri, dengan semangat yang kuat ia mencoba kemampuannya
membuka usaha menjahit busana pria, wanita dan anak-anak. Menjahit memang
memerlukan keseriusan dan ketekunan. Shinta mulai sibuk dengan order dari
pelanggan, yang lambat laun semakin banyak, dan akhirnya Shinta kewalahan mengerjakan
sendiri, sehingga perlu mengambil beberapa penjahit untuk dijadikan
karyawannya.
Dengan bantuan
modal pinjaman dari bank, akhirnya Shinta membuka bisnis garmen dengan
memperkerjakan banyak karyawan dan mempunyai beberapa pesaing yang cukup abot.
Pada awalnya Kumbokarno adalah mengajarkan cara-cara berdagang, tapi kini
Shinta sudah bisa membuat keputusan-keputusan sendiri, bahkan sang murid telah
melampaui kepandaian sang guru. Tidak terasa sudah hampir lima tahun bisnis
garmennya berjalan dengan lancar, dan bisa membawanya pada kehidupan yang layak
sebagai wanita yang mandiri, yangmana kiprah seperti ini tidak mungkin bisa ia
lakukan dinegeri asalnya Mantili maupun Ayodya. Shinta tak akan pernah
membiarkan apapun menghalangi langkahnya.
Prabu Rhwana
setiap kali berkunjung ke Taman Soka menyempatkan singgah dikediaman Shinta dan
memberikan semangat untuk maju kepada Shinta. Sang Prabu Rahwana ikut gembira
dan kagum melihat kesungguhan Shinta berjuang untuk menjadi wanita yang
mandiri. Sepengetahuannya baru kali ini ada seorang perempuan dinegerinya
berbakat, mampu berjuang membangun usaha-usaha yang bermanfaat baik bagi
dirinya sendiri dan orang banyak.
Shinta ingin
lebih maju, dengan pengalamannya dibidang garmen semakin mantap, ia mencoba
memasuki dunia usaha yang lain. Shinta mencoba melakukan studi banding untuk
mencari prospek bisnis lain yang bisa dikembangkan, dan Shinta minta bantuan
konsultan kerajaan Alengkadiraja dalam hal mempersiapkan infrastruktur
perusahaan, dengan merekrut lebih dari seratus orang karyawan yang mengisi
bidang-bidang usaha yang beragam. Mulai dari bidang garmen, lalu melaju pesat
kebidang usaha lain seperti general trading, supplier, ekspor-impor, printing
dan alat-alat kecantikan.
Perusahaan-perusahaan
yang dibangunnya banyak membuka lapangan kerja, yang sekaligus membantu
pemerintah kerajaan Alengkadiraja mengentaskan kemiskinan. Ia seorang
perfesionis, ia tahu persis apa yang dikehendakinya, dan bertekat keras untuk
memperolehnya. Sebagai pengusaha wanita banyak kerikil tajam menghadang,
cemoohan ada sementara pihak menganggap Shinta pengusaha wanita bermartabat
rendah, namun semuanya bisa diatasi dengan intergritas dan prinsip yang kuat
bahwa apa yang Shinta jalani selalu berjalan lurus dan ia berkeyakinan bahwa untuk
menjadi pengusaha sukses adalah harus bisa memenet dengan baik antara kehidupan
pribadi, perusahaan, pegawai dan aktivitas social politik.
Pada awalnya, ada
diantara pegawainya yang mencoba kurang ajar padanya, mereka memang selama ini
belum pernah bekerja pada majikan perempuan sebelumnya, karena hal itu tidak
lazim pada jaman itu, dan itu sangat mengasyikkan bagi mereka. Ternyata mereka
salah duga, mereka mencoba melecehkan kenyataan bahwa majikan mereka hanyalah
seorang wanita. Pernah terjadi salah seorang dari mereka berjalan melewati
Shinta dan dengan pura-pura tidak sengaja menyenggol payudara Shinta atau
bokongnya,
…..”maaf, tak sengaja, he..he..he.”…..
dengan cengengesan berlalu kesenangan.
Shinta tanpa
basa-basi memanggilnya dihadapan pegawai-pegawainya yang lain dan langsung
memecatnya. Sikap mereka yang melecehkan ini lambat laun berubah menjadi rasa
hormat. Shinta menganggap para karyawannya adalah merupakan keluarganya. Shinta
sangat memperhatikan dan murah hati pada mereka. Mereka adalah asset dan
miliknya satu-satunya didunia ini, dibantunya anak-anak mereka dengan
memberikan beasiswa untuk sekolahnya. Mereka sangat berterima kasih atas
kemurahan hati Shinta. Dan tanpa disadari Shinta telah punya bangunan benteng
pelindung yang mengitari dirinya. Mereka tidak rela bila ada orang yang berani
menyakiti Shinta.
Suatu sore yang
cerah, Prabu Rahwana datang yang kelima kalinya bertandang kerumah mewah
milik Shinta dikawasan Taman Soka.
….”ya
Tuhan, Shinta bertambah cantik sekarang,”…..
dalam hati Prabu Rahwana memuji Shinta yang
sedang keluar,
wajahnya terterpa sinar matahari yang menembus
masuk melalui bouvenligh dirumahnya, rambutnya yang tergerai setengah basah
mungkin habis mandi. Seolah-olah wajah Shinta menyerap berkas berkas sinar
matahari sebelum memancarkannya kembali kemata Prabu Rahwana. Kali ini Prabu
Rahwana berhadapan dengan Shinta menjadi tampak bodoh, Pabu Rahwana menganggap
Shinta salah seorang wanita tercantik yang pernah dilihatnya, tetapi ia tidak
begitu memperhatikannya karena Shinta telah bersuami. Saat Shinta memandangnya,
ekspresi matanya seperti kebanyakan wanita yang terpesona oleh penampilan dan
daya tariknya. Prabu Rahwana memang gagah dan lembut tutur katanya, wajar saja
setiap wanita banyak yang terpesona kepadanya. Apalagi Prabu Rahwana bukan pria
kejam, bahkan sebenarnya ia penuh belas kasih, terutama kepada mereka yang
serba kekurangan. Kemurahan hatinya sangat terkenal, ia selalu disambut sorak
sorai oleh rakyatnya dan disetiap kunjungan dinegeri-negeri bawahannya. Inilah
yang membuat Shinta kagum dan hormat kepada orang tua ini. Prabu Rahwana
bengong melihat kecantikan Shinta, membuat hatinya berdebar-debar dan
membangkitkan semangatnya, Prabu Rahwana diusia menginjak 55 tahun, mengakui
bahwa untuk pertama kali dalam hidupnya ia merasakan sesuatu yang aneh
bergelora didalam hatinya, apakah ini perasaan cinta? Prabu Rahwana menyadari
Shinta telah memikat dan memesonanya, perasaannya yang satu ini sama sekali
berbeda dibanding dengan apa yang pernah dirasakannya,
…..”apakah aku mencintaimu Shinta?…aku
mencintaimu Shinta,…benarkah?”……
suara hatinya yang tidak bisa berbohong
mengatakan demikian.
Tapi ini tidak
pantas, Prabu Rahwana terlalu tua, Shinta menginjak usia 30 tahun adalah pantas
jadi anaknya, perasaan cintanya dipendamnya. Benarkah?
.....”tapi bagaimana dengan Shinta, apakah ia
akan terus menerus hidup dalam kesendiriannya. Apakah dia tidak membutuhkan
teman yang bisa berbagi suka dan duka, meskipun ia wanita yang punya sifatnya
yang mandiri, fleksibel dan kreatif serta kemampuannya yang serba bisa dan
punya penghasilan sendiri. Apakah perbedaan umur yang jauh aku dan Shinta
apakah menjadikan penghalang untuk menjalin hubungan yang lebih dekat, yaitu
menikah.”…….
pikiran Sang Prabu hanya ada Shinta.
Setiap manusia
membutuhkan pendamping dalam hidupnya untuk saling berbagi dan saling menjaga.
Pernikahan mengajarkan manusia untuk bertanggung jawab baik kepada manusia atau
kepada Tuhannya, dan wanita yang sudah menikah akan lebih terhormat, wanita
yang takut menikah berarti menentang kodratnya sebagai manusia
….”baiklah aku harus sabar, tunggu waktu
yang tepat untuk menyampaikan isi hatiku ini,”……Sang Prabu menghela nafas
dalam-dalam.
Trauma, dipicu
pengalaman tak mengenakan dalam hidup Shinta membuatnya berfikir tujuh kali
untuk memutuskan menikah kembali, lagi pula sebagian hidupnya bermasalah,
kasusnya dengan Ramabadra belum tuntas. Keinginannya untuk menikah sudah pasti
ada, pria yang diinginkan jelas bukan seperti Ramabadra, pilihannya adalah pria
yang bisa berbagi dan menikmati kebersamaan serta adanya kebutuhan akan rasa
aman dan nyaman yang diyakini akan mampu membawanya kekehidupan yang lebih
baik. Perasaan cinta yang dirasakan seperti Shinta yang usianya paruh baya
mungkin berbeda dengan wanita-wanita usia remaja. Tuntutan cintanya adalah
cinta yang lebih dewasa, matang dan melalui pemikiran yang mendalam, tak
sekedar emosi dan seks semata. Nah, apakah Prabu Rahwana masuk dalam criteria
pilihannya? Boleh jadi, tapi rupanya tidak sekarang, tidak tahu nanti bila
waktu membawa takdir untuknya. Sebab Shinta sadar betul bahwa pernikahan
artinya wanita akan terikat aturan-aturan berumah tangga, konsekuensi dan
sanksi bila ada pelanggaran dalam rumah tangga, perkawinan pada dasarnya adalah
sebuah kontrak social yang banyak berisi perjanjian antara pasangan itu tentang
hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dan dipatuhi dengan keihklasan sehingga
pasangan itu tidak merasa kebebasannya terbelenggu atau karirnya terganggu.
12
AJAKAN
BERDAMAI
Atas
desakan anggota-anggota Negeri-negeri Perdamaian, Prabu Rahwana dianjurkan
melakukan pendekatan kepada Ramabadra, untuk berdamai. Menanggapi anjuran
tersebut kemudian Prabu Rahwana melakukan pertemuan dengan Ramabadra di
Mahendra, untuk menyelesaikan masalah Shinta yang menginginkan untuk menetap di
Alengkadiraja. Namun oleh pihak Ramabadra menolak keinginan Shinta, dan
menuntut Prabu Rahwana bertanggung jawab akan kembalinya Shinta ke Ayodya
dengan selamat! Dianggap Alengka telah menginjak-injak harga dirinya. Dan jika
tuntutannya ini ditolak, itu artinya Alengka telah siap untuk berperang
menghadapi Ayodya dan sekutu-sekutunya,
……”maka sebelum ini terjadi lebih baik Prabu
Rahwana agar menyerahkan kekuasaannya kepada Ayodya, dengan begitu akan lebih
mudah saya untuk mengatur kepulangan Shinta ke Ayodya tanpa menimbulkan
peperangan”…...begitu jawaban Ramabadra setengah
merendahkan Prabu Rahwana sehingga membuat merah muka dan panasnya telinga
Prabu Rahwana.
Prabu Rahwana
menangkap apa yang tersirat dibalik perkataan Ramabadra, tidak sekedar
permasalahan Shinta saja, tapi lebih jauh lagi ia punya keinginan akan
kekuasaan, namun Prabu Rahwana cukup sabar dan menahan diri menyaksikan
keangkuhan Ramabadra meremehkan dirinya. Jelaslah bagi Prabu Rahwana ini adalah
tuntutan yang ngoyoworo, dengan halus Prabu Rahwana menolaknya.
Dan Rahwana
mengingatkan Ramabadra bahwa nafsu untuk berkuasa dan hasrat akan kehormatan
yang berlebih-lebihan dari Ramabadra itu hanya akan menyeret bermacam-macam
bangsa dan rakyat kedalam kancah peperangan. Tiada terhitung banyaknya kerugian
yang bakal diderita, tiada terhitung wanita-wanita yang menjadi janda,
anak-anak yang menjadi yatim-piatu karena kehilangan orang tuanya. Tiada
ternilai kerugian akan benda, harta budaya, hasil pemikiran dan kecakapan manusia
yang bakal musnah. Malapetaka akibat peperangan seperti kemiskinan, kelaparan,
kelumpuhan kehidupan rakyat, pengangguran, kehancuran moral yang akan
menghancurkan roda-roda pemerintahan Negara, dan bagian dunia dengan tidak
langsung akan menerima pula akibat-akibatnya. Sebab Alengka maupun Ayodya tidak
hidup sendiri, hubungan antar Negara bisa lumpuh, karena kemerosotan produksi
dinegeri sendiri
…..”Masalah Shinta yang tidak mau kembali ke
Ayodya dan minta perlindungan kepada Alengka itu adalah hak asasi manusia,
terserah dia ingin tinggal dimana, seseorang tidak bisa memaksanya…..Masalah
Alengka bersedia memberikan suaka kepadanya semua itu atas dasar pertimbangan
perikemanusiaan dan perikeadilan saja, dengan demikian maka Shinta layak
mendapatkan perlindungan dari Alengkadiraja”….
jawaban Prabu Rahwana merupakan keputusan
final kesediaannya untuk membantu Shinta dan memenuhi keinginannya untuk hidup
merdeka.
Ramabadra mendengar perkataan Rahwana bukannya
menanggapi dengan baik, tapi menjawabnya dengan emosional dan kata-kata yang
menyakitkan hati
……”diamlah! Rahwana cukuplah pertemuan ini dan
tidak perlu kamu ngoceh terus. Untuk menyelesaikan perkara ini tidak ada jalan
lain kecuali dengan perang. Bersiaplah!”……
13
WIBISANA
PENGKIANAT
Prabu
Rahwana tidak tahu, kalau Wibisana adiknya adalah seorang pemakai ganja, hampir
tidak bisa dipercaya bahwa adik seorang Raja Gung Binatoro yang jadi panutan rakyatnya dalam segala hal,
tidak tahunya mempunyai seorang adik yang menjadi budak narkoba. Pada waktu itu
Wibisana masih sangat muda, usianya menginjak 17 tahun, sering ikut datang di
Paseban agung dan selalu tertidur, sehingga menjadi tertawaan para Raja
bawahan, Menteri, Bupati dan Punggawa Negara. Dengan kasih sayang Kumbokarno
mengangkatnya dan membawanya masuk kedalam bilik dan diletakkan dipembaringan.
Awalnya
Sarpakenaka-lah yang mengetahui adiknya memakai obat-obat terlarang ini,
diperhatikan seluruh fisiknya mulai dari mata yang kemerah-merahan dan sering
basah seperti menangis, pupil matanya lebar, tidak tahan cahaya terang dan
lebih suka dalam ruangan remang-remang, mulut kering dan lidah gemetaran, nafas
cepat dan agak pendek, tangan dan kakinya kering dan dirasakan sangat berat
seperti batu, wajahnya pucat badan kusut, tanda-tanda bekas suntik yang sering
infeksi. Kemudian perilakunya yang acuh tak acuh mengenai penampilan, pakaian,
kebersihan badan, makan tidak teratur. Sukar berkonsentrasi, kemunduran
disiplin, kemunduran berprestasi, menurunnya rasa tanggung jawab dan sering melamun.
Sering silaf mata, pendengaran, sering berhalusinasi. Dalam keadaan ketagihan,
seperti seorang yang bingung atau seperti orang yang tidak waras. Keadaan
Wibisana yang demikian maka segera Sarpakenaka melaporkan kepada kakaknya Prabu
Rahwana. Kemudian Sarpakenaka diperintahkan untuk menyelidiki atas tindak
pidana narkotika secara benar dan tuntas.
Dan setelah
dilacak Wibisana tidak hanya pemakai narkoba saja, tetapi dia terlibat lebih
jauh lagi yaitu menjadi salah satu anggota pengedar-pengedar narkotik di
Alengkadiraja. Perdagangan narkotika memang membawa keuntungan luar biasa, dan
karena itu syndikat-syndikat tidak segan-segan mengeluarkan banyak uang untuk
menyuap, sehingga susah sekali ditanggulangi penyelundupannya. Korban banyak
berjatuhan terutama generasi muda, sulit untuk disembuhkan jika sudah ada
ketergantungan narkotik memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit, dan
hasilnya sering sangat mengecewakan.
Prabu Rahwana
risau, dewasa ini sedang menghadapi tugas-tugas pembangunan yang berat sejalan
dengan kemajuan yang dicapai dari hasil pembangunan dibidang ilmu pengetahuan
dan teknologi. Namun disatu pihak masih ada masalah dengan perseteruannya
dengan Ramabadra, tentang keinginan Shinta minta suaka untuk tinggal di
Alengkadiraja, yang mana sewaktu-waktu Ayodya bisa melakukan penyerangan ke
Alengkadiraja. Dan masalah tersebut diatas belum rampung, masih ditambah
masalah intern keluarga, kasusnya Wibisana dengan penyalahgunaan obat narkotika
dan minuman keras, sehingga bisa menimbulkan kerawanan dipelbagai bidang,
bahkan keresahan-keresahan didalam masyarakat luas. Ada perasaan bersalah pada
diri Prabu Rahwana didalam membimbing adiknya Wibisana yang terlalu ia
manjakan. Semua keinginan Wibisana selalu ia turuti, sehingga Wibisana menjadi
nakal. Sang ibu Dewi Sukesi sengaja tidak diberi tahu tentang kasusnya
Wibisana, diusia yang sudah lanjut harapan Sang Prabu tidak ingin ibunya
mengetahui khawatir akan terpukul jiwanya sehingga bisa berakibat hal-hal yang
tidak diinginkan.
Prabu Rahwana
memperhatikan dengan seksama baik bentuk maupun meluasnya penyalah-gunaan
narkotika tersebut diduga cenderung dipergunakan sebagai alat politik dan
subversi untuk menggagalkan segala upaya pembinaan dan pengembangan bangsa dan
Negara terutama generasi muda. Dan ini tidak bisa dibiarkan, sebab bisa
berkembang menjadi bahaya nasional yang dapat mengancam seluruh aspek kehidupan
serta kelangsungan hidup bangsa.
Narkotika adalah
berbagai jenis obat, yang kalau diisap, diminum, dimakan atau disuntikan
berulangkali dan dalam waktu yang cukup lama, menimbulkan kelainan yang
menjurus kerusakan susunan saraf pusatnya yaitu otak dan sumsum tulang
belakang. Jenis-jenis obat itu digolongkan psikofarmaka atau obat yang
berpengaruh terhadap psikes seseorang yang memakainya, ialah ganja atau
mariyuana, opium atau candu, morfin, heroin, kokain, obat nirozepan tergolong
hipnotika, dan obat-obat amfatamine yang sering disalah gunakan para olah
ragawan professional yang dikenal dengan istilah doping. Alcohol juga setaraf
dengan ganja, menimbulkan kerusakan badan, menurunkan daya fikir dan merusak
jaringan otak. Korban narkoba dapat menjadi jahat, jika dalam ketagihan
ia tidak dapat memenuhi kebutuhannya akan ganja. Dalam keadaan demikian itu ia
dapat melakukan segala cara untuk mendapatkan uang guna membeli ganja, misalnya
mencuri, korupsi, menjambret, merampok dsb.
Suasana di
Kutarunggu, Resi Wasista tampak gusar setelah mendapat laporan Resi Mitra,
….”ketiwasan kakang Resi, rupa-rupanya Prabu
Rahwana berhasil mengendus pergerakan kita, Wibisana dalam kondisi “fly”
nyerocos membuka rahasia jaringan-jaringan narkotika,….saya khawatir akan
terbuka kedok kita.”……
Resi Mitra gugup melaporkan perkembangan
jaringannya di Alengkadiraja
…..”kalau begitu segera putus penghubung kita
agar tidak terlacak dan hanya berhenti hingga disitu saja!”…..
perintah Resi Wasista,
….”kemudian
buat Wibisana akan selalu bergantung kepada kita, buatlah penghubung-penghubung
baru dan yang lama lenyapkan saja!…..
Resi Mitra
kemudian memerintahkan kepada pembantu-pembantu kepercayaannya untuk
melaksanakan instruksi Resi Wasista yang baru. Resi Mitra kembali menemui Resi
Wasista dan mendengarkan perintah-perintah atasan berikutnya,
……”Sekarang ini kami sedang memikirkan
tentang perang mendatang melawan Alengka, pertama kita rangkul Wibisana kita
jadikan dia kunci terakhir buat kemenangan kita, kedua adalah buat propaganda
kasusnya Shinta sebagai skandal Rahwana yang akan kita sebar luaskan sampai
berhasil menciptakan opini public menilai negatip keduanya dan berakhir
meniupkan api kebencian terhadap Alengkadiraja atau sebaliknya juga kebencian
terhadap Ayodya, dengan demikian akan terbentuk dengan sendirinya blok Alengka
dan blok Ayodya, sedangkan mereka yang bersikap netral kita perangi untuk
memaksa mereka bergabung dengan salah satu blok itu dengan begitu makin jelas
musuh-musuh yang akan kita hadapi nantinya. Ketiga ialah untuk mencapai tujuan
akhir melawan Alengka, kita harus berani melakukan cara yang
menyedihkan……….dengan menumbalkan sebagian rakyat kita sendiri,……. sehingga
kita bisa mendapatkan alasan yang cukup untuk menarik simpati dan dukungan dari
dunia pada umumnya satu sisi dan para tokoh militer yang terlibat perang.
Tumbal ini mungkin mencapai ribuan nyawa rakyat kita dan kita sendiri yang akan
melakukan pembunuhan terhadap mereka agar kita bisa melempar tuduhan terhadap
pihak lain. Ini pekerjaan dibawah tanah, dan Ramabadra jangan diberitahu dulu!”….
Resi Wasista berhenti sejenak mengambil nafas
kemudian,
….”issu skandal Rahwana saja tidak cukup untuk
memulai perang dan pasti kita kalah melawan kekuatan militernya Alengkadiraja,
target keempat adalah penghancuran system ekonomi pada Negeri-negeri Pedamaian,
buat pemerintahan mereka mengalami deficit dengan demikian maka suplai
uang-uang baru sejumlah besarnya deficit akan dikeluarkan,…….sementara uang
baru tersebut berputar dalam kegiatan ekonomi yang menyebabkan kenaikan upah
dan harga, maka timbul gejolak inflasi atau kekacauan ekonomi. Para pengusaha
dan serikat buruh akan saling baku hantam, peristiwa tersebut tak mungkin bisa
terkendali kalau tidak ada tangan-tangan otoriter, kalau tidak rakyat yang
punya kendali didalam kebebasan ekonomi…… Dan apa yang terjadi, yaitu
perpecahan diantara mereka. Nah, pada saat itulah Batara Sri dan kita akan
masuk sebagai pahlawan untuk mengumpulkan serpihan-serpihan dan menyatukan
kedalam barisan kita untuk melawan Alengkadiraja…..Dan Resi Mitra nanti pada
saatnya, aku suruh kamu kembali ke Gangga menemui Batara Sri untuk meminta
bantuan pendanaan untuk urusan ini”…….
Senja di
Kesatrian Alengka, dengan penuh kesabaran Sarpakenaka bertanya kepada adiknya
Wibisana,
…..”adikku Wibisana, sebenarnya apa yang
terjadi denganmu sehingga kamu melakukan perbuatan-perbuatan tercela bergaul
dengan narkoba bahkan kamu terlibat didalam pengedaran ganja itu sendiri,
kakak-kakakmu semuanya menyayangi kamu, lihat hidupmu selalu berkecukupan, tapi
mengapa kamu memilih jalan yang sesat,”…..
Wibisana menjawab dengan ketus,
….”mana kakak pernah memperhatikan aku, kakak
sibuk dengan urusannya sendiri, aku ini sudah besar tapi kakang Prabu tidak
memberiku peran apa-apa dinegeri Alengkadiraja ini, aku selalu diperlakukan
seperti anak kecil terus,”……
Sarpakenaka tersenyum dan
…….”adikku tersayang, kamu jangan salah
mengerti, kakak-kakakmu justru memberi kesempatan kamu dengan bebas untuk
menentukan pilihanmu, apakah ingin jadi wiraswasta atau masuk di pemerintahan,
tapi dengan syarat selesaikan dulu pendidikanmu di Kesatrian, tapi kamu sering
mangkir sehingga pendidikan di Kesatrian belum kamu selesaikan hingga sekarang,
kakak kan juga sudah mengarahkan kamu untuk mengurusi Kepemudaan dan Karang
taruna yaitu urusan kegiatan-kegiatan para pemuda dan remaja dan olahraga di
Alengka ini sebagai ajang latihan kamu bermasyarakat, hasilnya sampai dimana?”……
Wibisana hanya diam, dan dengan sempoyongan
berlalu keluar meninggalkan Sarpakenaka sendiri.
Sarpakenaka
berhasil membongkar seluruh jaringan pengedar narkotika di Alengkadiraja. Para
agen narkoba dan pemakainya mendapat hukuman setimpal sesuai hukum peradilan
yang berlaku. Tidak terkecuali Wibisana adiknya sendiri. Wibisana dinyatakan
bersalah oleh hakim pengadilan negeri, kemudian ia dibawa ke penjara khusus
untuk kejahatan narkotika, disana ada bagian rehabilitasi bagi pemakai-pemakai
narkoba dan pembinaan mental.
Sepuluh tahun
Wibisana terpaksa mendekam dipenjara, perlakuan yang menimpa dirinya bukannya
menjadikan dia sadar, malahan Wibisana punya perasaan dendam kepada
kakak-kakaknya. Wibisana merasa kakak-kakaknya tidak menyayanginya karena tidak
mau membebaskannya dari hukuman peradilan. Apalagi setelah mendengar isterinya
meninggal dunia karena depresi tertekan batinnya karena malu atas tingkah laku
suaminya, sehingga ia jatuh sakit kemudian meninggal dunia selagi Wibisana
masih berada didalam penjara. Dengan meninggalkan seorang puteri yang masih
kanak-kanak bernama Trijata. Rasa benci Wibisana kepada keluarganya semakin
bertambah.
Padahal tidak
demikian! Puteri tunggal Wibisana setelah ibunya meninggal dunia, Trijata
diasuh oleh Prabu Rahwana dengan baik, dengan kasih sayang seperti anaknya
sendiri, segala kebutuhannya dicukupi termasuk pendidikannya. Wara Trijata tak
ubahnya seperti ayahnya, nakal dan manja.
Disuatu lorong
gelap didaerah pinggiran kota Kutagara Alengka, muncul seseorang datang
mengedap-edap jalannya masuk kedalam lorong tersebut, langkahnya sangat
hati-hati, tengok kanan kiri sepertinya ada yang ia cari. Disudut bangunan
gudang tua pada lorong tersebut telah menanti seseorang yang dicarinya,
……”amankah situasinya Wibisana?”…..
tanya orang tersebut, dan dijawab Wibisana,
….”stt jangan berisik, ayo langsung kita masuk
kedalam gudang lewat pintu samping,.….bagaimana Resi, sudah kamu bawa barang
yang aku pesan, cepat berikan padaku.”…..
setengah berbisik Sang Resi menjawab,
….”tunggu dulu Wibisana, ganja ini aku bawakan
hanya cukup buatmu, sedangkan untuk yang lain akan aku berikan setelah kau
penuhi syarat-syarat yang aku minta, begini syarat pertama adalah yang harus
kamu lakukan ….sst….(berbisik)…sstt….sst…sehingga Shinta menjadi bangkrut, dan
syarat yang kedua kamu berikan informasi segala persiapan-persiapan perang
menghadapi Ayodya dan pertahanan
Alengka, dan jika Ayodya berhasil memenangkan peperangan melawan Alengka, maka
Ramabadra tidak keberatan mengangkatmu menjadi Raja di Alengka menggantikan
kakakmu Rahwana, bagaimana setuju?”…..
Wibisana diam dan hanya mengangguk tanda
setuju,
…..”wah, aku bakal jadi Raja Alengkadiraja,
kenapa tidak?”…..
Wibisana terbuai bujukan Sang Resi.
Sepuluh tahun
kemudian semenjak Shinta tinggal di Alengkadiraja, negeri Alengka sering
mendapatkan terror-teror dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab sengaja
melakukan pengrusakan pada fasilitas-fasilitas umum, sehingga membuat keresahan
masyarakat Alengkadiraja.
Berkaitan dengan masalah itu maka Prabu
Rahwana meminta Patih Prahasta untuk memanggil semua petinggi-petinggi kerajaan
berkumpul di Sitinggil Alengkadiraja, untuk diadakan rapat pertemuan. Hadir
disana para Raja bawahan, Menteri-menteri, Bupati-bupati dan para
Pangeran-pangeran mulai Patih Prahasta, Kumbokarno, Sarpakenaka dan Wibisana.
Tapi ada juga yang tidak hadir yaitu raja-raja dari Ayodya, Lokapala, Mahendra,
Kutarunggu, dan Mantili. Prabu Rahwana melihat tidak lengkapnya para Raja dari
Negeri-negeri Perdamaian, ia merasa prihatin sepertinya merupakan firasat
perpecahan bangsa mulai dirasakan, dengan tidak hadirnya Raja-raja dari negeri
seberang lautan. Ini pertanda serius bahwa mereka sudah bulat mbalelo terhadap
perjanjian yang pernah mereka buat dulu sewaktu Prabu Sumali memerintah
Alengka.
Terjadi
perdebatan sengit, mempermasalahkan keberadaan Shinta di Alengka diraja sebagai
alasan penyebab malapetaka yang menimpa sebagian masyarakat Alengkadiraja,
Wibisana tampil memberikan kritikan kepada kakaknya Prabu Rahwana,
….”seperti yang semua orang tahu bahwa
telah beredar kabar tentang issu perselingkuhan Prabu Rahwana dengan Dewi
Shinta, disini kami ingin menanyakan kepada kakang Prabu, apakah benar seorang
Raja Gung Binatara Alengkadiraja berbuat skandal yang memalukan dengan isteri
orang?”…..
Prabu Rahwana dalam batin marah dengan
pertanyaan adik kecilnya yang sedikit tidak sopan, tapi karena sayangnya pada
Wibisana ditahannya rasa marahnya itu,
……”itu tidak benar adikku, sekali lagi kepada
semua yang hadir disini….ini pernyataanku, bahwa issu yang beredar itu adalah
suatu kebohongan yang ingin memecah belah diantara kita,”….
semacam klarifikasi sebagai bantahan atas
issu-issu yang telah beredar keseluruh dunia dongeng
…..”tapi kakang mencintainya bukan?”…..pertanyaan
yang tidak terduga keluar dari mulut adiknya Wibisana
membuat Prabu Rahwana blingsatan sulit untuk
menjawab, pertanyaan yang sangat pribadi memang tidak perlu jawaban sebab yang
tahu cukup hanya Prabu Rahwana dan Shinta
……”Alengkadiraja bakal hancur hanya gara-gara
cinta Kakang Prabu dengan Dewi Shinta, persengketaan antara Alengka dengan
Ayodya tidak akan terjadi jika Dewi Shinta dikirim pulang ke Ayodya,
kembalikanlah Kakang! Dewi Shita biar bersatu kembali dengan suaminya Ramabadra……cinta adalah urusan perasaan
jangan dicampur adukkan dengan pikiran dan penalaran, subyektif
sifatnya…..dan…” ……
Prabu Rahwana memotong apa yang dikatakan
Wibisana,
…..”cukup Wibisana aku sudah mengerti apa yang
kamu maksudkan, kembali ketempatmu!”….
sedikit marah Prabu Rahwana, seperti
dipermalukan dihadapan para undangan dan
…..”Sarpakenaka, tolong panggilkan Dewi Shinta
untuk menghadapku di pertemuan ini!”……
Sarpakenaka beranjak menuju ke Taman Soka
menjemput Dewi Shinta dikediamannya.
Pada pertemuan
tersebut Shinta menanggapi ucapan Wibisana dengan marah,
….”Saya telah berhasil membebaskan diri
dari kebiadaban yang dilakukan Ramabadra dengan adiknya Lesmana, dan apakah
saya harus dikembalikan kekandang macan hanya untuk menyenangkan hati tuan-tuan
agar tidak mendapat kerepotan dari keganasannya Ramabadra? Mengapa diri
tuan-tuan tidak berani melawan nafsu keangkara murkaan, baik itu yang ada pada
diri tuan-tuan maupun Ramabadra, malahan tuan-tuan memanjakannya, dimana hati
nurani tuan-tuan?......
dengan menggebu-gebu Shinta menyangkal semua
tuduhan Wibisana,
…..”betapa kejamnya tuduhan itu menyatakan
bahwa saya berselingkuh dengan Prabu Rahwana yang sangat saya hormati, dimata
saya beliau seperti orang tua saya, membantu saya selayaknya tuan-tuan
memperhatikan putera-puteri tuan. Sekali lagi saya tegaskan dipertemuan ini
bahwa saya tidak pernah melakukan hal-hal seperti yang orang tuduhkan kepada
kami, titik!.....Dan kekacauan itu….Coba tuan-tuan perhatikan kekacauan
dinegeri ini, terjadi beberapa kali pengeboman disana-sini, tidak hanya
fasilitas umum saja yang dirusak tapi
sasaran utama pengrusakan itu sebagian besar menimpa pada pabrik-pabrik
dan sarana vital,….coba perhatikan hampir semuanya penghancuran itu terjadi
pada sarana-sarana usaha yang saya kelola. Apakah hal itu secara kebetulan
ataukah sengaja direncanakan? Perlu tuan-tuan ketahui, dari nol usaha itu saya
bangun dengan awal bermodalkan sebuah mesin jahit pemberian Prabu Rahwana,
kemudian berkembang maju dan melibatkan masyarakat di Alengkadiraja sehingga
usaha itu menjadi besar dan maju. Berbagai usaha bisa kami kembangkan, sehingga
bisa merekrut ribuan tenaga dari berbagai disiplin. Usaha tersebut sudah
berjalan hampir limabelas tahun dan keberhasilan usaha itu bisa memberikan
keuntungan dan mensejahterakan ribuan karyawan khususnya dan rakyat Alengka
umumnya. Sekarang…hangus tinggal puing-puingnya saja, pengangguran dimana-mana,
dan saya khawatir ini akan berdampak munculnya kejahatan jika tidak segera
ditanggulangi….….baiklah, jika tuan-tuan tidak bisa membantu saya untuk tinggal
disini, saya akan melakukan sendiri melawan Ramabadra dan sekutunya sampai
titik darah penghabisan”…..
Prabu Rahwana terkejut mendengar kalimat
terakhir yang diucapkan Shinta,
….”oh tidak Shinta, kamu tidak bisa
melakukannya sendiri, coba akan aku tawarkan kepada semua yang hadir disini,
siapa yang bersedia membantu Dewi Shinta melawan kriminalis Ramabadra dan
sekutunya agar tetaplah tinggal di Balairung, dan siapa yang tidak bersedia
silahkan keluar dari ruangan ini?”…..
demikian ucapan Prabu Rahwana dan hampir semua
Raja-raja bawahan yang hadir setuju untuk membantu Shinta, kecuali Raja Carang
Soka dan Raja Parang Garuda dari negeri seberang lautan, segera berpamitan
meninggalkan ruangan, sebagai isyarat tidak bersedia membantu Shinta
…..”maafkan kami sinuhun Prabu Rahwana,
kami akan kembali membantu Alengkadiraja tetapi tidak untuk kepentingan Dewi
Shinta, sekali lagi maafkan kami sinuhun.”
Kedua Raja
seberang lautan dengan pasukan pengiringnya yaitu Raja Carang Soka dan Raja
Parang Garuda didalam perjalanan pulang kenegerinya setibanya dipelabuhan
Mahendra disergap pasukan tak dikenal. Terjadilah pertempuran sengit dipelabuhan itu, perlawanan pasukan
pengiring Raja Carang Soka dan Raja Parang Garuda jumlahnya tidak seimbang
dengan musuhnya yang jauh lebih banyak, maka Raja Carang Soka berusaha
menghindar dan cepat-cepat melompat keperahu dan balik ketengah laut
menyeberang kembali kearah Alengkadiraja, sedangkan Raja Parang Garuda tidak
sempat menghindar terpaksa melanjutkan perlawanan dan pasukannya mulai terdesak
berusaha bertahan mati-matian melawan pasukan tak dikenal tersebut.
Tiba-tiba dari
arah bukit datang pertolongan, jumlahnya banyak pasukan berkuda datang menyerbu
membantu pasukan Raja Parang Garuda yang semakin terdesak. Mereka adalah
pasukannya Hanila dan Kapi Jembawan dari Kerajaan Gua Kiskendo. Dengan gagah
berani mereka berhasil menumpas habis pasukan-pasukan musuh tak dikenal
tersebut. Dan pasukan pengiring Raja Parang Garuda terselamatkan meskipun ada
beberapa yang terluka,
…..”apakah tuan baik-baik saja?”….
sapa Hanila kepada Raja Parang Garuda, dan
Sang Raja menjawabnya,
….”terimakasih hei anak muda, siapakah nama
kamu dan imbalan apa yang kamu inginkan dariku, sebagai tanda terima kasihku?”...
dan Hanila memperkenalkan dirinya,
….”namaku Hanila putera Prabu Sugriwa dan
ini pamanku Kapi Jembawan, kami dari Gua Kiskendo sedang melakukan perjalanan
menuju Kutrunggu, kebetulan lewat ke Mahendra melihat tuan teraniaya oleh
gerombolan-gerombolan suruhannya Prabu Rahwana yang sering melakukan terror dan
kerusuhan diwilayah sini, maka begitu kami tahu mereka beraksi itu langsung
kami perintahkan penyergapan untuk meringkus mereka.”….
penjelasan Hanila sedikit provokatif tentang
Alengka,
….”kami tidak meminta imbalan, tapi kami
hanya ingin dengar pendapat tuan tentang kasusnya Dewi Shinta isteri sinuhun
Ramabadra yang diculik Prabu Rahwana, andaikan peristiwa tersebut menimpa pada
keluarga tuan yaitu isteri tuan yang diculik, terus apa yang musti tuan
perbuat?”….
dalam hati Raja Parang Garuda muncul
kebimbangan, mana yang benar Shinta diculik ataukah Shintanya sendiri yang
pergi, tapi mengapa sampai demikian seriusnya Ramabadra membelanya, pasti dia
merasa benar. Ada pepatah sedumuk bathuk senyari bhumi dipun labeti pecahing
dhadha wutahing lidira ada benarnya dia melakukan perlawanan dengan
Alengkadiraja,
……”baiklah Hanila, sampaikan rajamu bahwa aku
bersimpati dengan apa yang ia lakukan, dan sebagai imbalan terimakasihku aku
bersedia membantu didalam peperangan melawan Alengkadiraja demi keadilan,”…..
demikian pernyataan Raja Parang Garuda kepada
Hanila dan Kapi Jembawan. Hanila dan Kapi Jembawan saling berpandangan dan
tersenyum punya arti sendiri,
….”baiklah tuan, apa yang tuan janjikan akan
kami sampaikan kepada sinuhun Ramabadra, dan pada saat yang tepat diperlukan
nanti kami akan memberi tahu tuan secepatnya, selamat jalan dan salam hormat
kami tuan,”…
kemudian Raja Parang Garuda berpamitan untuk
melanjutkan perjalanannya kembali dikerajaannya
…..”yes…yes! kita berhasil perdayakan dia
Paman, meskipun terpaksa harus mengkorbankan orang-orang kita mati terbunuh
sebagai tumbal, babak berikutnya peristiwa ini akan kita sebar luaskan kepada
dunia bahwa Alengka telah melakukan penyerangan ke Mahendra. Dengan demikian
inilah sebagai alasan Ayodya melakukan pembalasan menyerang Alengka…ha…ha…”
maka berangkatlah Hanila dan Kapi Jembawan
melaksanakan aksi berikutnya.
Alengkadiraja,
Patih Prahasta sedang duduk diruang kerjanya, sambil membalik rontar-rontar
yang ada dimejanya dibacanya laporan-laporan dari Negeri-negeri Perdamaian
tetang berbagai hal menyangkut ketata-negaraan. Sudah jadi kebiasaannya, kalau
tidak ada soal-soal penting yang segera diselesaikan, maka banyak waktunya
dimanfaatkan berdiam diruang kerjanya untuk mengevaluasi kegiatan-kegiatan
rutin yang telah dijalankannya.
Tiba-tiba saja ia
dikejutkan oleh ketukan pintu dan nyelonongnya salah satu punggawanya dan
menyusul dibelakangnya adalah Raja Carang Soka datang menemuinya dalam keadaan
terluka pada tangannya. Setengah berjingkat Patih Prahasta menerima tamu
mendadak pada situasi yang tadinya tenang dan kemudian berubah mendadak menjadi
heboh
…..”apa yang terjadi sinuhun Raja Carang Soka
kok sampai terluka seperi ini?”….
Patih Prahasta menyambutnya Raja Carang Soka
membawanya ke pembaringan untuk diobati
….”pelayan tolong panggilkan dokter untuk
menolong sinuhun Raja Carang Soka cepat!”…..
sementara menunggu datangnya dokter, Sang Raja
Carang Soka menceriterakan hal ihwal kejadian yang menimpa dirinya,
….”mereka berseragam hitam-hitam tiba-tiba
datang menyerang kami di Mahendra, kekuatan kami tak seimbang maka kami
putuskan untuk menghindar lari kemari. Sedangkan Raja Parang Garuda
bertahan,…dan kami tidak tahu nasib mereka selanjutnya!”…..
demikian Sang Raja menuturkan kisah buruknya
di Mahendra,
…..”tenang, tenang sinuhun yang jelas
mereka yang menyerang paduka itu bukan pasukan Alengka, sebab paduka sendiri
mengetahui bahwa Ayodya, Mahendra dan sekutunya telah menyatakan keluar dari
perkesemakmuran Negeri-negeri Perdamaian,…baik hal ini segera aku laporkan
kepada baginda Prabu Rahwana agar ditindak lanjuti, sinuhun istirahat dulu
disini menunggu dokter merawat luka-luka sinuhun,”…..
Patih Prahasta meninggalkan Raja Carang Soka
segera berangkat ke istana menemui Prabu Rahwana.
Dipendapa Patih
Prahasta bertemu Sarpakenaka yang sedianya juga akan menghadap Prabu Rahwana,
mereka dikawal punggawa memasuki Balairung, disana sudah ada Sang Prabu sedang
berbincang-bincang dengan Kumbokarno dan Wibisana,
….”Paman Patih Prahasta dan adik Sarpakenaka
silahkan masuk, ada berita apa kok terlihat wajah kalian tegang?”….
Sang Prabu menyambutnya
…..”ananda Prabu terimalah salamku, ada hal
penting saya laporkan kepada ananda, kejadian menimpa pada Raja Carang Soka dan
Raja Parang Garuda diserang oleh kelompok orang tidak dikenal di pelabuhan
Mahendra terjadi kemaren sewaktu kedua Raja tersebut pulang meninggalkan
Alengkadiraja,”…..
dan Sarpakenaka sebagai kepala Polisi
Alengkadiraja juga menyampaikan laporan,
….”benar kakang Prabu, dari laporan anak
buah saya sepertinya kita difitnah, penduduk yang menyaksikan pertempuran itu
mengatakan bahwa penyerang-penyerang tak dikenal itu adalah pasukan ninja dari
Alengkadiraja yang dikirim untuk tujuan menyerang Ayodya.”….
Prabu Rahwana
tanggap dengan kejadian-kejadian itu maka segera memberi instruksi,
…….“paman Prahasta dan adik Kumbokarno
nyatakan mulai hari ini negeri Astinadiraja dalam keadaan siaga satu,
persiapkan wadyabala tentara marinermu diperbatasan pantai di Suwelogiri, dan
armada laut selalu siaga didalam penjagaan perairan Alengka. Dan adik
Kumbokarno atur Logistik dengan baik jangan sampai ada kekurangan. Dan kamu
Wibisana inilah saatnya kamu ikut membantu kakakmu Sarpakenaka untuk mengatur
perlindungan dan kesehatan bagi para Wanita dan anak-anak. Dan para Raja dan
menteri bersiaplah dibagianmu masing-masing dan bekerjasamalah saling mendukung
jika ada yang membutuhkan bantuanmu, nah mulai hari ini kami umumkan bahwa
Alengkadiraja siap berperang melawan Ayodya dan sekutunya.”……
suasana di Balairung menjadi tegang dan
terdiam sepeti tampak pada wajah wajah yang hadir.
Hasil persidangan
kilat antara Prabu Rahwana dan para Raja-raja dan menteri-menterinya di
Blairung tadi, menelorkan suatu pendapat bahwa peristiwa yang terjadi di
Mahendra itu adalah sangat membahayakan. Keputusan Prabu Rahwana langsung
ditindak lanjuti oleh pembantu-pembantunya yang melaksanakan tugas dibidang
masing masing, antara lain Sarpakenaka segera memerintahkan mengungsikan
orang-orang sipil warga Alengka yang berada diwilayah Mahendra dan sekitarnya.
Kumbokarno tidak kalah sibuknya mengatur kebutuhan amunisi serta bantuan
berujud bahan makanan secepat-cepatnya guna mensuplai tentara dan rakyat
Alengka. Sedangkan Patih Prahasta mengirimkan selekas mungkin pasukan-pasuka
keperairan Suwelogiri untuk berjaga-jaga bila terjadi serangan mendadak dari
Ayodya.
Sehari seusai
pertemuan di Balairung istana, secara diam-diam Wibisana pergi meninggalkan
istana, tujuannya menemui kelompoknya bawah tanah ditempat biasanya mereka
bertemu. Disana sudah menunggu Resi Mitra dan Hanggada putera Resi Subali,
biasa setelah serah terima obat-obat narkotika kepada Wibisana, sekarang
giliran Wibisana untuk menyampaikan
berita-berita penting yang semestinya menjadi rahasia Negara yang tidak boleh
disebar luaskan.
Terdorong
keinginannya untuk bisa menjadi raja, berbagai cara Wibisana tempuh untuk
menggulingkan kedudukan Rahwana dari singgasana Alengkadiraja. Bahkan Wibisana
tega khianati Negara sendiri. Semua rahasia Negara dia bocorkan kepada
Ramabadra melalui kurir-kurirnya, dengan janji imbalan tahta Alengkadiraja
nantinya jika Rahwana berhasil digulingkan. Pasukan Ramabadra bilamana
menyerang Alengka, Alengka pasti akan hancur.
Kutarunggu, telah
berkumpul pula sekutu-sekutu Ramabadra antara lain Raja-raja dari Ayodya yaitu
Prabu Barata, Mantili yaitu Prabu Janaka, Guo Kiskendo yaitu Prabu Sugriwa,
Mahendra, Kutarunggu dan Parang Garuda tak ketinggalan para Pangeran muda-muda
yaitu Lesmana, Anoman, Hanila, Jaya Hanggada dan para perwira Wadyabala Ayodya
yaitu Kapi Jembawan, Winata, Sutabali, Hindrajanu, Danurdara, Wisangkata. Hadir
juga para Resi yaitu Resi Wasista dan Resi Mitra. Pertemuan itu memang sudah
direncanaka di Kutarunggu dan tidak di negeri Ayodya.
Ramabadra
memimpin rapat pada pertemuan tersebut, sedikit otoriter segala rencananya
tidak boleh diubah sedikitpun, tapi ia juga mau mendengarkan pendapat kawan,
tapi kemudian dengan halus dan sangat pandai ditolaknya, sehingga akhirnya
pendapat Ramabadralah sebagai pemenangnya. Anehnya mereka yang kalah berdebat
itu tidak pernah merasa sakit hati. Malahan kemudian mereka jadi pendukung yang
baik dari rencana yang tadinya ditentang habis-habisan.
Ramabadra
menguraikan rencananya,
….”dari Mahendra kita bangun tanggul
penyeberangan lurus kearah pelabuhan Suwelagiri, disamping berfungsi untuk
menyeberangkan bala tentara kita ke Alengka, keberadaan tanggul tersebut akan
menutup jalur pelayaran negeri-negeri seberang yang akan berdagang menuju ke
Alengka yang biasa masuk melalui pelabuhan Suwelogiri, dan ini akan merupakan
shok terapi bagi perekonomian Alengkadiraja. Situasi yang tidak kondusif kita
ciptakan di Alengka diraja melalui kaki tangan kami yang sudah berada di
Alengka yang siap melakukan aksinya dengan sabotase-sabotase pada pertahanan
vital Alengkadiraja.”….
Ramabadra menghela nafas dan kemudian
melanjutkan lagi membeberkan rencananya,
…..”dengan terbangunnya tanggul penyeberangan
ini punya arti yamg sangat penting, ini artinya Suwelagiri akan jatuh ditangan
kita, dan dengan menguasai Suwelagiri artinya Kutagara Alengka akan jatuh
ditangan kita, berikutnya dengan terkuasainya Kutagara Alengka artinya seluruh
negeri Alengka diraja akan takluk kepada kita, dan dengan takluknya
Alengkadiraja artinya seluruh Negeri Perdamaian akan tuduk pada perintah
kita…..dan satu hal yang perlu kalian jaga didalam koordinasi didalam tugas
masing-masing yaitu persatuan, didalam koordinasi akan kelancaran logistic,
obat-obatan dan amunisi. Dari pengalaman dan sejarah peperangan kerap
memberikan bukti-bukti kehancuran yang diderita oleh pasukan tempur digaris
depan, biasanya hanya disebabkan oleh putusnya hubungan antara pasukan tempur
dengan induk pasukan yang mensuplai bahan makanan, obat-obatan, senjata-senjata
amunisi dan tambahan pasukan baru yang masih segar bugar, camkan ini!”….
Ramabadra
berhenti sejenak menanti kalau ada yang ingin bertanya, tidak ada kemudian ia
lanjutkan instruksi-instruksi kepada pada Raja-raja dan Wiratama,
…..”tugas pembangunan tanggul kami serahkan
Prabu Sugriwa bersama wadyabalanya, dan logistic kami percayakan adikku Prabu
Barata, sedangkan urusan strategi
penyerangan sebagai Manggalayuda saya percayakan adikku Lesmana, para Raja-raja
sebagai senapati perang dan menteri-menteri terkait agar mengikuti perintahnya.
Bala tentara gabungan ini saya namakan prajurit-prajurit Bala Rama!”….
selesai memberi instruksi Ramabadra kembali
menemui Resi Wasista dan para Resi yang lain,
……”semuanya sudah kami atur, sekarang
bagaimana tentang biaya-biaya untuk mengurus semuanya itu eyang Resi? Kalau semuanya
dibebankan dari sumbangan sumbangan Negara-nergara bawahan pasti mereka
keberatan karena kebanyakan rakyat mereka miskin. Apakah eyang Resi ada solusi
untuk masalah ini?”…..
permintaan bantuan dana yang disampaikan
Ramabadra memang dinanti-nanti oleh Resi Wasista, dengan demikian jika dipenuhi
artinya kendali Ramabadra dan pasukannya berada ditangannya.
Resi Wasista tahu
benar, kebanyakan pemerintah-pemerintah kerajaan mendapatkan uang dalam jumlah
yang sangat besar dari penarikan pajak dan upeti-upeti dari rakyatnya, tapi
sering mereka membelanjakan uang tersebut dalam jumlah melebihi dari
pajak-pajak yang mereka pungut, sehingga mereka terpaksa harus meminjam, yang
berakibat Negaranya punya hutang dan tiap sen uang yang dipinjam dengan bunga
tertentu.
Seperti layaknya
sebuah bisnis tak satupun Raja atau pemerintah dapat pinjaman kecuali bersedia
menyerahkan kepada kreditor beberapa bentuk kekuasaan sebagai jaminan. Sehingga
kreditor mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menentukan kebijakan Raja
dalam pemerintahannya. Jika Raja-raja tersebut melenceng dari garis
kebijaksanaannya, maka kreditor tidak ragu-ragu membiayai musuh atau pesaingnya
yang siap menggulingkannya.
….”tidak masalah berapapun yang kamu butuhkan
akan aku usahakan, tapi ada syaratnya….apakah kamu sanggup untuk memenuhinya?....
mulailah Sang Resi memberikan penawaran dengan
suatu persyaratan rinci yang mengikat dan Ramabadra menyanggupinya
….”nah Ramabadra, kita sudah saling sepakat
dan dana itu akan aku berikan pekan depan.”….
Setelah Ramabadra
berlalu, maka Resi Wasista memanggil Resi Mitra,
….”Resi Mitra, besuk pagi berangkatlah kamu ke
Gangga temui Batari Sri, sampaikan pesanku bahwa dana yang aku butuhkan agar
bisa dititipkan kepadamu Resi.”….
lengkap sudah segala persiapan guna keperluan
biaya-biaya peperangan telah disiapkan Resi Wasista, tinggal mengatur
pelaksanaannya.
14
RAMA
TAMBAK
Dengan
jalan mengeruk gunung Mahendra, bala tentara dan pekerja Bala Rama dikerahkan
Prabu Sugriwa memindahkan tanah dan bebatuan gunung sebagai material urugan.
Cikar-cikar ditarik kerbau mengangkut material urugan tersebut kepantai, dan
dimulailah pekerjaan pembuatan tanggul penyeberangan Mahendra Suwelagiri.
Hutan-hutan ditebang kayunya dimanfaatkan untuk membangun cerucuk ditancapkan
kanan-kiri tanggul untuk menahan batu dan tanah dari terpaan ombak laut.
Sesekali Ramabadra dan Lesmana diringi Prabu Sugriwa melakukan inspeksi
pekerjaan pembangunan tanggul tersebut, untuk memberi semangat para prajurit
dan pekerja tanggul.
Berkali-kali
pondasi tanggul bobol karena dirusak oleh berjuta juta gerombolan Yuyurumpung
piaraan Dewi Urangayu isteri Prabu Rahwana. Binatang tersebut ditengkarkan dan
kemudian sengaja disebarkan oleh Alengkadiraja untuk menggagalkan rencana
pembangunan tanggul penyeberangan. Anoman tidak kurang akal mengatasi masalah
tersebut, yaitu membasminya dengan getah tuba dari akar-akaran yang dipungutnya
dari hutan Mahendra, akibatnya binatang binatang tersebut banyak yang mati dan
lari.
Prabu Sugriwa
membangun tanggul Mahendra Suwelogiri sesuai dengan rencananya, untuk
menyeberangkan pasukan Bala Rama menuju Alengkadiraja. Dan pada saat
pembangunan tanggul hamper mendekati daratan Suwelogiri, tiba-tiba saja
dikejutkan serangan mendadak dari pasukan Alengkadiraja. Para pekerja dan
wadyabala Prabu Sugriwa dihujani anak panah dan bom bom api dari
ketapel-ketapel Alengka diseberang daratan Suwelogiri. Perang antara bala
tentara Bala Rama dengan tentara Alengka terjadi. Banyak korban yang meninggal terutama
dipihak pasukan Prabu Sugriwa.
Peperangan sudah
berlangsung satu bulan dan tanggul yang hanya tinggal seratus meter dari
daratan belum bisa diselesaikan. Sudah ada ribuan bala tentara monyet dan
pekerja Bala Rama dikirim ke tanggul untuk menggantikan pasukan yang mati
sebelumnya, dan merekapun mengalami nasib yang sama, mati sia-sia jadi korban
pada pertempuran tersebut. Prabu Sugriwa menghentikan pengiriman pasukan dan
pekerjanya ke tanggul. Penyerangan balasan ditundanya, masalahnya jika nekat menyerang,
berapapun bala tentaranya yang dikirim ke tanggul pasti akan terbunuh dengan
sia-sia tanpa bisa melakukan perlawanan apapun. Rupa-rupanya Ramabadra salah
perhitungan dalam menentukan strategi pertempuran ini.
Anoman dan Hanila
punya gagasan, dicobanya untuk membuat pelindung raksasa semacam tameng yang
bisa untuk melindungi para pekerja dan tentara Bala Rama untuk menyelesaikan
pekerjaan tanggul tersebut. Selama seminggu pekerjaan pembuatan tameng raksasa
berjumlah lima buah itu akhirnya bisa
diselesaikan dan tinggal memasang roda-roda dikanan-kirinya untuk memudahkan
membawanya keujung tanggul. Rencananya akan dipasang berurutan dengan jarak
tertentu sehingga tidak memungkinkan anak panah musuh bisa mengenai pasukannya
yang berlindung dibaliknya, dengan demikian para pekerja bisa bekerja
melemparkan bebatuan untuk mengurug tanggul didepannya.
Sementara itu dipertahanan garis depan Alengka
di Suwelogiri, Patih Prahasta dibantu para wiratama ada Supawarsa, Anipraba,
Prajangga dan Wirapaksa sedang sibuk mengatur posisi pertahanan-pertahanan guna
menghadapi musuh yang jauh lebih banyak jumlahnya dibanding penduduk
Alengkadiraja. Oleh karena itu didalam menempatkan pasukan-pasukannya harus
tepat benar sehingga bisa melakukan penyerangan dengan seefektif mungkin
disamping keamanan dirinya sendiri bisa bertahan dari serangan musuh.
Perang adalah
perang, begitu jawaban setiap tentara pada umumnya jika ditanya yang menyangkut
perikemanusiaan, dan setiap anak panah yang telah dilepaskan dari busurnya
tidak pernah menampik korbannya, entah panah tersebut jatuh pada kakek-nenek,
ibu-ibu atau anak-anak, orang-orang berjubah, kaum brahmana maupun para Batara
betari, semua itu nasib buruk orang-orang tersebut yang mengajak nyawanya
melayang. Dan kalau anda seorang anggauta tentara, didalam pertempuran anda
akan dibunuh kalau tidak mau terlebih dahulu membunuh musuhnya.
Tapi tidak untuk
Patih Prahasta, setiap anak panah yang dilepaskan sang pemilik dari busurnya
harus jelas sasarannya, tidak boleh ngawur asal rentang lepas tanpa sasaran
yang pasti. Itulah pentingnya selalu diadakan latihan rutin pada setiap
personil pasukan pemanah, sehingga tentaranya menjadi penembak jitu disetiap
pertempuran, setiap anak panah targetnya adalah satu musuh yang jadi korbannya
itu pasti.
Tameng raksasa
Anoman dan Hanila siap untuk dipasang, sambil didorong maju kelimanya berurutan
diatas tanggul dibarengi pula prajurit dan pekerja Bala Rama berlindung
dibelakangnya, dan saat mendekati ujung tanggul pada saat itu juga datang
serangan bom-bom api yang ditembakkan pasukan Alengka lewat ketapel-ketapel
raksasa dari seberang tepi pantai Suwelogiri, bertubi-tubi serangan itu tepat
mengenai tameng-tameng tersebut mengakibatkan tameng yang terbuat dari papan
kayu….….jadi hancur berantakan kemudian terbakar, kobaran api membakar tubuh
para prajurit pekerja tanggul, korbanpun berjatuhan hangus mati terbakar.
Tentara yang masih hidup mundur menyelamatkan
diri berlindung dibalik tameng yang ada dibelakangnya. Anoman bingung, tidak
berkutik, maju kena mundurpun kena. Maka segera diperintahkan untuk menarik
pasukannya yang masih selamat untuk meninggalkan tanggul,
…..”kakang Anoman, bagaimana ini, apakah ada
jalan lain untuk melanjutkan pembangunan tanggul ini?”....
keluh Hanila setengah putus asa,
…..”sudah lebih tiga bulan pekerjaan kurang
100 meter sulit untuk melanjutkan, ayo kita laporkan saja ke paman Prabu
Sugriwa mungkin bisa memecahkan persoalan ini!”….
Malam itu
langsung diadakan pertemuan antara Ramabadra, Lesmana, Prabu Sugriwa, Anoman,
Hanila dan para wiratama guna membahas pelaksanaan pembangunan tanggul yang
terhambat akibat serangan yang bertubi-tubi dari pihak Alengkadiraja, sudah
ribuan prajurit dan para pekerja Bala Rama mati sia-sia jadi korban dari
serangan tersebut. Pendek kata kali ini Alengka lebih unggul didalam
pertempuran, korban dari pihak Alengka boleh dibilang sangat kecil dan kerugian
materi tidak seberapa dibanding pihak Bala Rama,
….”tenanglah, jangan panik dan putus asa,
strategi coba dirubah, Hanila buatlah rakit besar, dan coba tempatkan diatasnya
obor yang besar yang tahan hembusan angin laut yang kencang…..bekerjalah
kembali besuk malam!......mulai besuk prajurit dan para pekerja tanggul
melaksanakan pekerjaannya dirubah jadualnya pada malam hari,…..dan Anoman tameng-tamengmu
dilanjutkan, hanya saja dibagian depannya tambahkan pelepah batang pisang agar
tahan api…..tambatkan rakit obor dimalam hari jauh dari pinggir tanggul
usahakan jangan sampai hanyut dan obor nyalakan pada malam hari saat para
pekerja Bala Rama akan memulai pekerjaannya,…..kebetulan saat ini bulan sabit
belum muncul, gelombang pasang belum tiba dan suasana laut menjadi gelap
gulita….harapan saya rakit obor bisa mengelabuhi Alengka sehingga mereka akan
mengalihkan sasaran tembaknya pada rakit obor yang kalian buat itu….bersamaan
itu kerahkan pekerjamu untuk segera menyelesaikan pekerjaannya meskipun dalam
keadaan kegelapan….sebelum fajar rakit obor segera kamu tarik kedarat dan
kemudian kamu pasang kembali setiap malam,….begitulah seterusnya, fahamkah akan
maksud saya?……semoga berhasil!” ……..
Malam itu bagaikan pesta kembang api, bom bom
berapi dilontarkan dari pertahanan Alengka di Suwelagiri semua mengarah
kesasaran rakit obor yang dinyalakan Hanila yang terapung di tengah laut jauh
dari sisi tanggul. Sementara itu para pekerja tanggul lolos dari incaran bom
bom api sehingga dapat melaksanakan pekerjaannya dengan aman meskipun dalam
keadaan gelap gulita. Satu meter, dua meter, tiga meter terus dikerjakan dan
panjang tanggul semakin bertambah.
Pagi harinya,
datang memeriksa daerah medan pertempuran tapi Patih Prahasta
terheran-heran setelah memperhatikan
situasi diujung tanggul yang dibangun prajurit pekerja Bala Rama semakin maju
tapi terlihat sepi tidak ada seorangpun disana dan tameng-tameng yang berdiri
diujung tanggul masih tetap berdiri. Kecurigaan muncul mengapa pengeboman yang
bertubi-tubi dilakukan semalam kok tidak ada meninggalkan bekas bekas kerusakan
pada tameng-tameng tersebut, lagi pula yang biasanya banyak korban prajurit
yang mati tercecer atau menumpuk diujung tanggul atau terapung disisi-sisi
tanggul, pagi ini tidak terlihat sama sekali.
Kemudian Patih
Prahasta mencoba meneliti peralatan perang pada pos-pos pertahanan Alengka,
diperhatikan dengan seksama arah ketapel ketapel
…..”wah ini tipuan, kita kena tipu,”….
para wiratama terbengong bengong melihat
pimpinannya bertingkah aneh,
….”hei para wiratama, apakah kalian tidak
melihat sesuatu yang aneh diujung tanggul sana, juga lihat ketapel-ketapelmu
pada menghadap kemana?.....apakah semalam telah kamu geser arah tembaknya?”…..
para wiratama memperhatikan tanggul yang sepi
dan peralatan ketapelnya juga tidak rusak, terus apa yang dimaksud kita kena
tipu oleh Sang Patih ? mereka belum menyadari apa yang semalam mereka
alami,
….”Wirapaksa, coba tembakkan
ketapelmu-ketapelmu pada posisi tetap seperti itu!”….
perintah Patih Prahasta kepada wiratama
Wirapaksa, dan ketapel beraksi…..BUM….siuuut…..kropyak, bola api jatuh kelaut
disisi jauh dari ujung tanggul,
…..”dan kamu wiratama, tembakkan ketapel-ketapelmu
semuanya, janganlah kamu geser sedikitpun,”……
dan wiratama
menembakkan dan apa yang terjadi? Bom jatuh persis pada titik tembakan
ketapel pertama yang mereka lakukan tadi. Barulah sadar para wiratama kalau
mereka salah sasaran, mereka tertipu dengan obor yang menyala ditengah laut,
karena keadaannya gelap gulita mereka pikir itulah sasaran tembak yang tepat
diujung tanggul dimana prajurit dan pekerja Bala Rama berada,
…..”nah sekarang kembalikan ketapel-ketapel
itu kearah semula, sasaran keujung tanggul jangan dirubah lagi!”….
Patih Prahasta memberi instruksi!
Kutarunggu, Prabu
Sugriwa dan Lesmana sedang serius membicarakan sesuatu yang amat penting
tentang strategi pertempuran melawan Alengka berikutnya
…..”dimas Lesmana, saya minta bantuanmu untuk
bisa menghubungi Prabu Barata agar bisa mengirim garuda-garuda Sempati yang
terlatih untuk bisa disertakan pada pertempuran ini guna menyokong para
prajurit pekerja agar bisa cepat menyelesaikan tanggul penyeberangan ini.”….
dan Lesmana bisa menangkap apa yang sedang
dipikirkan Prabu Sugriwa tentang rencana penyerangan berikutnya
…..”baiklah aku akan segera berangkat ke
Ayodya menemui kakanda Prabu Barata untuk meminta bantuannya seperti yang
kakang Sugriwa inginkan,”….
jawab Lesmana dan berlalu pergi ke kraton
Ayodya.
Balai agung
Ayodya,
….”dimas Lesmana, baiklah akan aku kirim
sepuluh garuda Sempati pilihan guna menunjang penyerangan dari angkasa ke Alengka, tapi siapa saja nanti yang akan
mengendarainya?”…..
Prabu Barata, memenuhi permintaan Prabu
Sugriwa. Hari itu juga garuda-garuda itu dikirim ke Mahendra, salah satu garuda
Lesmana yang mengendarainya, dikendalikannya garuda Sempati berputar diangkasa
dan dari atas dengan jelas bangunan tanggul lurus dari pantai Mahendra menuju
ke Suwelogiri dan ujung tanggul tinggal beberapa puluh meter lagi sudah bisa
nyambung ke bibir pantai Suwelagiri. Penerbangan diteruskan melakukan
pengintaian ke pertahanan pasukan Alengka di Suwelogiri, tampak dari atas
senjata ketapel-ketapel raksasa berjajar setengah lingkaran mengarah kesatu
titik yaitu ujung tanggul siap menembak mangsanya. Setelah beberapa saat dan
cukup waktu untuk mempelajari situasi pertahanan Alengka maka Lesmana kembali
ke markasnya lagi.
Malamnya, pasukan
prajurit dan pekerja Bala Rama dikerahkan kembali melaksanakan pembuatan
tanggul, rakit obor dinyalakan lagi dan kali ini mereka mendapat serangan lagi
dari pasukan Alengka. Bom-bom api dan panah panah kembali beraksi menghujani
mereka, sasaran tidak lagi ke rakit obor tetapi tepat diujung tanggul dimana
prajurit dan pekerja Bala Rama sedang bekerja.
Kaget dan
kacaubalau kembali terjadi dan korban pada berjatuhan. Prabu Sugriwa segera
memerintahkan Anoman, Hanila untuk memimpin wiratama menerbangkan garuda
Sempati untuk menyerang pertahanan Alengka digaris depan. Dengan membawa
tali-tali jangkar kesepuluh wiratama mengendarai garuda Sempati terbang menuju
kearah ketapel-ketapel raksasa Alengka, dan setelah jaraknya cukup kemudian
diulurkannya tali-tali jangkar dengan cepat mengait salah satu rangka ketapel
tersebut dan sertamerta garuda Sempati menariknya ketapel yang cukup berat
tersebut diterjunkan kelaut. Panah-panah dari pasukan Alengka berdesingan
melewati sayap-sayap garuda Sempati namun tak satupun bisa mengenainya karena
gesitnya garuda-garuda itu berkelit. Dari tujuh ketapel yang terpasang dan
sekarang tinggal dua buah sebab yang lima buah berhasil diceburkan kelaut.
Pertempuran menjadi seimbang, dua ketapel terus menghantam tameng-tameng Bala
Rama tapi tidak segencar sebelumnya, sehingga para prajurit pekerja Bala Rama
bisa melanjutkan pembangunan tanggul.
Satu meter, dua meter, tiga meter tanggul
bertambah maju dan tinggal duapuluh meter lagi. Panah-panah semakin gencar,
korban banyak berjatuhan dipihak Bala Rama. Garuda Sempati terbang lagi, kali
ini ada sesuatu yang dibawanya didalam kendi kendi tembikar digantungkan pada
leher garuda-garuda tersebut. Kendi-kendi tersebut berisi berjuta-juta semut
merah pemakan daging yang ditangkap dari hutan Dandaka.
Garuda Sempati
terbang tinggi jauh dari jangkauan panah-panah pasukan Alengka, dengan
perhitungan yang tepat kemudian kendi kendi tersebut dijatuhkan dari atas tepat
mengenai kumpulan prajurit pemanah, dan dijatuhkan pada operator-operator
senjata ketapel-ketapel Alengka, dan kendi-kendi pecah berhamburanlah
semut-semut ganas menyerang prajurit-prajurit Alengka.
Panas, perih dan
campur gatal akibat gigitan semut-semut merah tersebut sehingga membuyarkan
konsentrasi dan kesiagaan tempur pasukan Alengka, karena sibuk menggaruk dengan
lari kesana kemari seperti orang kehilangan kendali. Dan cara jitu untuk
menyelamatkan diri mereka ialah menceburkan diri kelaut. Dan berhentilah
serangan serangan Alengka, yang kemudian dimanfaatkan luang waktu itu oleh Bala
Rama untuk menyelesaikan pembangunan tanggul.
Patih Prahasta
memerintahkan Prajangga untuk meminta bantuan kepasukan induk di Kutagara
Alengka untuk segera mengirim prajurit-prajurit pengganti, obat-obatan anti
racun serangga dan peralatan senjata baru penyembur api untuk membasmi serangga,
sementara pasukan yang ada tetap bertahan sampai bantuan datang.
Prajangga dengan
mengendarai kuda memacunya menuju Kutagara Alengkadiraja, tetapi ditengah
perjalanan ia disergap oleh orang-orang tak dikenal berpakaian ala ninja
menariknya dari atas kuda sehingga ia jatuh terjerembab dan kemudian ditusuk
ulu hatinya dan akhirnya dia mati
…..”lho, mengapa kamu tega bunuh dia dimas
Hanggada?”……”kakang Wibisana, kalau dia kita beri hidup, kelak kitalah yang
akan dibunuhnya, ayo segera kita menyingkir dari sini sebelum ada orang yang
menyaksikan kita!”…..
ninja-ninja itu lari menyelinap kedalam semak
semak dan dalam sekejap menghilang tanpa meninggalkan bekas-bekasnya.
15
PETAKA DICELAH
BUKIT KEMUNING
Sehari
ditunggu tunggu, bantuan belum kunjung datang. Patih Prahasta mondar mandir
diperkemahan prajurit, hatinya risau. Dalam hati merasakan ada sesuatu yang
tidak beres didalam tubuh angkatan perangnya. Sementara pertempuran berlangsung
terus. Ayodya melakukan penyerangan pada malam hari, garuda-garuda Sempati
mengambil alih bagian dengan melakukan penyerangan dari udara sehingga
mengakibatkan tentara Alengka kalang kabut. Kekacauan ini memberi kesempatan
prajurit pekerja Bala Rama untuk maju kembali. Dan akhirnya pembangunan tanggul
bisa diteruskan mendekati selesai, tinggal beberapa meter saja dibutuhkan
pengurugan cepat sudah bisa menghubungkan Mahendra dan Suwelogiri.
Patih Prahasta
mengetahui bantuan tidak bakal datang, maka memerintahkan menarik mundur
pasukan Alengka sebelum bangunan tanggul terhubung dengan daratan. Dibawanya
pasukannya keluar kota dan naik kebukit Kemuning berencana menghadang
penyerbuan Bala Rama ke Alengka.
Satu satunya
jalan utama yang menghubungkan Suwelogiri dengan Kutagara Alengkadiraja harus
melalui bukit Kemuning. Jalan tersebut menerobos celah pada bukit Kemuning.
Patih Prahasta memilih posisi strategis diperbukitan itu, cara yang aman dan
sangat menguntungkan bagi pasukannya, dimana medan itu memungkinkan untuk
menahan Bala Rama yang bisa dipastikan akan melalui jalan satu-satunya yang
diapit tebing bukit Kemuning. Celah tebing tersebut merupakan pintu masuk
sebelum menuju kewilayah Kutagara Alengkadiraja.
Dengan jumlah
sebagian pasukan yang masih sehat kembali diatur posisinya sehingga memudahkan
penyerangan musuh yang ada dibawah tebing. Mereka adalah prajurit-prajurit
pemanah jitu yang masih bisa diandalkan. Sedangkan ketapel-ketapel dipasang
ditengah jalan jauh dibelakang celah guna melindungi pasukan tombak didepannya,
sedangkan pasukan berkuda siap bergerak dipersiapkan dibalik bukit Suwelogiri.
Segalanya siap, tinggal menunggu tamu yang tak diundang datang.
Tanggul itu,
semeter, dua meter dan tiga meter tersambunglah sudah tanggul penyeberangan
dengan daratan Suwelogiri. Tanpa dibendung lagi ribuan pasukan Bala Rama
dipimpin Prabu Sugriwa masuk bagaikan air bah yang meluber menyapu bersih apa
saja yang dilaluinya. Semua fasilitas-fasilitas perkantoran, rumah-rumah,
bangunan dan pelabuhan dihancurkannya dan orang-orang sipil yang berada disana
turut jadi sasaran keganasan pasukanya Bala Rama. Penduduk berhamburan berlari
menyelamatkan diri, kesana-kemari bingung mencari perlindungan.
Swiping dilakukan
Hanila dan anak buahnya, jika kedapatan prajurit Alengka yang sakit atau
penduduk sipil yang kebetulan membawa benda tajam maka langsung mereka
dibunuhnya. Sepertinya perilaku tak waras mengendalikan mereka, mungkin sebagai
luapan kemarahan mengingat sudah enam bulan mereka menahan diri dalam ketidak
berdayaan yaitu pada saat pembangunan tanggul Mahendra Suwelogiri. Ribuan
prajurit Bala Rama, teman-teman seperjuangannya mati terbantai oleh panah-panah
dan bom-bom dari ketapel pasukan Alengkadiraja. Inilah saatnya mereka balas
dendam. Sorak sorai para prajurit Ayodya memekakkan telinga, mereka bersukaria karena
bisa masuk dan menguasai kota Suwelogiri.
Patih Prahasta
dan pasukannya masih bertahan dibukit Kemuning, dicobanya sekali lagi mengirim
kurir ke Kutagara untuk meminta bantuan tambahan pasukan, makanan, obat-obatan
serta amunisi. Dikirimnya Supawarsa untuk menemui Kumbokarno di pasukan induk
di Kutagara. Maka berangkatlah Supawarsa dengan mengendarai kuda segera
memacunya menuju Kutagara Alengkadiraja.
Tapi selang
beberapa jam Patih Prahasta memberi perintah Wirapaksa untuk membuntuti
Supawarsa dibelakangnya, sama halnya Supawarsa ia kendarai kuda pacuan yang
cepat larinya. Ditengah perjalanan Supawarsa dicegat lima orang bertopeng
dengan pedang tehunus langsung dihujamkan kedada Supawarsa, dan Supawarsa tidak
sempat mengelak, terjatuhlah dia dari kudanya…dan tewaslah Supawarsa.
Bertepatan
kejadian tersebut datanglah Wirapaksa melihatnya maka segera dia memberi
pertolongan. Diserangnya kelima orang tersebut dengan senjata gadanya, satu,
dua dan tiga berhasil dilumpuhkannya tinggal yang dua orang bertopeng
kelihatannya lebih tangguh. Perkelahaian cukup seru dan salah seorang sempat
terbuka kedoknya dan cepat cepat orang itu menutupi wajahnya
…..”tuan Wibisana….mengapa tuan lakukan
semua ini?....aah….tuan tega berkhianat pada negeri sendiri!….
Wirapaksa tidak percaya, pengkianatnya
ternyata pangeran Wibisana, sementara Wirapaksa bengong menjadikannya ia
lengah, dan kesempatan ini tidak dilewatkan Anila untuk membokongnya dari
belakang dengan menusukkan pedangnya kelambung Wirapaksa,
…..”aahh, kau,”….Wirapaksa berteriak
kesakitan.
mengalami kondisi yang kritis seperti ini,
tidak ada manfaatnya Wirapaksa untuk melanjutkan pertempuran, instingnya
memerintahnya untuk melarikan diri secepatnya meninggalkan pecundang-pecundang
itu.
Dalam keadaan
luka parah segera dipacunya kuda yang ditungganginya lari menuju Kutagara.
Wibisana dan Anila berusaha mencegahnya dan menangkapnya, tapi tidak berhasil
dan Wirapaksa lolos!
…..”wah sial…sial….. bagaimana ini dimas
Hanggada, kenapa bisa lolos…..baiklah lebih baik aku segera kembali ke Kutagara
Alengkadiraja,….akan aku selesaikan si Wirapaksa!”…..Wibisana segera pergi
meninggalkan Hanggada.
Geger di
Alengka, punggawa di Balairung yang
berusaha menghentikan kuda Wirapaksa, tapi Wirapaksa langsung menerobos masuk
keruangan raja, dan dengan kesakitan bersimbah darah pada lambungnya Wirapaksa
jatuh tepat dihadapan Prabu Rahwana
…..”Yang Mulia,…aah….Suwelogiri telah
……aah……ja..
jatuhhh….aahh….dan Wibisannaaaa….aaahh,”….
nyawa Wirapaksa tidak bisa dipertahankan lagi,
tewaslah dia didepan Prabu Rahwana, namun sempat ia katakan berita penting
meskipun hanya beberapa kata sudah bisa dimengerti oleh Prabu Rahwana untuk
segera menindak lanjuti informasi tersebut.
….”dimas Kumbokarno, cepatlah bertindak
segera kirim bantuan ke Suwelogiri, sepertinya ada yang tidak beres ditubuh
kita sendiri dimas, ada apa pula dengan si Wibisana? Punggawa coba cepat
panggil Sarpakenaka kemari!”…..
Kumbokarno
memberi tugas kepada Dumreksa untuk memimpin prajurit tambahan, dengan membawa
tambahan amunisi, makanan dan obat-obatan. Malam itu juga pasukan
diberangkatkan, terdiri pasukan berkuda pasukan tombak dan pasukan pemanah.
Sarpakenaka
dengan tergopoh-gopoh menghadap Prabu Rahwana di Balairung, dan
….”ada masalah apa kakang Prabu memanggil
aku?”…..
Prabu Rahwana menanyakan keberadaan Wibisana
dan apa kegiatannya sehari-harinya,
…..”maafkan aku kakang Prabu, sudah tiga
hari ini adik Wibisana tidak berada ditempat pekerjaannya, tugas-tugasnya
mengurusi pengungsi-pengungsi pada keteteran, rangsum bantuan makanan sering
terlambat. Sudah aku perintahkan orang-orangku untuk mencarinya, tapi hingga
kini belum ketemu,”….
Belum sempat
selesai mendengar laporan Sarpakenaka, Prabu Rahwana dikejutkan ada orang
berteriak-teriak dari pendapa,
….”kakang Prabu, musuh sudah
mendekat….Suwelogiri sudah jatuh ketangan musuh….gawat….gawat!”…
Oh, Wibisana masuk ke balairung sambil
berteriak-teriak seolah-olah sedang panik. Sarpakenaka cepat-cepat menarik
adiknya membawanya masuk ke Balairung menghadap Prabu Rahwana. Dan langsung
memarahinya,
….”diam kamu Wibisana, suaramu keras sekali
membuat resah orang yang mendengarkannya….darimana saja kamu? Sudah tiga hari
kamu meninggalkan posmu dan pergi tanpa seijin aku.”…..
Wibisana menjawabnya dengan suara keras,
…..”kakak Sarpakenaka, apa urusanmu kalau
aku sedang pergi, aku toh dibagianmu hanya berperan sebagai pembantu saja, lagi
pula pembantumu yang lain kan masih banyak….perlu kakak ketahui, aku tidak
mangkir lihatlah di alun-alun sana para pengungsi dari Suwelogiri telah aku selamatkan,
jadi kamu jangan punya pikiran negative kepadaku”….
Prabu Rahwana
melihat adik ragilnya bicara ngotot seperti itu langsung memotong
pembicaraannya,
….”Wibisana sudahlah, bicaralah yang sopan,
hormati kakakmu Sarpakenaka! Sekarang segera kembalilah kamu bersama
pengungsi-pengungsi itu kebarak sana, urus keperluannya dengan baik!”….
….”baik kakang Prabu, dan maafkan aku!”….Wibisana
segera pergi dan menjemput para pengungsi di alun-alun.
Sarpakenaka
memandangi adik kecilnya keluar dengan perasaan jengkel, tapi bagaimanapun
nakalnya Wibisana ia sangat sayang kepadanya. Wibisana memang manja, sampai
dewasapun masih aleman, bahkan sudah beristeri dan punya anak sifat manjanya
masih saja, dan lucunya Sarpakenaka tidak berkutik jika adiknya sudah ngeyel minta
sesuatu, segala permintaanya harus dituruti.
Dialun-alun Wibisana menjemput para pengungsi. Diantara para pengungsi
menyelinap orang-orangnya Anila,
….”Sttt, dimas Hanggada hati-hati bersikap
yang wajar saja, supaya pengungsi-pengungsi yang lain tidak menaruh curiga pada
kita, berapa orang-orangmu disini?”…..
Hanggada bersama
prajuritnya menyamar cukup sempurna layaknya para pengungsi dengan muka
tertutup menjawab dengan suara lirih,
….”semua ada dua regu, terus kemana kita?”…..
Wibisana membawa mereka kebarak pengungsian,
disana prajurit Hanggada berbawur dengan ribuan pengungsi dari berbagai daerah.
Suwelogiri,
setelah pelabuhan dikuasai oleh Bala Rama maka Anoman segera mencari tempat
yang bisa dimanfaatkan untuk pesanggrahan, diambilnya rumah Sahbandar yang
telah kosong ditinggalkan penghuninya. Setelah semuanya beres, Ramabadra dan
para Raja-raja pendukungnya datang menempatinya sebagai markas untuk mengatur
strategi berikutnya.
….”dimas Prabu Sugriwa, Suwelogiri telah kita
duduki dan berikutnya Kutagara Alengka akan kita rebut. Hari ini biarlah Bala
Rama suruh istirahat, berikan mereka hiburan dan buatlah pesta yang meriah buat
kemenangan mereka. Tapi besuk pagi Bala Rama siap diberangkatkan kepertempuran
kembali merebut Kutagara Alengka!”….
Malam itu adalah
malam yang istimewa, pesta miras, pesta tayuban dengan mendatangkan ledek
kondang dari kidulan. Anoman, Hanila, Kapi mendo, Kapi Arimendo, Wisang kata,
Danurdara, Hindrajanu, Sutobali dan Winata tidak ketinggalan ikut menari sambil
mabuk-mabukan, kecuali Hanggada yang tidak terlihat karena menyelinap tinggal
dibarak pengungsian Alengka bersama pasukannya.
Lain lagi dibukit
Kemuning, pasukan Patih Prahasta siaga dalam kegelapan, suara jengkerik dan
burung hantu menambah suasana semakin seram, nyamuk-nyamuk pesta pora menerima
donor darah dari tamu-tamu tak diundang. Bantuan prajurit belum tiba, cadangan
makanan semakin menipis, prajurit yang sakit akibat gigitan serangga semut
merah masih mengerang-erang karena tangan dan kakinya pada bengkak.
Sang fajar telah
tiba, terdengar sangsakala dari bawah bukit, suara derap kaki prajurit Bala
Rama dan hentakan kaki kuda perang menggetarkan bumi. Yel-yel tiap kesatuan
bersaut-sautan, memberi semangat satu sama lainnya. Membuat gelisah penduduk
Suwelogiri yang mendengarkannya.
Prajurit Bala
Rama berangkat menuju Kutagara Alengka, jalan mulai menanjak, tampak didepan
perbukitan nan indah, penduduk setempat menyebutnya Bukit Kemuning. Pemandangan
yang menawan, tapi dibalik itu, diatas tebing sana seribu mata sedang mengintai
mangsa. Celah sempit mirip corong musti dilaluinya. Kapi Jembawan memimpin
paling depan, dan pada saat mendekati celah tebing dia memberi aba-aba kepada
pasukannya untuk berhenti,
…..”pasukaaan brenti!....prajurit pacalang
coba periksa dulu keadaan didepan amankah?”…..
Berangkatlah tiga
orang prajurit pacalang menyelidiki keadaan jalan disekitar celah tebing,
ditelitinya kanan dan kiri tebing terlihat tidak ada yang mencurigakan,
kemudian melangkah maju masuk kecelah tebing dan tidak ada yang aneh, kemudian
maju lagi hingga keseberang tebing aman-aman saja. Maka diputuskannya untuk
balik melapor kepada komandannya yaitu Kapi Jembawan,
….”semuanya tampak aman tuanku, terlihat tidak
ada yang mencurigakan!”….
Kapi Jembawan kemudian member perintah
selanjutnya,
…..”siap senjata, dan waspada….majuuu
jalan!”….
Diatas bukit
sana, Patih Prahasta memperhatikan tingkah musuhnya, kemudian memberi isyarat
kepada anak buahnya untuk siaga, pasukan pemanah dan pelempar batu-batu bersiap
diatas tebing terlindung batu-batu besar. Pasukan Bala Rama sudah mendekati
mulut celah…..dan….terus maju….masuk kecelah, sekarang saatnya untuk,
….”serraaaang!”…..
dengan suara lantang Patih Prahasta memberi
aba-aba untuk menyerang musuhnya. Pasukan Pemanah beraksi, disusul pasukan
pelempar batu membuka kotak-kotak tandon bom bom batu dan meluncurkannya
kebawah tebing kearah tepat pasukan Bala Rama yang terjebak dicelah tebing.
Dan apa yang
terjadi dengan pasukan Bala Rama, kepanikan, tidak terkendali dan ratusan jadi
sasaran panah-panah dan batu-batu pasukan Alengka dan mereka yang terjebak mati
mengenaskan.
Dan perintah
berikutnya Patih Prahasta kepada pasukan ketapel, untuk menyerang. Dua ketapel
raksasa dengan peluru bola-bola api dilepaskan kepasukan Bala Badra dimuka mulut
celah, sehingga mereka berlarian untuk mencari perlindungan masuk kedalam
celah, dan pasukan pemanah Alengka siap menyambutnya, matilah mereka.
….”munduuuur!…..
perintah Kapi Jembawan kepada pasukan Bala
Rama yang belum sempat masuk kemulut celah,
….”tet..tet..tet…..tet..tet..tet…..tet..tet..teettt!....
Terompet dengan sandi SOS memberikan isyarat
pasukan Bala Badra untuk mundur. Prajurit-prajurit Bala Rama yang mendengat
terompet tersebut segera cabut menyelamatkan diri dan lari secepatnya untuk
mundur bergabung dengan ribuan prajurit-prajurit dibelakangnya.
Melihat musuhnya
lari terbirit-birit, secara tak sadar dan emosi pasukan Alengka turun dari
bukit untuk mengejarnya sambil melepaskan panah-panahnya,
….”stop…stop…jangan
turun…brenti….brenti……brentiiiiiii…..
…….jangan tinggalkan pos posmu….ayo cepatlah
kembali naik…….kembaaliii...kebukittt,….hoi…hoi…!!!...
.teriakan Patih
Prahasta, lenyap disapu pikiran gelap mata dari pasukannya.
Patih prahasta
kaget melihat pasukannya tanpa perintahnya turun dari bukit mengejar
musuh-musuhnya, mencobanya ia berteriak-teriak memerintahkannya untuk kembali.
Tapi sudah terlambat, hamper seluruh jumlah pasukannya sudah berada dibawah
tebing dan berhadapan langsung dengan pasukan Bala Rama yang jumlanya ribuan.
Diatas bukit sana, Patih Prahasta memperhatikan tingkah musuhnya, kemudian
memberi isyarat kepada anak buahnya untuk siaga, pasukan pemanah dan pelempar
batu-batu bersiap diatas tebing terlindung batu-batu besar. Pasukan Bala Rama
sudah mendekati mulut celah…..dan….terus maju….masuk kecelah, sekarang saatnya
untuk,
….”serraaaang!”…..
dengan suara lantang Patih Prahasta memberi
aba-aba untuk menyerang musuhnya. Pasukan Pemanah beraksi, disusul pasukan
pelempar batu membuka kotak-kotak tandon bom bom batu dan meluncurkannya
kebawah tebing kearah tepat pasukan Bala Rama yang terjebak dicelah tebing.
Dan apa yang
terjadi dengan pasukan Bala Rama, kepanikan, tidak terkendali dan ratusan jadi
sasaran panah-panah dan batu-batu pasukan Alengka dan mereka yang terjebak mati
mengenaskan.
Tapi prajurit
Bala Rama terus maju menggantikan teman-temannya yang tewas di pertempuran.
Seribu prajurit menyerang dari berbagai arah, mengepung pasukan Alengka yang
jumlahnya jauh lebih sedikit disbanding pasukan Bala Rama. Prajurit Alengka mengamuk
dalam keputus asaan, dan prajurit Bala Rama kuwalahan.
Hanila melihat
situasi demikian tidak sampai hati melihat anak buahnya banyak yang mati, maka
ia mengambil inisiatif untuk menyerang Pati Prahasta, sebagai dedengkotnya yang
harus dihabisi terlebih dulu. Dugaannya meleset, Patih Prahasta adalah wirayuda
yang berpengalaman meskipun usianya sudah tua, pengalaman dalam pertempuran
selalu menggunakan perhitungan tidak hanya keberanian saja, berbeda dengan
prajirit-prajurit dari Bala Rama hanya mengandalkan kebranian saja.
Hanila menyerang
Patih Prahasta dan disambutnya dengan tangkisan-tangkisan yang membuat Hanila
kelelahan, pukulan-pukulan Hanila sepertinya hanya menangkap angin, dalam waktu
cukup lama Hanila berhasil dibanting oleh Patih Prahasta. Hanila terpelanting
cukup jauh, dan Patih Prahasta segera menghampiri untuk menangkapnya tapi
Hanila cukup gesit berkelit sehingga Patih Prahasta hamper jatuh terjerungup.
Hanila lolos dan berusaha lari menghindar masuk kedalam sebuah Kuil pemujaan
dipinggir telaga warna. Dan Patih Prahasta mengejar mengikuti masuk kedalam
Kuil.
Selang beberapa
waktu keluarlah Hanila dari Kuil dengan berlumuran darah dimukanya, Kapi
Jembawan melihat keadaan Hanila segera menghampirinya, tapi
…..”tidak, bukan aku….tapi dia Patih Prahasta
telah mati aku bunuh, dia ada didalam….tinggalkan saja, ayo kita lanjutkan
bantu yang lain!”…..jawab Hanila.
…..”Prahasta
mati!...Prahasta mati!....Prahasta mati!......
Prajurit-prajurit Bala Rama serempak
meneriakkan kematian Patih Prahasta guna menjatuhkan mental pasukan Alengka,
sehingga prajurit-prajurit Alengka yang mendengarkannya menjadi kendor
semangatnya. Pertempuran masih berlangsung seru, pasukan Alengka semakin
terdesak dan banyak prajuritnya yang tewas. Dan akhirnya tumpes sudah seluruh
pasukan Alengka dan kemenangan ada dipihak Bala Rama.
….”kuasai bukit Kemuning!”…..
Kapi Jembawan memberikan perintah pada anak
buahnya.
Dan pasukan
ketapel Alengka cepat-cepat menarik mundur jauh dari bukit Kemuning. Akhirnya
Bukit dan sepanjang celah Kemuning selanjutnya dikuasai pasukan Bala Rama.
Bantuan Alengka
datang dengan pasukan yang masih segar dipimpin oleh wiratama Dumreksa, sayang
mereka terlambat. Prajurit-prajurit yang masih selamat dari gempuran pasukan
Bala Rama kemudian bergabung dengan pasukan Dumreksa, kemudian bergerak kembali
melancarkan serangan kebukit Kemuning.
Tapi pasukan Bala
Rama telah menguasai medan pertemouran, mereka ganti menempatkan diri menggantikan posisi-posisi
yang semula ditempati pasukan Alengka diatas bukit. Dan dengan leluasa membidik
musuh-musuhnya yang berada dibawah bukit. Sekarang posisinya terbalik, pasukan
Alengkalah yang menjadi bulan-bulanan, sasaran bidik yang tidak terlindungi
apa-apa sehingga banyak prajurit Alengka yang tewas.
Nasibnya sama dengan
pasukan terdahulu pimpinan Patih Prahasta. Pasukan Bala Rama yang jumlahnya
ribuan dan mengalir tidak ada henti-hentinya, mereka dari kerajaan Ayodya, dari
kerajaan Mantili, dari Gua Kiskendo, Mahendra, Parang Garuda, Kutarunggu datang
seperti air bahi membuat giris pasukan Alengka yang jumlahnya jauh lebih
sedikit dibanding pasukan Bala Rama.
Satu-satunya
jalan untuk menahan majunya musuh, Dumreksa mengatur pasukannya tidak
terjangkau dari panah-panah musuh. Dan mengandalkan ketapel-ketapel raksasanya
menghujani celah-celah bukit Kemuning dan musuh yang bertengger diatasnya.
Rupanya cara ini efektip pada pertempuran melawan pasukan Bala Rama. Sehingga
banyak juga prajurit-prajurit Bala Rama yang tewas. Sedikit demi sedikit
akhirnya pasukan Alengka bisa memukul mundur pasukan Bala Rama kembali
bersembunyi dibalik celah. Setiap prajurit yang muncul untuk maju menyerang
tidak luput dari tembakan bom-bom api dari ketapel-ketapel pasukan Alengka.
Pertempuran
saling balas membalas akan kelengahan masing-masing berlangsung hingga lima
hari belum ada pihak yang kalah. Dan pertempuran masih berkutat diwilayah bukit
Kemuning, kadang-kadang yang satu bisa bertahan dari serangan dan kemudian pada
kesempatan lain gentian menyerang musuhnya, begitu seterusnya dan korbanpun
semakin bertambah baik di pihak Bala Rama maupun pihak Alengka.
Lamanya
pertempuran menjadikan tanda-tanya bagi Hanggada dan pasukannya yang jemu
menunggu di barak pengungsian, menurut perkiraannya seharusnya pasukan Bala
Rama sudah masuk ke Kutagara Alengka. Hanggada tidak sabar, maka bersama
pasukannya dengan diam-diam keluar dari barak pengungsian dan kemudian
berangkat pergi ke bukit Kemuning. Sampai di perbatasan bukit Kemuning,
Hanggada melihat pertempuran antara pasukan Bala Rama dan pasukan Alengka yang
dipimpin wiratama Dumreksa.
Terlihat
prajurit-prajurit Bala Rama terdesak dan banyak yang tewas, mereka kembali
berlindung dicelah Bukit Kemuning, sementara pasukan Alengka dengan leluasa
membombardir mereka, sehingga tidak ada kesempatan sedikitpun pasukan Bala Rama
untuk bisa maju menyerang apalagi menundukkan musuhnya.
Pasukan Alengka
memang hebat, meskipun prajuritnya sedikit tapi peralatan perangnya canggih
seperti ketapel-ketapel raksasa, didukung prajurit-prajurit yang handal dengan
panah-panah senapan, tidak seperti pasukan Bala Dewa yang masih memanfaatkan
panah-panah gendewa.
….”prajurit ayo kita bokong mereka, kita
serang dari belakang, agar mereka kacau sehingga buyar konsentrasinya ke celah
bukit Kemuning….semoga serangan kita ini, Bala Rama tanggap dan bisa masuk dan
balas menyerang pada pasukan Alengka!....ayo kita mulai…..serrraaaang!.....
Hanggada memberi aba-aba penyerangan.
Benar, serangan
Hanggada dan pasukannya dari belakang berhasil membuat bingung dan kalang kabut
pasukan Alengka. Rupanya pasukan Bala Rama mengetahui apa yang terjadi dengan
pasukan Alengka, maka kesempatan ini tidak disia-siakan oleh pasukan Bala Rama
untuk maju dan balas menyerang pasukan Alengka.
Perang campuh
terjadi, dan Anila langsung menyerang berhadapan dengan Dumreksa. Pertempuran
keduanya berlangsung sengit, namun Dumreksa yang sudah tua berhasil dibunuh
Anila yang secara fisik atau usianya lebih muda. Pasukan Alengka akhirnya
berhasil dikalahkan, prajurit-prajuritnya pada lari menyelamatkan diri. Korban
prajurit yang tewas dalam pertempuran banyak sekali terutama dipihak Rama
Badra, meskipun pada akhirnya pertempuran di bukit Kemuning dimenangkan oleh
pasukan Rama Badra.
16
ISTERI RAHWANA
DAN PUTERANYA
DISANDERA
Alengkadiraja,
Prabu Rahwana sedang mengadakan pertemuan dengan seluruh Menteri, Bupati dan
Wiratama termasuk para Pangeran, guna membahas pertahanan akhir tentara
Alengkadiraja untuk menghadapi serangan dari Bala Rama.
…..”dimas Kumbokarno, Sarpakenaka dan Wibisana
sepertinya pertahanan terakhir Alemgkadiraja tinggal Benteng Kutaragara
Alengka. Perintahkan penduduk kota segera masuk kedalam Benteng agar mereka
tidak menjadi korban penganiayaan Bala Rama…..dan para Raja Seberang inilah
saatnya aku perlu bantuan kalian untuk mengerahkan armada laut
kalian,….sementara kami bertahan didalam benteng sini, kalian bisa menyerang
dengan meriam-meriam dikapal kalian untuk menghancurkan markas-markas mereka
dipelabuhan Suwelogiri….dan Wibisana aku tugasi kamu untuk menjaga keselamatan
putera-putera Pangeran dan puteri-puteri di Kaputren, dan Sarpakenaka teruskan
tugasmu, sementara aku dan dimas Kumbokarno akan memimpin langsung pertempuran
melawan pasukan Bala Rama.”…..
Diatas Benteng, Ketapel-ketapel Alengka dengan
peluru bom api telah dipersiapkan berjajar diatas benteng sesuai kapasitas
jarak tembak masing-masing, ada yang jangkauannya mencapai 200 m dan ada yang
hanya mencapai 100 m. kemudian torong-torong peluncur bom api untuk jarak
pendek. Kemudian tong-tong berisi minyak panas siap dituangkan menyongsong
musuh yang berusaha mendobrak pintu benteng. Semua telah dipersiapkan dan
tunggu tanggal mainnya saja. Pasukan
pemanah telah berjajar diatas benteng dengan senapan panah yang canggih siap
dibidikan pada musuh-musuhnya. Tak ketinggalan panah-panah besar dengan gendewa
raksasa tengadah keatas siap menghadapi musuh yang menyerang dari udara,
sepertinya penangkis serangan udara untuk melumpuhkan Garuda-garuda Sempati
yang jadi andalan prajurit Ayodya.
Dipesanggrahan
Suwelogiri, bagaimana persiapan dari pihak Bala Rama? Tidak kalah sibuknya,
para prajurit dipimpin Anoman, Anila, Hanggada dan Kapi Jembawan mempersiapkan
Tangga-tangga raksasa dimana dibagian depannya diberi tameng sebagai pelindung
prajurit-prajuritnya yang akan naik kebenteng dan terlindung dari serangan
musuh, tangga-tangga tersebut dilengkapi roda-roda agar bisa digeser-geser
maju. Demikian halnya balok-balok pendobrak dilengkapi roda-roda dan tameng
diatasnya sebagai pelindung dari tembakan bom-bom yang dijatuhkan dari atas
benteng. Pasukan pemanah yang mengiringi pasukan tombak telah dipersiapkan.
Juga ketapel-ketapel sitaan pada saat perang bukit Kemuning dimanfaatkan untuk
menggempur Benteng Kutagara Alengka.
…..”prajurit-prajuritku yang setia, tinggal
beberapa langkah lagi perjuangan kita untuk merobohkan Benteng Kutagara
Alengka. Benteng yang tinggi besar dengan persenjataan yang canggih tidak ada
apa-apanya dibandingkan dengan semangat yang membara dari tekat-tekat kalian
semua…..pasukan kita ribuan mereka sangat kecil, dengan keberanian yang kalian
punyai aku pastikan hanya sekejap Benteng tersebut pasti dengan mudah akan kita
kuasai….seperti biasanya sang malam selalu berpihak kepada kita, maka
bersiaplah malam ini kita bersiap lakukan penyerangan ke Kutagara Alengka….kali
ini Lesmana yang akan memimpin sebagai senopati pasukan Bala Rama, selamat
berjuang”…..
Dengan lantang Ramabadra memberi semangat pada
prajurit-prajuritnya.
Malam itu juga
pasukan Rama Badra berangkat menuju Benteng Kutagara untuk melakukan penyerangan.
Anila dan Kapi Jembawan memimpin dibarisan terdepan mendampingi Lesmana. Barisan prajurit bertombak berjalan paling
depan, kemudian disusul barisan prajurit pemanah dan dibelakangnya
ketapel-ketapel raksasa, dikanan kiri pasukan berkuda yang dipimpin Kapi Mendo
dan Kapi-kapi yang lain dengan bersenjatakan pedang dan gada mengiring seluruh
ribuan prajurit Bala Rama menuju medan pertempuran di Benteng Kutagara Alengka.
Dimalam yang
gelap, pasukan Bala Rama merayap cepat sedikit mendaki bagaikan semut-semut
gurun yang lapar mengejar mangsanya, semakin dekat dan semakin dekat jaraknya
dengan Benteng Kutagara Alengka yang tampak dikejahuan hitam kekar karena
pantulan bintang-bintang dilangit bangunan bagaikan raksasa yang siap melahap
musuhnya. Tidak ada sinar lampu sedikitpun yang tampak dari Benteng tersebut,
dan memang disengaja lampu-lampu diluar dinding Benteng dipadamkan, didalam
Benteng hanya bagian-bagian dapur dan medic saja yang hidup. Dan tiba-tiba
terdengar suara,
…..”ngaaak, ngaaak, ngaaak…..ngak,ngak,ngak!!!.....
Suara gaduh dari binatang unggas Angsa, yang
sengaja ditaruh dalam kurungan bamboo dan diletakkan jauh diluar Benteng oleh
pasukan Alengka, yang tujuannya bisa memberikan tanda-tanda bila musuh telah
datang.
….” Ketapel 200m siaaap! tembaaaak!”….
Kumbokarno dengan teriakan menggelegar memberi
aba-aba untuk menyerang. Maka dengan cepat ketapel-ketapel melepaskan
blandring-blandringnya maka secepat kilat peluru-peluru bom api dilepaskan dari
sarangnya dan melayang diudara dengan kobaran api yang menyala kemudian menukik
turun dengan cepat menuju sasaran tembak dan korban-korban menyongsongnya tanpa
sempat untuk menghindarinya. Paling tidak sekali tembak sepuluh hingga duapuluh
korban pasti didapat.
Pasukan Bala Rama
kocar kacir, Lesmana kuwalahan untuk mengatur kembali formasi pasukan yang
bubar, dia tidak menyangka kalau Alengka menempatkan jebakan-jebakan dengan
memanfaatkan binatang Angsa-angsa yang bisa memberikan tanda-tanda tentang
kehadiran pasukan Rama Badra, sehingga dengan mudah terdeteksi dimana posisi
dan keberadaan pasukan Rama Badra dengan tepat. Langit menjadi terang benderang
dengan derasnya bom bom api dari ketapel-ketapel Alengka berseliweran bagaikan
kembang api, malahan semakin terlihat dengan jelas keberadaan pasukan Rama
Badra yang kocar kacir jadi bulan bulanan sasaran peluru-peluru dari pihak
Alengka.
Pertempuran
semakin sengit setelah pasukan Rama Badra membalas serangan dengan
ketapel-ketapel rampasan, meskipun hanya dua buah yang dimiliki tapi cukup
membuat kejutan pada pihak Alengka, sehingga ada beberapa bangunan yang hancur
akibat hantaman dari peluru dari pasukan Rama Badra. Korban dari pihak Alengka
ada, akibat tertimpa reruntuhan dari bangunan yang roboh.
Pertempuran
berlangsung hingga pagi, matahari muncul dari ufuk timur, tampak dari atas
Benteng mayat-mayat bergelimpangan dibawah dari pihak Rama Badra, tubuhnya
kebanyakan hancur dengan darah mengalir disekitarnya, pemandangan dibawah
Benteng memerah karena darah tercecer dimana-mana. Keletihan mulai nampak pada
pasukan Rama Badra,Lesmana, Anila dan Anoman tampak geram, gelisah dan sedikit
putus asa, karena tidak berdaya untuk melakukan serangan balasan, pasukan
panahnya maupun tangga-tangga lapis tameng sepertinya tidak menunjukan perannya
pada kancah peperangan ini.
Benteng Kutagara
Alengka yang tinggi memang kuat dan sulit untuk didekati. Hanya tempo semalam
saja sudah ribuan prajuritnya yang tewas dengan mengenaskan. Dan Ramabadra tahu
masalah itu, dalam batinnya ia juga ada perasaan kasihan dan menyesal melihat
prajurit-prajuritnya banyak yang mati. Tapi misi ini harus berlanjut,
masalahnya ia telah berjanji dan menyatakan kesanggupannya dihadapan Resi
Wasista dan Resi Mitra untuk menguasai Alengkadiraja. Ambisinya untuk menjadi
Maharajadiraja menghapus semua tragedy-tragedi yang menimpa prajuritnya, dan
prinsipnya jer basuki mawa bea harus diikuti.
Tiba-tiba datang
utusan Prabu Sugriwa dari markas Suwelogiri,
….”aduh Gusti Rama, kami beritahukan bahwa
dimarkas Bala Rama di Suwelogiri sedang terjadi pertempuran, markas diserang
dari laut oleh armada-armada perang Kerajaan Seberang sekutu dari Alengka.
Tembakan-tembakan meriam yang dilepaskan dari kapal-kapal mereka menghancurkan
pertahanan kita, korban yang tewas dari perajurit-perajurit Bala Rama banyak sekali,”….
Dan Ramabadra menanggapinya, dan perintah
selanjutnya,
….”kembalilah pada kesatuanmu, dan katakan
pada Prabu Sugriwa agar bertahan dan tarik pasukan hingga bebas dari jangkauan
meriam kapal, dan bila terdesak bertahanlah dibukit Kemuning,”…..
Situasi di
Kaputren, Wibisana bersama para pengawalnya menjaga keamanan dilingkungan dan
penghuni Kaputren, disitu ada Trjata puterinya dan Dewi Urang Ayu isteri Prabu
Rahwana yang sedang hamil, dan puteri-puteri keraton yang lain. Sengaja
Wibisana menemui kakak iparnya Dewi Urang Ayu untuk mengkabarkan keadaan
pertempuran antara Alengkadiraja dengan Bala Rama, dan katanya
…..”kakang
mbok Dewi, bila keadaan nantinya Alengka terdesak, seyogyanya kakang mbok Dewi
harus mengungsi, mengingat kakang mbok Dewi sedang hamil perlu cari tempat yang
aman demi jabang bayi yang akan lahir nantinya,”…..
….”baiklah dimas Wibisana, aku menurut saja
bagaimana baiknya kamu lakukan saja,”….
jawab Dewi Urang Ayu tanpa ada kecurigaan
sedikitpun atas tawaran Wibisana.
Dalam pikiran
Wibisana berbeda dengan yang barusan ia ucapkan. Wibisana punya rencana lain
untuk mengakhiri pertempuran Alengka melawan Bala Rama. Ia tahu persis bahwa
Bala Rama tidak mungkin bisa menerobos Benteng Kutagara Alengka yang begitu
kuatnya, meskipun dikerahkan jutaan prajurit bakalan mati sia-sia berhadapan
dengan peralatan perang Alengka yang lebih canggih dibanding milik Bala Rama.
Wibisana harus bertindak, hanya dia yang bisa melakukannya. Dipanggilah orang kepercayaannya yaitu punggawa
Sluman dan Slumun untuk melaksanakan suatu tugas rahasia,
…..”kamu bisa lewat gorong-gorong dan mintalah
kepada Prabu Sugriwa untuk mengirim Anoman dan Hanggada dan beberapa
orang-orangnya kemari, bawa kerisku ini agar mereka mengenalimu, berangkatlah
dan hati-hati jangan sampai ada orang yang tahu!”….
Maka berangkatlah
punggawa Sluman dan Slumun melalui pintu belakang Kaputren kemudian menuju
sudut pagar belakang, disitu terdapat tutup lobang control pada sebuah saluran
dibawah tanah terbuat dari pasangan batu bata yang berbentuk gorong-gorong
fungsinya mengalirkan seluruh air limbah didalam Benteng Kutagara Alengka
dibuang keluar melalui gorong-gorong tersebut menuju kesungai besar yang ada
diwilayah Alengkadiraja.
Dibukanya tutup
lubang tersebut dan dengan cepat Sluman dan Slumun masuk kedalam gorong-gorong
tersebut dan menutup kembali tutup lobang tersebut, dan kemudian dengan
bersusah payah dia berjalan merangkak menelusuri saluran tersebut yang
panjangnya hamper limaratus meter menuju keluar benteng terus berakhir disebuah
sungai besar yang mengalir kelaut. Dan akhirnya Sluman dan Slumun berhasil
keluar dari saluran tersebut. Dengan mengedap-edap mereka berjalan
melipir-lipir tebing sungai menuju kemuara sungai.
Tiba dimuara
sungai Sluman dan Slumun kemudian melanjutkan perjalanannya menuju bukit
Kemuning, belum mencapai bukit tersebut dia disergap oleh prajurit Bala Rama,
sedikit terjadi perselisihan namun Sluman dan Slumun berhasil meyakinkan
prajurit-prajurit tersebut bahwa mereka sedang diutus Wibisana menyampaikan
pesan kepada Prabu Sugriwa dengan menunjukan keris milik Wibisana. Maka
prajurit tersebut membawanya keraja kera Prabu Sugriwa.
Singkatnya
ceritera, Wibisana berhasil mendapatkan bantuan yaitu dengan datangnya
Anoman,Hanggada beserta sepuluh prajurit Rama Badra yang bisa diandalkan untuk
melaksanakan rencana-rencananya. Kemudian Wibisana membawa mereka menuju
kekaputren, tapi dengan tidak sengaja mereka berpapasan dengan Indrajit yang
sedang mengantarkan ibunya yaitu Dewi Urangayu untuk memenuhi panggilan
ayahanda Prabu Rahwana.
……”paman Wibisana, kelihatanya tergesa-gesa
akan pergi kemana?....dan siapakah mereka yang dibelakang paman?”…..
Indrajit menyapa Wibisana, tapi….
…..”dimas Hanggada tangkap mereka!!”….
Wibisana
memerintahkan Hanggada dan prajuritnya meringkus Indrajit dan Dewi Urang Ayu.
Semuanya terjadi secara tiba-tiba sehingga Indrajit tidak sempat untuk
melakukan perlawanan, dan terpaksa menuruti kemauan mereka. Keduanya digiring
masuk kedalam kaputren dan kemudian keduanya diikat dan ditutup mulutnya agar
tidak bisa berteriak minta pertolongan.
Wibisana kemudian
mengajak Anoman menuju ke Taman Soka ketempat kediaman Dewi Shinta. Pada waktu
itu Shinta sedang bersamadi diruang pemujaan, berdoa memohon keselamatan kepada
Sang Khaliq agar peperangan antara Rama Badra dan Alengkadiraja segera
berakhir. Tiba-tiba kori samping terbuka dan masuklah Wibisana diringi Anoman
keruang pemujaan.
…..”lhoh..lhoh…dimas Wibisana….apa yang akan
kamu lakukan, kalian lancang sekali masuk kekediamanku tanpa seijinku….apa
maksudmu?”…..
teguran kemarahan Shinta kepada Wibisana dan
Anoman.
…..”maaf dan maafkan aku yunda Shinta,….tiada
waktu aku untuk menjelaskanmu, sekarang bersiaplah dan ikuti kami pergi
ketempat yang lebih aman sebab situasi peperangan semakin gawat dan Alengka
terdesak,”…….
Jawab Wibisana dan dengan kasar menarik tangan
Shinta.
….”tidak, aku tidak akan pergi….aah…lepaskan
aku Wibisana, kurang ajar kamu!”……
Shinta berusaha
melepaskan pegangan tangan Wibisana tetapi tidak berhasil, begitu kuat tangan
laki-laki itu yang kemudian menggelandangnya kekaputren mengumpulkan Shinta
jadi satu dengan dengan Indrajit dan Dewi Urang Ayu. Indrajit dan isteri
Rahwana yaitu Dewi Urang Ayu yang sedang mengandung dan Dewi Shinta berhasil
disandera, Anoman dan Hanggada menjaganya.
Rupanya kejadian
penyanderaan tersebut diketahui salah satu punggawa dikaputren, secara diam
diam dia segera lari melaporkan kepada atasannya Sarpakenaka. Dan selanjutnya
bergegas Sarpakenaka melaporkan kejadian ini kepada Prabu Rahwana. Sang Prabu
terkejut mendengar laporan dari Sarpakenaka, maka cepat-cepat Prabu Rahwana
pergi kekaputren dan tampak disana pintu-pintu gerbang sudah tertutup dan
terkunci dari dalam.
……”adikku Wibisana cah bagus, ada apa dengan
kalian? Kamu punya keinginan apa, katakanlah! Aku akan berusaha
memenuhinya,…..Wibisana adikku terkasih, ayo bukakan pintunya dik, kakang mau
bicara baik-baik denganmu.”…….
Prabu Rahwana
berusaha membujuk Wibisana agar mau diajak berdialog baik-baik, tapi rupanya
Wibisana tidak mau membukakan pintu,
…..”tidak kakang Prabu, sebelum kakang Prabu
menghentikan peperangan ini,….dan yang kedua tolong bukakan pintu benteng agar
Ramabadra bisa menjemput Shinta isterinya kemari,….dan yang ketiga aku minta
sudilah kakang Prabu meletakan keprabon dan menyerahkan kepadaku, masalahnya
kakang Prabu sudah tua dan sudah saatnya raja digantikan yang lebih
muda,…..camkan ketiga permintaanku ini
supaya kakang Prabu memenuhinya, sebab kalau tidak maka aku tidak segan segan
untuk mencelakai orang-orang yang kakang Prabu cintai!”….
Jawaban dan persyaratan yang disertai ancaman
dari Wibisana membuat hati Prabu Rahwana dan Sarpakenaka seperti diiris-iris,
tidak disangka bahwa pengkianatan
terjadi justru dilakukan adiknya sendiri, Wibisana yang pendiam yang sangat ia
cintai justru sebagai dalang dari kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di
Alengkadiraja.
…..”jangan hiraukan ramanda Prabu, aku
Indrajit tidak setuju ramanda menjadi lemah karena aku tertawan disini, ini
adalah jebakan….aaah…aaah,”…..
Suara Indrajit dari dalam memperingatkan Prabu
Rahwana. Namun suaranya terputus karena Hanggada menyumbatnya kembali kain yang
terlepas dari mulut Indrajit. Tapi Indrajit melawan dengan tendangan kakinya
meskipun tangannya terikat. Maka terjadilah pertempuran seru antara Indrajit
dikeroyok tiga lawannya yaitu Wibisana , Anoman dan Hanggada. Indrajit dengan
kakinya menangkis setiap pukulan-pukulan yang mengarah pada dirinya dan
membalasnya kembali dengan lincah tendangan keras kepada lawan-lawannya. Anoman
sempat jatuh tersungkur dan Hanggada terpental membentur didinding, sedangkan
pamannya Wibisana sengaja berputar-putar menghindari tendangan balasan dari
Indrajit. Pertempuran berlangsung cukup lama dan perkelahian yang tidak
seimbang membuat Indrajit kelelahan, dan akhirnya indrajit berhasil diringkus
kembali oleh Wibisana, yang kemudian memukulnya sehingga Indrajit tidak
sadarkan diri.
Prabu Rahwana dan
Sarpakenaka mendengar suara gaduh didalam kaputren maka memerintahkan para
punggawa untuk mendobraknya. Pintu yang cukup tebal dari kayu jati sulit untuk
dibuka. Dengan pukulan balok besar akhirnya pintu berhasil dibuka paksa, maka
segera Sarpakenaka dan para punggawa menyerbu masuk. Akan tetapi kaputren telah
kosong, Wibisana dibantu Anoman, hanggada dan prajuritnya telah berhasil
membawa kabur sandera-sanderanya lari keluar melalui gorong-gorong saluran air
yang pernah dilalui Sluman dan Slumun sewaktu membawa Anoman, Hanggada dan
prajuritnya masuk kedalam benteng.
Dipesanggrahan
Suwelogiri tampak Ramabadra gembira menyambut kedatangan Wibisana disertai
Shinta isterinya dan para sandera yaitu Indrajit dan ibunya Dewi Urang Ayu yang
sedang hamil. Dan katanya,
…..”selamat datang dimas Wibisana dan selamat
bergabung dengan kami, kesemuanya ini kami lakukan demi keadilan dan menumpas
keangkara murkaan dari Prabu Rahwana yang telah melampaui batas tata krama
mencuri isteri orang, maafkan aku bukannya bermaksud menghina saudara kandung
dimas Wibisana tapi kami menyampaikan kenyataan yang terjadi. Apapun masahnya,
siapapun yang berbuat dan dimanapun yang melakukan keangkara murkaan harus
berhadapan dengan kami, seperti yang dimas ketahui peperangan yang terjadi
sekarang ini, beribu-ribu prajurit kami mati kesemuanya demi membela kebenaran,
dan ini patut kita dukung dan kita bela sampai titik darah penghabisan,…..dan
rupanya dimas Wibisana sependapat dengan kami dengan bukti telah mengantarkan
Shinta disertai para sandera kepada kami, dan kami tidak akan melupakan atas
jasa-jasa dan segala bantuan dimas kepada kami, kami sangat berterimakasih dan
kami telah memikirkan balasan yang layak kepada seorang kesatria Wibisana
nantinya, sudah saatnya Alengkadiraja harus diperintah oleh seorang raja muda
dan bijaksana seperti dimas Wibisana, tunggu saat kemenangan kita raih nanti
dimaslah yang berhak untuk menggantikan Prabu Rahwana dan menjadi raja di
Alengkadiraja!.....oleh karena itu tetap bantulah kami untuk mewujudkannya,”……
Wibisana merasa tersanjung atas pernyataan
Ramabadra kepada dirinya dan menjanjikan mengangkatnya menjadi raja kelak
setelah peperangan dimenangkan oleh pihak Ramabadra.
Diluar benteng
Kutagara Alengka, tampak dari atas bententeng seseorang mengendarai kuda sambil
membawa bendera putih datang mendekati dinding benteng. Orang tersebut adalah
Lesmana dengan membawa bendera putih ditangannya bermaksud meminta pihak
Alengka untuk melakukan perundingan. Kumbokarno mengetahuinya dan segera turun
keluar benteng menemuinya.
…..”salam sejahtera bagi anda yang mau
berdamai,”…..
Demikian sapaan Lesmana kepada Kumbokarno, dan
dibalas sapaan yang sama.
…..”salam sejahtera bagi semua yang diberi
kedamaian, langsung saja kisanak apa yang menjadikan kesulitan kisanak sehingga
begitu antusias harus datang kepada kami?”…….
Dan Lesmana menyambutnya dengan kata-kata
diplomatis kepada Kumbokarno,
…..”lihatlah jauh dibelakangku disana
sepertinya mereka punya pengharapan kepada anda,….. mereka minta agar
Alengkadiraja tunduk kepada kami sehingga rakyatnya bisa hidup tenteram dan
damai bebas dari ketakutan peperangan seperti yang terjadi sekarang ini, Prabu
Ramabadra akan berikan kebebasan kepada Prabu Rahwana untuk meninggalkan
negerinya tanpa seorangpun mengganggunya bila bersedia menyerahkan kekuasaannya
dengan suka rela,….atau bila Prabu Rahwana enggan dengan persyaratan tadi, ada
solusi lain yaitu prabu Ramabadra menantang duel satu lawan satu kepada Prabu
Rahwana pertarungan antara lelaki tanpa melibatkan prajurit dan rakyatnya,
untuk menentukan siapa yang perkasa dan menang pada duel tersebut, bagi yang
kalah harus meletakan jabatannya sebagai raja dan bagi yang menang akan
menggantikannya…….sampaikan hal ini kepada rajamu agar mau menuruti saran kami
dengan begitu kami bisa segera membebaskan Indrajit dan Dewi Urang Ayu kembali
ke Alengka dengan selamat!”…..
Kumbokarno marah
setelah melihat jauh dibelakang Lesmana tampak kemenakannya Indrajit bersama
ibunya yaitu Dewi Urang Ayu terikat sebagai tawanan Ramabadra, dan ia marah
juga setelah tahu dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Wibisana duduk
satu kereta dengan Ramabadra.
….”dasar pengkianat!”…..gumamnya.
Kumbokarno kembali masuk kedalam benteng untuk
melaporkan tuntutan Ramabadra kepada Prabu Rahwana. Mendengar laporan tersebut
Prabu Rahwana tampak geram.
…..”kakang Prabu ini adalah jebakan, janganlah
dituruti tuntutan mereka, biarlah aku saja yang menggantikan kakang Prabu
menghadapi Ramabadra!”….
Demikian
Kumbokarno berusaha mencegah Prabu Rahwana untuk meladeni duel dengan
Ramabadra.
…..”tidak dimas Kumbokarno, dalam hal ini aku
sendiri yang harus menyelesaikannya, sudah banyak korban dari para para
prajurit dan rakyat yang tidak berdosa, mereka tewas menjadi korban pada perang
konyol seperti ini,…..aku sendiri tidak mengerti siapa sebenarnya dalang
dibalik persekongkolan ini sehingga banyak para raja-raja seberang sebagian
mbalelo, sepertinya mereka terbius dan tak sadar kemudian memihak Ramabadra
hanya karena Shinta yang tidak mau pulang kenegerinya,….tidak aku akan turuti
Ramabadra demi membela anakku Indrajit dan isteriku Dewi Urang Ayu yang sedang
hamil!”…..
Dan Rahwana
terpaksa menghentikan peperangan, Kumbo-kumbo yaitu putera Kumbokarno memimpin
para prajurit-prajuritnya hanya siaga saja didalam benteng, Prabu Rahwana
putuskan maju sendiri diiringi dibelakangnya Kumbokarno dan Sarpakenaka. Dengan
perlengkapan perangnya, mengenakan pakaian dan topi besi, tameng di tangan kiri
pedang ditangan kanan Prabu Rahwana keluar dari pintu benteng dengan
mengendarai kuda perangnya yang kekar berbulu hitam maju dimedan laga. Tampak
dikejauhan datang seorang berkuda dengan pakaian perang juga seperti halnya
Prabu Rahwana, dia datang mendekat dan berkata,
…..”prabu Rahwana terimakasih anda telah
memenuhi undangan kami, tapi maaf setelah dipertimbangkan masak-masak Prabu
Ramabadra memutuskan akulah Lesmana yang pantas menghadapi anda didalam duel
ini, sebab Prabu Ramabadra merasa bukan tandingan anda, beliau mengatakan anda
tidak selevel dengannya, maka akulah lawan yang seimbang dengan anda maka
bersiaplah!”…..
Prabu Rahwana
merasa diperdaya akan tetapi dia terlanjur masuk dimedan laga, maka tidak ada
kata dan niat untuk mundur, tabu baginya. Dengan sabar Lesmana ditegurnya,
……”Lesmana pulanglah, nanti aku kirimkan
pakaian kebaya untukmu dan Ramabadra, sebab disini bukan tempatmu bersolek dan
kudakupun jijik melihat tingkahmu,”…..
Mendengar ejekan
Prabu Rahwana, muka Lesmana menjadi merah karena marah dan mulailah ia
melakukan serangan dengan pedangnya. Dan terjadilah pertempuran seru keduanya,
pedang Prabu Rahwana menangkis serangan dan berbalik memberikan balasan
menyerang Lesamana, berkali-kali bagaikan kilat pedang Prabu Rahwana berhasil
merobek baju perangnya, sepertinya Lesmana kuwalahan menangkis serangan Prabu
Rahwana yang datang bertubi-tubi, tida ada kesempatan sabetan-sabetan pedangnya
mengenai sasaran yang dia inginkan dan Prabu Rahwana selalu bisa menangkisnya.
Malahan satu persatu tali-tali pakaian baju perangnya bisa diputus oleh pedang
Prabu Rahwana sehingga baju besi penutup dada dan lengannya semuanya jatuh
terlepas.
…..”pulanglah nak, hari semakin panas, jangan
sampai ibumu mencarimu….kasihan dia bila melihat kamu telanjang,…cepatlah
pulang sebelum pedang ini melukai kulitmu!”….
Benar apa yang
dikatakan Prabu Rahwana, satu persatu pakaiannya Lesmana terlepas karena ulah
pedang sakti Prabu Rahwana. Sekarang ia bertelanjang dada dan tamengpun sudah
tidak ada ditangannya. Lesmana mengakui bahwa lawannya bukan orang sembarangan,
dia berfikir meskipun dikeroyok dengan Ramabadrapun akan sulit untuk merobohkan
Prabu Rahwana.
Dari kejauhan
Ramabadra dan Wibisana melihat pertempuran tersebut, Ramabadra tahu kalau
Lesmana dalam situasi terdesak dan jiwanya teracam dengan kondisi tubuhnya yang
tidak terlindung apapun sangat riskan sekali dan memberi peluang pedang Prabu
Rahwana untuk merobeknya. Maka Ramabadra berinisiatif mengambil gendewa dan
panahnya, kemudian direntangnya busur panah diarahkan mata panah kearah tubuh
Prabu Rahwana, dan….tiba-tiba kereta bergoyang bahkan hamper terguling oleh
sebab Indrajit yang terikat dibawah kereta berontak dan menumburkan tubuhnya
kebadan kereta sehingga guncangan kereta menyebabkan Ramabadra terjatuh dari
kereta dan panah terlepas dari tangannya, demikian juga Wibisana ikut terjatuh
dan menimpa tubuh Ramabadra.
Kembali Indrajit
mengamuk, kali ini dia berhasil melepaskan tali ikatan pada tangannya, prajurit
Bala Rama segera bertindak dan berusaha meringkus kembali Indrajit. Namun tidak
berhasil malahan banyak prajurit yang tewas karena pukulan dan tendangan
Indrajit.
Anila dan Kapi
Jembawan bertindak, pertempuran terjadi antara Indrajit dikeroyok Anila dan
Kapi Jembawan bersama prajuritnya. Perkelahaian tak seimbang, Indrajit dengan
tangan kosong berhadapan dengan berpuluh-puluh prajurit-prajurit dengan senjata
lengkap seperti pedang dan tombak. Meskipun demikian Indrajit berhasil
merobohkan lawan-lawannya, tapi akhirnya terkuras juga tenaganya sehingga tidak
ada daya menahan serangan Anila dan Kapi Jembawan.
Indrajit terdesak
lambungnya robek kena tusukan tombak, darah mengucur dari perutnya, tapi dengan
sisa kekuatannya Indrajit masih berbahaya, bagaikan banteng ketaton Indrajit
menghabisi musuh-musuh yang ada didekatnya, tidak ada ampun lawan yang berhasil
dia tangkap, pecah kepala pasti terjadi.
Lama kelamaan
kondisi badan Indrajit semakin lemah darah banyak yang keluar dari tubuhnya,
mata berkunang kunang dan membuatnya lengah. Situasinya berbalik Indrajit
dijadikan bulan-bulanan, tubuhnya penuh dengan luka. Sayatan pedang dan hujaman
tombak musuh merajam tubuhnya. Akhirnya Indrajit jatuh dan mati secara
mengenaskan. Prajurit Bala Rama bersorak gembira membusung dada bukti atas
kemenangannya. Hanya Dewi Urang Ayu yang menjerit histeris menyaksikan
puteranya binasa ditangan kreoyokan prajurit-prajurit Bala Rama.
Kumbokarno dan
Sarpakenaka dari kejauhan juga menyaksikan Indrajit dikeroyok Anila, Kapi Jembawan
bersama perajurit-perajuritnya, maka tanpa komando keduanya melejit menuju
pertempuran tersebut dan berusaha membantu Indrajit yang jadi bulan-bulanan
prajurit Bala Rama, tapi pasukan Prabu Sugriwa segera menghadangnya dan
terjadilah pertempuran sengit keduanya.
Pasangan yang kompak antara Kumbokarno dan Sarpakenaka, keduanya
berhasil memporak porandakan musuh, puluhan prajurit Bala Rama yang pada tewas.
Sementara itu
pertempuran antara Prabu Rahwana dengan Lesmana masih berlangsung, sekarang
Lesmana yang jadi bulan-bulanan, dia terjatuh dari kudanya kesempatannya untuk
menyelamatkan nyawa bisanya hanya menghindar dan lari dari kejaran Prabu
Rahwana. Anoman melihat keadaan Lesmana dalam keadaan terdesak, maka dia segera
lari membantu Lesmana menyerang dengan mengayunkan gadanya ketubuh Prabu
Rahwana, tapi Sang Prabu sempat menangkis dengan pedangnya dan terpentalah gada
Anoman, sekarang Anoman yang menjadi mainan Prabu Rahwana dibantu sepak
tendangan dari kuda tunggangannya sehingga Anoman jatuh tersungkur menahan
sakit pada dadanya.
Ramabadra diatas
kereta sedari tadi kembali merentangkan
busur panahnya kearah Prabu Rahwana mencari kesempatan untuk melepaskan anak
panahnya namun selalu terhalang Lesmana ketika mereka masih saling bertempur
diatas kuda masing-masing. Semestinya kesempatan itu ada ketika Lesmana jatuh
dari kudanya, tapi mendadak datang Anoman yang pentalitan menghalangi kembali
sasaran bidiknya. Ditunggunya dengan sabar dan ketika Anoman jatuh, sekarang
semakin jelas sasaran bidiknya…..dan dilepaskannya anak panah Guhawijaya
melesat cepat dan tepat mengenai sasaran….dada Prabu Rahwana tertembus panah
Ramabadra dan tewaslah Prabu Rahwana semampir diatas kudanya.
Anoman tahu
keadaan musuhnya mati terkulai diatas kudanya segera ia menangkap tali kendali
kuda Prabu Rahwana dan menjaganya agar Prabu Rahwana tidak terjatuh ditanah.
Anoman tahu akan kesaktian Prabu Rahwana yang memiliki ajian Pancasona bakalan
hidup kembali bila jasadnya sempat menyentuh
tanah.
Satu persatu
Ramabadra mencari kelengahan musuh-musuhnya kemudian membidiknya dengan panah
Guhawijaya untuk membunuhnya. Tak luput Kumbokarno dan Sarpakenaka berakhir
kematiannya oleh panah Ramabadra. Kembali sorak sorai membahana dari prajurit
Bala Rama sebagai kegembiraannya atas kematian Raja Alengka Prabu Rahwana dan
adik-adiknya Kumbokarno dan Sarpakenaka.
Didalam benteng
Kutagara Alengka juga terjadi pertempuran. Rupanya Wibisana dan Hanggada
berhasil menyelundupkan pasukannya melalui gorong-gorong kemudian membakar
barak-barak dan bangunan bangunan yang ada didalam benteng sehingga suasana
menjadi kacau-balau. Kumbo-kumbo putera Kumbokarno akhirnya terbunuh oleh
pamannya sendiri Wibisana. Hanggada dan prajuritnya berhasil membuka gerbang
benteng, maka berhamburanlah pasukan Bala Rama menyerbu masuk menyerang
sisa-sisa pasukan Alengka yang tidak mau menyerah. Pembantaian terjadi
beribu-ribu prajurit yang pantang menyerah dan penduduk yang dicurigai dibunuh
tanpa ampun.
Akhirnya Alengka
benar-benar jatuh ditangan Ramabadra. Wibisana tampil bagaikan seorang pahlawan
datang membujuk penduduk Alengka agar mau keluar dari persembunyiannya,
dinyatakannya perang telah usai. Dan akhirnya tercapailah apa yang jadi
cita-cita Wibisana untuk menduduki tahta kerajaan Alengkadiraja. Ramabadra melantiknya
sebagai raja baru Alengkadiraja dihadapan seluruh rakyat Alengka.
Bagaimana dengan
jasad Prabu Rahwana. Anoman membawanya kenaik kegunung Rahtawu. Dipuncak gunung
tersebut jasad Prabu Rahwana dimasukan kedalam batang pohon growong dan
kemudian menjepitnya dengan timbunan bongkahan-bongkahan bebatuan sehingga
kecil kemungkinannya ada orang untuk bisa menolongnya. Tubuhnya yang berada
didalam batang growong tidak bakal tersentuh tanah sehingga ajian Pancasonanya
tidak bakal bekerja, dan dipastikan jasatnya akan membusuk dan musnah dimakan
binatang binatang serangga. Setelah timbunan bebatuan Anoman kemudian
menggugurkan tebing gunung disamping kanan kirinya untuk mengurugnya sehingga
tertutup rapat dan tidak bakal ada orang yang mengenali dimana Prabu Rahwana
dikuburkan. Selesai melaksanakan tugasnya Anoman kembali ke Alengka menghadap
melapor kepada Ramabadra.
17
PATI
OBONG
Shinta
terpaksa berbicara terus terang kepada Ramabadra suaminya, bahwa dia sudah
tidak bisa melanjutkan hidup bersama sebagai suami isteri. Shinta minta dicerai
kepada suaminya. Tetapi apa jawaban Ramabadra, dengan marah dia katakana bahwa
Shinta adalah milik Ramabadra baik raga maupun nyawanya, sebab semuanya telah
dibelinya pada sayembara puluhan tahun yang lalu, bahkan sempat meluncur
kata-kata menghina kepada Shinta isterinya,
…..”perempuan kotor macam kamu tidak usah
banyak bicara, dan pergaulanmu dengan Rahwana telah meracuni hidupmu sehingga
kamu berusaha melupakan suamimu, mestinya hukuman patut kamu terima, beruntung
kamu aku masih sabar akan sikapmu”…..
Demikian awal perselisihan mereka setelah
Ramabadra mengucapkan kata-kata yang menghina dan merendahkan martabat Shinta
sebagai wanita.
…..”kakanda Ramabadra, ketahuilah bahwa hingga
detik ini keadaanku masih suci, Prabu Rahwana adalah benar-benar seorang raja
yang bijaksana dan tidak pernah beliau berbuat sembrono apalagi menyentuhku
seperti yang kakanda tuduhkan, etikadnya baik dan benar-benar ingin menolongku
dari….!”…..
….”aah, sudah-sudah tidak ada guna
penjelasanmu bagiku,”…..Ramabadra memotong pembicaraan Shinta.
Shinta mencoba ingin menjelaskan semua duduk
permasalahannya, mengapa dia sampai kenegeri Alengka tapi Ramabadra yang
diselimuti kecemburuan tidak mau mendengarkannya. Shinta akhirnya buntu untuk
mendapatkan kebenaran dan mencari kesepakatan dengan Ramabadra.
Kembali lagi
dengan ketidak berdayaannya sebagai wanita yang terbelenggu oleh tradisi pada
jaman itu, bahwa status seorang isteri adalah milik suami yang pengertiannya
disamakan seperti layaknya harta benda atau budak belian, maka Shinta akhirnya
mengambil satu keputusan agar jiwa dan raganya terbebas dari cengkeraman
Ramabadra yaitu dengan melakukan Pati Obong, lebih baik mati dari pada kembali
kepada Ramabadra yang telah menghina dan bakalan membelenggu kehidupannya.
Maksudnya ini
Shinta sampaikan kepada Anoman agar selanjutnya agar dilaporkan kepada
Ramabadra.
……”ah, apakah dinda Shinta berani
melakukannya, perempuan macam dia itu licik sepertinya ingin menggertak agar
aku iba padanya dan melupakan semua perbuatannya, Anoman turuti saja
kehendaknya paling-paling dia sebentar lagi berubah pendiriannya, disitulah aku
akan mendapatkan kepastian akan kesuciannya.”…..
Anoman, Lesmana, Wibisana dan para kesatria
yang hadir disana tampak terperanjat mendengar tanggapan Ramabadra terhadap
niatan pati obong Shinta. Tapi semuanya diam membisu karena segan. Hari itu
juga Anoman memerintahkan prajurit-prajurit pekerja untuk mempersiapkan
kayu-kayu bakar perlengkapan untuk upacara pati obong. Kali ini tak seperti
biasanya dalam segala persiapannya, berbeda pada upacara-upacara untuk
pembakaran mayat. Dibuatkannya panggung pembakaran untuk Shinta dengan dihiasi
penuh dengan bunga-bunga, tumpukan kayu bakar dipilih khusus dari kayu cendana
dan masih ditaburkan serbuk kemenyan wangi dari Gangga.
Setelah segalanya
siap Anoman kemudian datang menjemput Shinta dipesanggrahan dan katanya
setengah membujuk,
…..”yang mulia Dewi, apakah pembuktian suatu
kesucian harus dengan cara-cara seperti ini, kami semua para nayaka memohon
agar yang mulia Dewi berfikir ulang dan
mengurungkan niatan ini, kami semua tidak ingin kehilangan Dewi, masih banyak
yang harus diurus negeri yang rusak ini akibat peperangan. Harapan kami Dewilah
yang bisa menyelesaikan semuanya ini.”….
Shinta sudah tidak percaya lagi omongan
dan bujukan Anoman, sebab dimatanya telah banyak bukti bahwa kaumnya Ramabadra
termasuk Anoman adalah orang-orang penganut faham yang merendahkan kaum
perempuan. Maka dengan tekat yang bulat Shinta melangkah menuju panggung pembakaran.
Tampak dibalai
pesanggrahan Ramabadra duduk didampingi Lesmana, Wibisana dan para
punggawa-punggawanya menyaksikan Shinta dengan pandangan yang acuh dan tidak
mau mendekat sepertinya mereka benar-benar menuntut suatu pembuktian akan
kesucian dari seorang Shinta. Bahkan Ramabadra mengatakan,
….”para Dewa akan menyaksikan peristiwa ini,
api tak akan menjilatmu bila kesucian benar-benar ada pada dirimu, dan aku
ingin kebenaran yang sesungguhnya.”….
18
GEGER
JONGGRING SALOKA
Suasana
dipuri Kadewatan tampak sunyi sepi setelah prahara yang terjadi dua hari yang
lalu, pintu gapura Jonggring Saloka tampak semlah dan rusak sepertinya habis
dibuka paksa. Kejadiannya pada waktu itu adalah saat Batara Yamadipati sedang
ditugasi Batara Guru untuk mencabut nyawa Shinta yang sedang menjalani pati-obong
sebagai bukti kesuciannya dihadapan suaminya. Waktu itu Ramabadra sang suami
menyaksikan jauh dibawah panggung pembakaran mayat dengan pandangan dingin. Termasuk Trijata,
Anoman, Lesmana dan seluruh pasukan Ayodya dan sebagian rakyat Alengka
menyaksikan tragikomedi ini dengan perasaan haru dan ketidak-relaan. Tampak
diwajah-wajah mereka kesedihan, karena ditinggal Shinta yang mereka sayangi.
Mengapa keputusan konyol semacam ini mesti terjadi. Sepertinya ada protes
didalam batin mereka tentang keadilan. Apakah bukti kesucian harus ditebus
dengan kematian, dan apakah diri Ramabadra merasa sudah paling suci, karena
penyebab nekatnya Shinta melakukan pati-obong karena dia, yang menyangsikan
kesucian Shinta selama tinggal di Alengkadiraja?
Anoman sang putra
Batara Guru menjadi tampak bodoh, ndlongob, bagaikan robot, bahkan ia tanpa
sadar malah maju melangkah membantu
menyulutkan api pada tumpukan kayu bakar untuk pelaksanaan pati-obong Shinta.
Dari sekian banyak orang yang hadir disitu sepertinya tidak ada tindakan untuk
menolong atau mencegah laku bunuh diri itu, eeh demi rasa kemanusiaan atau rasa
keadilan, sama sekali tidak ada tercermin diwajah mereka, yang tampak adalah
kecemasan dan kebingungan semata.
Jauh disana
gunung Rahtawu, rupanya Prabu Rahwana masih hidup berkat ajian Pancasona karena
tertolong ada binatang rayap-kayu yang membangun sarangnya merambat ketelapak
kakinya yang sudah mulai membusuk. Sarang tanah yang menyentuh tubuhnya
membuatnya ajian Pancasona berfungsi kembali, dan beberapa menit kemudian tubuh
Prabu Rahwana utuh kembali, serpihan daging dan tulang yang berceraiberai
kemudian menyatu lagi dan Prabu Rahwana hidup kembali. Nyawanya sulit
dipisahkan dari jasadnya selagi ajian Pancasona masih berada didalam tubuhnya,
meskipun raganya pisah terburai atau lumat jadi debu.
Bersamaan
meletusnya gunung berapi Rah Tawu, menimbulkan terjadinya gempa bumi, yang
berakibat merekahnya tanah, Prabu Rahwana beruntung kedua kalinya, dia berhasil
membebaskan diri dari jepitan anak gunung Rah Tawu yang ditimpakan Anoman
padanya, Prabu Rahwana selamat maka Prabu Rahwana dengan tubuh yang masih lemah
dan nyeri pada bekas luka didada akibat terkena panah Guhawijaya milik
Ramabadra, cepat-cepat Prabu Rahwana menyelamatkan diri dari ganasnya letusan
gunung Rahtawu, lahar bersama awan panas muntah dari kawah gunung. Dengan
segala kekuatannya Prabu Rahwana berlari meninggalkan keganasan Rahtawu, ia
terus berjalan terhuyung-huyung menuruni perbukitan menuju Alengka.
Didalam
perjalanan, Prabu Rahwana berpapasan dengan Batara Yamadipati sedang berjalan
terburu-buru, tampak ditangannya sedang membawa sesuatu, yah itu adalah nyawa
Shinta. Prabu Rahwana terkejut melihatnya, hatinya risau campur gusar setelah
mengetahui nyawa Shinta berada ditangan Batara Yamadipati, timbul kecurigaan
dan pikirannya terbayang wajah Shinta yang ia cintai, muncul kekawatiran yang
amat sangat akan keselamatan Shinta. Dimanakah Shinta sekarang dan apa yang
terjadi padanya?
Tanpa berpikir panjang
segera Prabu Rahwana berbalik mengejar Batara Yamadipati dan memintanya untuk mengembalikan nyawa Shinta
ke jasadnya. Tapi Batara Yamadipati menolaknya, bahkan bergegas lari
meninggalkannya dengan cepat naik kelangit Kadewatan, dengan erat-erat dibawanya
nyawa Shinta ke puri Kahyangan dan sedianya akan menuju keruang sidang
peradilan dewata. Keburu Prabu Rahwana menyusul mengejarnya dan berusaha
merebutnya, namun Batara Yamadipati lebih gesit dari pada Prabu Rahwana yang
masih terluka, segera ia masuk kedalam puri Kadewatan maksudnya mau minta
bantuan Batara Guru, maka secepatnya Batara Yamadipati mencoba menahan Prabu
Rahwana dengan menutup pintu gerbang Jonggring Saloka.
Dengan
tertatih-tatih Prabu Rahwana menaiki anak tangga yang menuju pintu Jonggring
Saloka dan mendobraknya sehingga pintu menjadi terbuka dan rusak berantakan,
Batara Yamadipati belum sempat masuk ke ruang sidang peradilan dewata keburu
tertangkap oleh Prabu Rahwana, maka terjadilah perkelahian seru antara
keduanya. Prabu Rahwana berusaha merebut nyawa Shinta dari tangannya. Batara
Yamadipati mempertahankannya, tapi akhirnya ia kalah dan Prabu Rahwana berhasil
merebut nyawa Shinta, kemudian menyadera Batara Yamadipati dan serta merta
dengan paksa menggelandangnya kembali ke Mayapada dimana jasad Shinta berada.
Shinta tergolek mati lemas diatas panggung pembakaran mayat di Alengka. Api
mulai melalap bunga-bunga tabur mayat disekelilingnya dan……….!!
Kadewatan
Jongring Saloka geger stelah mengetahui keributan itu menjadikan Batara Guru marah
dan segera memerintahkan Delapan Laskar Dewa untuk menangkap Prabu Rahwana
karena berbuat keonaran, tetapi secara kebetulan Sang Hyang Tunggal menyaksikan
peristiwa itu kemudian mencegah niat Batara Guru untuk menangkap Prabu Rahwana
dan memberi kesempatan Rahwana untuk lolos bersama Batara Yama sebagai
tawanannya.
Hari semakin
gelap, Prabu Rahwana dan Batara Yamadipati telah sampai di Alengka, dari langit
tampak dibawah seperti ada api unggun yang dikerumuni kumpulan manusia secara
melingkar, dan semakin dekat tampak jelas rupanya bukan api unggun pramuka
tetapi kobaran api menggila pada panggung pembakaran mayat. Ditengah tergolek
jasad putrid ayu Shinta dikelilingi api yang siap menjilatnya. Prabu Rahwana
menarik Batara Yamadipati untuk turun mendekat, kedatangannya tidak ada orang
yang melihatnya, dipaksanya Batara Yama untuk menghidupkan kembali Shinta dari
kematiannya, Batara Yama terpaksa menurutinya, setelah nyawa Shinta masuk
kejasadnya tampak kemudian Shinta kembali bergerak bernafas dan akhirnya hidup
kembali. Prabu Rahwana sangat gembira dan menangis haru.
Diam-diam Batara
Yama mundur menyelinap melarikan diri sebelum Prabu Rahwana mengusirnya,
bergegas ia pulang naik ke Kadewatan untuk melapor pada Batara Guru. Api
semakin berkobar dan Shinta belum sadarkan diri, Prabu Rahwana melihat Shinta
dalam bahaya, segera ia berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya. Dengan
kesaktiannya dia kemudian menjilma menjadi kabut yang dingin dan dengan sigap
melindungi Shinta dari amukan api. Deras airmata cintanya Prabu Rahwana kepada
Shinta, keluar mengucur menyirami sekujur tubuh Shinta sehingga menjadi basah
dan membebaskan tubuhnya dari jilatan api yang mulai merambah mendekatinya.
Shinta menjadi sejuk dan tidak merasakan panasnya api, meskipun bangunan panggung
mulai terbakar runtuh dan kemudian menimbunnya, dengan sigap Prabu Rahwana
melindunginya.
Malam semakin
lemah, sang surya mencoba mengintip diufuk timur sepertinya menunggu aba-aba
kokok ayam jago, memberi isyarat agar sang surya segera melangkah keluar untuk
menerangi alam jagat-raya. Api panggung pembakaran mayatpun sudah padam,
tinggal bau wangi asap arang yang masih menyengat. Onggokan abu dan arang kayu
cendana tampak menggunung, Anoman diserahi tugas untuk mengumpulkan sisa abu
dan tulang belulang majikannya Shinta. Dengan hati-hati disingkirkannya
sisa-sisa arang yang telah padam dan dikais-kaisnya abu sisa pembakaran sedikit
demi sedikit disisihkan untuk mencari abu dan tulang belulang mayat Shinta.
Makin dalam dan semakin kedalam, terasa tangannya menyentuh sesuatu yang aneh.
Terkuak dari onggokan abu kain kafan putih tampak kepermukaan, Anoman semakin
penasaran ingin tahu, dengan cepat ditiupnya abu pembakaran dengan
kesaktiannya, dengan sekejap mata maka terkuaklah semakin jelas kain-kafan putih
seluruhnya beserta empunya yang terbungkus yaitu Shinta. Seluruh raganya masih
utuh tidak ada cacat sedikitpun, matanya masih terpejam kondisi tubuhnya lemah
dalam keadaan tidak sadarkan diri. Anoman sangat bergembira melihat majikannya
selamat dari api maut, maka cepat-cepat mengangkatnya keluar dan membawanya
kebalai-balai Taman Soka dimana Ramabadra sedang menunggunya.
Dari atas langit
sana dibalik awan, Prabu Rahwana memperhatikan Shinta yang telah terselamatkan
dari kematian, ada perasaan lega dihati Rahwana karena telah bisa berbuat
sesuatu yang bermanfaat guna menyelamatkan jantung hatinya karena begitu besar
cintanya kepada Shinta, meskipun hati dan raga Shinta tidak pernah bisa ia
miliki. Prabu Rahwana adalah sosok pencinta sejati. Rahwana ingat kata-kata
Togog, sewaktu ia gandrung wuyung kepada Shinta di Taman Soka, akan tetapi
cintanya bertepuk sebelah tangan. Prabu Rahwana menangis mengadu kepada Togog
punokawannya. Dan Togog menghiburnya serta memberikan nasehat agar Prabu
Rahwana reda emosinya.
……“Gusti, tahukah paduka apakah itu yang
dinamakan cinta?”…..
dalam tangis hati Prabu Rahwana ketawa
terbahak-bahak, ketawanya adalah ketawa hati yang kesal,
…”kamu
ini sedang meledek aku yang sedang patah hati?”.....,
Togog melanjutkan penjelasannya,
….”yang
namanya cinta itu adalah pekerjaan jiwa yang besar dan agung!.... kalau cinta itu berawal dan berakhir pada
Tuhan Yang Maha Kuasa, maka cinta pada yang lain hanya upaya menunjukan cinta
pada-Nya, pengejawantahan ibadah hati yang paling hakiki yaitu, selamanya
memberi yang bisa kita berikan, selamanya membahagiakan orang-orang yang kita
cintai, dengan begitu kita tak perlu kecewa atau terhina dengan penolakan saat
kasih kandas karena takdirnya. Orang yang patah hati itu karena mereka itu
tidak mengerti posisinya, posisi jiwanya yang salah, dia mencintai seseorang
karena menggantungkan harapan kebahagiaan hidup dengan hidup bersamanya! Maka
ketika cintanya tertolak, itu lantas menjadi sumber kesengsaraan. Itu bukan
cinta namanya, karena dia punya pamprih yaitu menggantungkan sumber
kebahagiaannya pada kenyataan bahwa orang lain mencintainya!”…..
dan tutur Togog selanjutnya,
…..”Pecinta
sejati selamanya hanya bertanya, apakah yang akan kuberikan? tentang kepada siapa sesuatu diberikan, itu
adalah sekunder!...Nah, bila paduka bisa menjalaninya maka jiwa paduka
akan tenteram dan mendapatkan kebahagian sejati yang tiada taranya,”…..
Wah, hebat nasehat Togog ini, terimakasih!
Begitu dalam hati Prabu Rahwana membenarkan nasehat-nasehat punokawannya yang
selalu setia mendampinginya dalam suka maupun duka. Maka bergegas Prabu Rahwana
terbang meninggalkan Shinta yang sedang dirawat dibalai-balai Taman Soka oleh
Ramabadra yang didampingi Anoman dan Trijata dibantu adiknya Wibisana. Ia pergi
berniat mencari Togog dipadepokannya.
Jongring Saloka,
Batara Guru tidak bisa berbuat apa-apa begitu Sang Hyang Tunggal mencegahnya
untuk menangkap Prabu Rahwana. Malahan Batara Guru diperintahkan untuk
memanggil Ismaya (Semar), Antaga (Togog) dan Delapan Laskar Dewa yaitu Batara
Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Bayu, Batara Cakra, Batara
Baruna dan Batara Brama untuk datang ke Kadewatan pada saat bulan purnama pekan
depan, Sang Hyang Tunggal akan mengadakan pertemuan dengan seluruh para dewata,
temanya membahas permasalahan tugas-tugas para dewa mengelola kehidupan di
Mayapada serta persiapan-persiapan menghadapi bangkitnya Prabu Rahwana kembali.
Maka selanjutnya Batara Guru memanggil Batara Narada untuk melaksanakan
perintah Sang Hyang Tunggal untuk menjemput para dewa agar datang pada rencana
dan waktu pertemuan yang telah ditentukan.
19
PELELANGAN
BUDAK BETINA
Shinta
akhirnya sadar, dibukanya matanya, pandangannya masih kabur dan tampak
remang-remang orang-orang yang pernah dekat dengan dirinya pada duduk
mengelilinginya, tapi meskipun kurang jelas pandangannya ia tahu siapa yang ada didekatnya. Didekat kepalanya adalah
Ramabadra suaminya tampak sedih menyesali akan sikapnya yang keliru selama ini
berprasangka buruk terhadap Shinta isterinya dan membiarkan isterinya melakukan
pati-obong sebagai bukti akan kesuciannya selama berada di Alengka. Kemudian
ada Lesmana yang menunduk sepertinya menahan malu karena bersalah, ada Trijata,
disebelahnya lagi ada Anoman yang tampak wajah beruknya yang berseri karena gembira,
mengetahui majikannya telah selamat.
Kembali Shinta
pejamkan matanya pikirannya menerawang mengingat kemasa lalu, Shinta sangat
sedih memikirkan keadaan dirinya, mengapa dia diciptakan jadi seorang
perempuan. Jadi seorang perempuan itu ternyata sangat berbeda dengan jadi
seorang laki-laki. Perempuan setelah dewasa tidak bisa merdeka didalam
kehidupannya, terkekang dan bahkan dipingit setelah beranjak perawan. Seorang
perawan dibatasi geraknya, dan yang paling menyakitkan dan menyedihkan adalah
jadi perempuan hidupnya harus nrimo dadi wong bodo, cukup hanya tahu
kebutuhan dapur, tidak perlu bisa menulis, tidak bisa membaca apa lagi untuk
belajar ilmu pengetahuan. Warisan adat dan budayalah pada jamannya yang
mengkondisikan perempuan seperti itu, Shinta sangat tidak senang. Shinta
kepingin, meskipun jadi seorang perempuan mestinya juga harus bisa mengerti
sastra dan ilmu pengetahuan, jadi tidak selalu rendah dibanding para lelaki.
Tetapi kenyataan sekarang ini memang demikian, keinginan perempuan untuk bisa
maju dan setara dengan laki-laki sulit terlaksana, malah termasuk langka
kalaupun ada. Hampir sebagian besar wanita-wanita sebayanya dinegeri Mantili
tidak berbeda dengan dirinya, tidak bisa baca tulis, tahunya hanya uplek
didapur saja.
Sewaktu masih
perawan sebelum menjadi isteri Ramabadra, pernah Shinta menyampaikan keinginan
isi hatinya kepada orang tuanya yaitu Prabu Janaka untuk bisa belajar sastra
dan ilmu pengetahuan seperti kaum laki-laki. Tapi tidak mendapat respon dari
orang tuanya, malahan Prabu Janaka kukuh memegang erat adat warisan budaya yang
diterima dari leluhurnya bahwa, seorang perempuan itu tidak perlu dan tidak ada
manfaatnya belajar sastra, toh akhirnya ya hanya mengolah kebutuhan dapur saja
…. “Shinta, kamu anak perempuanku satu-satunya
yang aku sayangi, janganlah berpikir yang neko-neko, jangan pula melanggar
adat, sehingga membuat orang tuamu ini menjadi malu, ee.. punya anak perempuan
satu saja ternyata mursal dan mulang sarak, keluar dari kebisaan adat…. Shinta,
lebih baik kamu belajar ubeng ingering bale omah sehingga dikemudian hari kamu
bisa menjadi wanita yang pandai mendidik anak, yang bisa menjadi kebanggaan
masyarakat semua, dan membuat harumnya nama orang tuamu. Nah, Shinta percayalah
nasehatku dan saya akan meluluskan segala permintaan barang-barang yang berguna
untukmu, kecuali usulanmu tadi”……..
Demikian jawaban dari Prabu Janaka, padahal harapan Shinta, ia tahu kalau orang
tuanya adalah seorang raja yang berkuasa, kaya raya dan tentunya bisa mencukupi
segala kebutuhannya belajar, dan lagi harapannya bisa menjadi katja benggala
dan tuladaning liyan sehingga perempuan-perempuan lainnya akan mengikuti
untuk ikut belajar sastra. Dan akhirnya derajat perempuan tidak selalu dibawah
dan kalah kepandaiannya dengan laki-laki.
Beberapa tahun
kemudian, Prabu Janaka berkeinginan mencarikan jodoh yang tepat buat Shinta
putrinya. Sang Prabu Janaka berpengharapan untuk mendapatkan seorang menantu
satria yang gagah perkasa, karena Prabu Janaka punya pamrih nantinya sang
menantu untuk diajak bekerja sama berperang menundukan Prabu Subali yaitu raja
beruk yang sakti mandra guna yang berambisi untuk menguasai dunia, juga
pamrih-pamrih yang lain ialah ingin memusnahkan faham-faham yang berlawanan
dengan ideologinya, sasarannya adalah Rama Bergawa yang selama ini dianggap
berbahaya bagi kerajaan Mantili.
Kriteria calon
yang terpilih adalah, diantaranya adalah seorang kesatria, yang lebih perkasa
atau minimal sama dengan dirinya. Cara menyeleksinya yaitu dengan mengadakan
sayembara. Barang siapa diantara kesatria-kesatria yang mengikuti sayembara ini
mampu menarik busur wasiat milik Prabu Janaka pemberian dari Sang Hyang
Girinata yang beratnya sepuluh kali lipat berat gajah tua. Maka sang pemenang
akan dikawinkan dengan Shinta putrinya.
Shinta terkejut
dan tidak senang mendengar rencana orang tuanya yang tanpa kompromi, berniat
mengadakan sayembara tujuannya mencarikan calon suami untuk dirinya. Tapi
dibalik sayembara itu sebenarnya adalah ambisi-ambisi Prabu Janaka untuk
mengukuhkan kekuasaannya dengan mengorbankan putrinya dijadikan obyek guna
meraih tujuannya. Shinta hatinya sedih dan kecewa ditakdirkan jadi perempuan
yang selalu dikekang dan dicencang, dan harus menerima saja keputusan adat dan
budaya yang berlaku.
Nasib Shinta tak
ubahnya sama dengan Dewi Sukesi puteri dari Prabu Sumali raja Alengka.
Dewi Sukesi juga dijadikan obyek atau umpan pada sayembara mencari calon
menantu, demi mempertahankan gengsinya dimata negeri-negeri seberang. Berbagai
cara Dewi Sukesi mencoba menghindar dari sayembara ini dengan memperberat
persyaratan sayembara, yangmana semula persyaratan hanya pergulatan melawan
kesaktian Ditya Jambumangli, kemudian ia
minta ditambahkannya persyaratan menebak teka-teki tafsir ilmu “Sastra
Jendra Hayuningrat”. Dewi Sukesi punya pengharapan akan gagalnya sayembara
ini, masalahnya ia menginginkan kemerdekaan dirinya dan juga bagi kaumnya,
dimana ia bebas bisa memilih dan menentukan sendiri calon suaminya yang
dilandasi dengan rasa cinta yang tulus keduanya. Akan tetapi takdir menentukan
lain, akhirnya sayembara dimenangkan oleh orang yang sudah tua yang pantas
disebut kakek baginya yaitu Resi Wisrawa,
….”Sastra Jendra Hayuningrat yang maknanya
adalah manusia bila ingin selamat dalam hidupnya, didunia dan akhirat haruslah
memahami kedudukan sembah antar manusia didalam pergaulan, dan hirarki
transendentalnya dengan sembah terhadap Yang Maha Kuasa. Yaitu bekerja secara
dedikatif dibidangnya, yakni salah satu bidang yang membentuk konfigurasi
semesta…dst…dst”
mendengar penjelasan tersebut Dewi Sukesi
mengiyakan akan kebenaran teka-teki tersebut, dan tumbuh rasa simpati kepada
sang Resi. Tetapi Resi Wisrawa ternyata ia hanya diutus oleh Prabu Danaraja
dari Lokapala yang puteranya sendiri, untuk mewakili dirinya memperebutkan Dewi
Sukesi pada sayembara tersebut. Dewi Sukesi sangat kecewa, baginya ini adalah
merupakan pelecehan dan penghinaan untuk dirinya. Tapi apa dikata, ketidak
berdayaan terpaksa ia hanya bisa pasrah. Senjata terakhir pembelaan dan
pemberontakan batinnya yaitu kemudian dia nekat menolak dikawinkan dengan Prabu
Danaraja, dia memilih Resi Wisrawa karena dia yang mengikuti dan memenangkan
sayembara, bukan Prabu Danaraja.
Nasib yang sama
terjadi pada Dewi Tara putrinya Batara Indra, juga korban ambisi orang
tuanya yang tidak bisa mengatasi kekacauan Mayapada, yaitu menumpas Mahisasura
dan Jatasura raja siluman dari Guakiskenda yang selalu mengganggu ketenangan
para dewa-dewi di Kahyangan. Dengan memperalat Subali dan Sugriwa untuk
menumpas kedua siluman tadi, dengan iming-iming hadiah bila salah seorang dari
Subali atau Sugriwa berhasil membunuh kedua siluman tadi dan kembali dengan
selamat, maka akan diberi hadiah seorang putri dari Kahyangan yaitu Dewi Tara.
Berangkatlah mereka berdua menuju Guakiskenda. Dengan kesaktiannya Subali-lah
yang akhirnya berhasil membunuh kedua siluman itu. Perselisihan faham antara
Subali dan Sugriwa sehingga menjadikan pertengkaran dua bersaudara sekandung
itu berkepanjangan, hanya untuk memperebutkan Dewi Tara. Dewi Tara-lah akhirnya
yang menjadi korban, menjadi piala bergilir pemuas nafsu dari kedua orang yang
bernama Subali dan Sugriwa. Melihat kejadian tersebut, perempuan-perempuan pada
jaman itu jelaslah mereka dikondisikan tak lebih atau setara dengan barang atau
binatang, direndahkan derajadnya, dibelenggu kemerdekaannya, terabaikan
hak-haknya, tak lebih sebagai benda, terlantar, tersiksa, terperas tenaganya
seperti sapi. Menyedihkan, suatu tragedy yang maha tragis.
Peristiwa Cupu
Manik Astagina yang dimiliki Dewi Windradi telah membawa petaka,
kecemburuan Resi Gotama kepada isterinya yaitu seorang bidadari dari Kahyangan
bernama Dewi Windradi. Permasalahannya adalah Dewi Windradi tidak mau
memberitahu asal-usul Cupu Manik Astagina yang ia miliki. Cupu Manik Astagina
adalah hadiah dari Batara Surya pacarnya dulu sebelum ia kawin dengan Resi
Gotama. Memang ada kesepakatan antara Dewi Windradi dengan Batara Surya untuk
merahasiakan asal usul benda tersebut, namun tidak pada makna Cupu Manik
Astagina yang mengandung ajaran-ajaran tuntunan kemanusiaan agar bisa hidup
bahagia didunia dan akhirat. Resi Gotama lebih mengedepankan rasa cemburunya
tentang asal usul benda tersebut katimbang makna atau ajaran tuntunan hidup
yang bermanfaat yang tersirat dari makna Cupu Manik Astagina. Makna dari Cupu
Manik Astagina adalah
…..”sarana kebahagian hidup manusia didunia
dan diakhirat, ada delapan syarat yang harus dikelola dengan benar, yaitu
Agama, Garwa, Putera, Kaya, Curiga (alat kerja atau persenjataan), Wisma,
Turangga (alat transportasi), Kukila (burung, melambangkan kelestarian hidup
dan lingkungan), tetapi syarat kedelapan tersebut bila salah memanfaatkan maka
petakalah yang akan didapatnya,”…..
nasehat itu tidak digubrisnya malahan dengan
teganya kemudian Resi Gotama mengurung Dewi Windradi kedalam Tugu Batu Menhir
(Lingga, tempat pemujaan) kemudian membuangya keluar jauh dari pertapaan
Sukendra . Disini terlihat bahwa perempuan tidak dihargai baik privasinya
maupun suara-suaranya (ajaran-ajaran Cupu Manik Astagina), dan akhirnya ia
dikurung sebagai pelampiasan kemarahan karena cemburu, penganiayaan itu disaksikan oleh ketiga anaknya yang masih
kecil-kecil (Anjani, Subali dan Sugriwa) ini merupakan contoh yang tidak
mendidik kepada anak-anak yang mencintai ibunya.
Anoman lahir dari
perbuatan haram dari Batara Guru yang memperkosa Ratna Anjani dikolam
Mandirda. Batara Guru dalam perjalanannya ke Mayapada kebetulan melewati
Mandirda dan berhenti karena melihat ada orang yang sedang tapa kungkum
disebuah kolam, maka ia dekati. Batara Guru terperanjat mengetahui yang tapa
kungkum adalah seorang wanita muda tanpa busana, kulitnya kuning mulus,
tubuhnya tinggi semampai, payudaranya padat berisi sehingga Batara Guru tergoda
dan bangkit nafsu birahinya, maka terjadilah perbuatan yang tidak semestinya sehingga
akhirnya Ratna Anjani hamil. Sembilan bulan kemudian melahirkan seorang bayi
laki-laki dan di beri nama Anoman atau Anjaniputra.
Mungkin diluar
sana masih banyak lagi Shinta-shinta dan Sukesi-sukesi yang yang bernasib
seperti itu, perempuan derajatnya disamakan dengan barang atau binatang yang
dengan seenaknya bisa diperjual belikan atau dilelang seperti dipasar ikan.
Istilahnya bukan dilelang tetapi lebih “sopan” sedikit yaitu disayembarakan.
Sama tidak beda! Perempuan dikondisikan sebagai kaum lemah, kaum bodo yang
pendek pikirannya dan kaum nerimo dll. Kemudian dibakukan predikat karangan
tersebut seolah-olah memang itulah kodrat jadi perempuan.
Tapi sebenarnya
adatlah yang mengurung dan menjadikan perempuan menjadi budak laki-laki
turun-temurun berjalan hingga sekarang. Perempuan dibelenggu dengan tata cara
adat, banyak yang tidak diberi kesempatan maju kemuka dilapangan masyarakat,
banyak yang baginya diharamkan ini dan diharamkan itu. Adat yang berlaku hanya
berpihak kepada laki-laki saja. Padahal secara kwalitas baik laki-laki maupun
perempuan sama saja, hanya kesempatan berkembangnya yang tidak sama. Ini tidak
adil. Mereka lupa bahwa fungsi kodrat perempuan menjadi ibu, menerima benih
anak kemudian mengandung anak, melahirkan anak, menyusui anak, memelihara anak,
fungsi ini sama pentingnya dengan tugas laki-laki, tapi mereka kurang dihargai,
malahan dengan sombongnya laki-laki mengatakan bahwa laki-laki maju
kepeperangan adalah butuh modal keberanian untuk menghadapi bahaya yang lebih
besar, lalu apakah yang perempuan bisa perbuat, bahaya apa yang perempuan
hadapi?
Shinta masih
terbuai dalam lamunannya, tiba-tiba ia mendengar bisikan suara misterius
….”hentikan Shinta, hentikan…kamu harus berani
memulai untuk menghentikan ketidak adilan ini, dimata Tuhan Yang Maha Kuasa
manusia itu sama derajadnya, baik itu laki-laki maupun perempuan, yang berbeda
adalah darma-darma (amalan-amalan) yang mereka upayakan semasa hidup
didunia…..keangkara murkaan manusia itu bisa dihentikan oleh kesadaran manusia
sendiri, maka dari itu mulailah dari dirimu….memang didunia ini ketidak adilan
akan selalu muncul silih berganti hilang satu tumbuh berikutnya…. Pada jaman
yang akan datangpun masih akan terjadi ketidakadilan ini dimana perempuan
selalu ditindas, seperti Ambika, Ambiki dan Ambaliki……”…..
Memang benar pada
jaman Mahabarata, perempuan-perempuanpun masih diperjual belikan atau sebagai
umpan dalam sayembara atau pelelangan untuk ambisi-ambisi keangkara-murkaan
untuk menguasai dunia. Diramalkan Ambika, Ambiki dan Ambalika yang
menjadi korban dalam sayembara Prabu Darmamuka ayahnya yaitu raja Srawantipura,
dan pemuda Dewabrata dari Astina yang impoten berhasil memenangkan sayembara
tersebut dan kemudian ketiga isterinya dibawa ke Astina. Dia mengikuti
sayembara tersebut hanya untuk menutupi kelemahan-kelemahan syahwat yang ada
pada dirinya. Akhirnya dua dari isterinya dibagikan kepada adik-adiknya, Ambiki
diberikan Citragada dan Ambaliki diberikan Citrasena. Sedangkan Ambalika
mengalami nasib yang menyedihkan, ia dibunuh Dewabrata karena dirinya tidak
bisa melakukan sanggama karena impoten. Tragis!
Bagaimana kasus
poliandrinya Dewi Drupadi isteri Pandawa, dia dengan terpaksa harus
melayani kelima orang bersaudara Pandawa, yaitu mulai Yudistira, Bima, Arjuna,
Nakula dan Sadewa dihutan Wanamarta sewaktu dalam pengasingan. Sepertinya para
ahli filsafat dan ahli biologi sepakat mengatakan bahwa tali sex adalah salah
satu motor yang terpenting dari perikehidupan manusia, disamping nafsu makan
dan minum. Kalau tali sex diputuskan beberapa tahun saja, maka manusia umumnya
menjadi abnormal. Artinya apa, manusia akan kembali mengikuti kebebasan menurut
kodrat alam. Alam tidak mengenal moral, tali sex itu memang bukan perkara
moral, tapi tali sex adalah mengikuti kodrat, sama halnya lapar dahaga adalah
menurut kodrat. Manusia yang tidak bisa hidup secara normal, terus apa yang
terjadi dengan Pandawa dengan seorang perempuan bernama Drupadi yang terasing
dihutan gung lewang lewung selama bertahun-tahun, dimana usia mereka
masih sangat muda yang pada waktu kesexannya sedang puncak-puncaknya. Salome
jawabannya! Ah, itu pembelaan orang yang berpihak kepada Pandawa untuk
membenarkan apa yang telah mereka perbuat. Tapi kalau mau meneliti sejarah
lebih jauh kebelakang tentang adat di Gangga atau di Malabar India belakang
sana, masih ada adat budaya salome (maaf, satu lobang dipakai rame-rame) yaitu
pada malam pernikahan semua dari keluarga laki-laki dari pengantin
lelaki meniduri pengantin perempuan itu secara bergantian!
Bagaimana kisah Dewi
Prita atau Dewi Kunti, putri Prabu Kuntiboja dari Mandura dengan Dewi
Dayita, dimasa remajanya menjadi korban pelecehan Resi Dursawa, keinginannya
mempelajari suatu ilmu dan berakhir dengan hilang kegadisannya digagahi oleh
Batara Surya hingga hamil dan melahirkan Basukarna yang dikemudian hari menjadi
raja di Awangga bergelar Dipati Karna.
Kisah Dewi
Gandari, putri sulung pasangan Prabu Gandara dan Dewi Gandini, Dewi Gandari
dikecewakan Pandu yang memenangkan sayembara, tapi kemudian selanjutnya dia
diserahkan kepada Destarata kakaknya yang buta untuk dikawini, sehingga membuat
gadis ini patah hati dan Dewi Gandari bersumpah menutup matanya disaat terang
dan membukanya jika malam tiba. Dewi Gandari adalah ibu Kurawa.
Kisah Dewi
Setyawati, nama kecilnya Dewi Pujawati, putrinya Batari Darmastuti, ibunya
telah meninggal selagi Dewi Pujawati masih kecil. Bersama ayahnya Begawan
Bagaspati seorang raksasa, dan sikecil Dewi Pujawati diasuh hingga remaja.
Pemuda Narasoma atau Prabu Salya raja Mandaraka bertemu Dewi Setyawati dan
keduanya saling mencintai, tetapi pemuda Narasoma malu mempunyai mertua seorang
raksasa, tanpa sepengetahuan Dewi Setyawati pemuda Narasoma membunuh Begawan
Bagaspati. Dewi Setyawati sangat kecewa dan sedih atas tragedy ini, dalam
keadaan mengandung ia tidak berdaya dan hanya bisa pasrah kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa. Dewi Setyawati ibu yang sangat melindungi dan memanjakan ketiga
putrinya dan kedua puteranya, yaitu putri sulungnya bernama Erawati yang
kemudian menjadi permaisuri Prabu Baladewa raja Mandura, putri yang kedua
adalah Surtikanti yang kemudian jadi permaisurinya Dipati Karna, dan sibungsu
Banowati jadi permasurinya Prabu Suyudana raja Astinapura. Dua putera lelakinya
yaitu Burisrawa dan Rukmarata.
Dan menyedihkan
lagi nasib seorang pembantu seperti Nyi Sagupi. Dia seorang pembantu di
keraton Mandura yang mahir membawakan kidung-kidung sehingga memesona banyak
orang. Termasuk tiga putera Prabu Kuntiboja yaitu Basudewa, Arya Rukma dan
Urgasena, dimana suatu malam yang sepi secara bergiliran mereka memperkosa Nyi
Sagupi menyebabkan Nyi Sagupi hamil. Dan itu diulang dan diulang oleh ketiga
pangeran tersebut, dan Nyi Sagupi tidak berdaya untuk melawan karena mereka
adalah putera-putera seorang raja. Hasil hubungan dengan Basudewa ia melahirkan
Udawa dan Pragota, dengan Arya Rukma lahirlah Larasati, dan dengan Urgasena
lahirlah Arya Adimanggala. Akhirnya aib ini terbongkar dan Nyi Sagupi lantas
dikawinkan dengan Antagupa dengan imbalan kedudukan sebagai Demang di
Widarakandang.
Shinta masih
melanjutkan lamunannya,
…..“bagaimanakah caranya aku memulai untuk
menghentikan kepalsuan-kepalsuan ini, kalau aku mbedhal bagaimana tanggapan
masyarakat terhadapku dan juga orang tuaku pasti akan menganggap aku sebagai
anak yang durhaka, dan tidak berbakti kepada orang tua, aku masih ingat
kata-kata mbakyu Limbuk kepadaku sewaktu aku masih perawan dulu begini
nasehatnya,……Bapa dan ibu adalah merupakan lantaring urip ing ngalam donya,
siapa yang melupakan orang tuanya sama halnya melupakan Yang Maha Kuasa, oleh
karena itu berbaktilah kepada orang tuamu. Dan anak itu sebagai penerus dari
orang tua, tidak ada cinta kasih yang melebihi cinta kasih orang tua kepada
anak-anaknya. Maka dari itu orang tua berusaha mendidik dan memberi contoh
tentang udanagara (sopan santun) dan tatakrama yang baik agar ditiru oleh
anak-anaknya, dikemudian hari diharapkan anak-anaknya bisa mikul dhuwur mendhem
jero terhadap orang tuanya….. Oleh karena itu besuk kalau kamu jadi
orang tua haruslah seperti itu, dan
perlu diingat janganlah suka dan gampang nyepatani anak dengan kalimat yang
tidak baik, sebab sepatanya orang tua itu bisa numusi dan bisa juga akan
merusak rasa baktinya anak kepada orang tua…… Dan tidak kalah pentingnya
didalam memberi nama anak, pilihlah nama yang bagus, sebab nama yang disandang
itu akan dibawa sampai ke akherat nanti,”…………..
dan mbakyu Limbuk meneruskan nasehatnya kepada
momongannya Shinta,
…..”janganlah mengaku mereka sebagai orang
tuamu, dikarenakan mereka itu kaya-raya dan jadi penguasa, apapun kondisinya
orang tuamu kamu harus selalu mengakuinya. Dan juga janganlah
membangga-banggakan atau suka pamer bahwa orang tuamu kaya raya atau berkuasa,
sebab kepangkatan dan kekayaan itu bisa sirna kapan saja sebelum sempat kamu
mewarisinya,”……..
tapi mbakyu Limbuk, bagaimana pendapatmu
tentang perjodohan yang diatur oleh adat yang berlaku sekarang ini, dimana
tidak ada kemerdekaan bagi perempuan semua aturan-aturan berpihak kepada
laki-laki saja, dan jawab mbakyu Limbuk singkat,
……“Mencari jodoh janganlah memburu endahing
warna, meskipun cantik atau bagus tetapi hatinya durjana, akhirnya prahara yang
didapat dan akan dijauhi orang….terjemahkanlah sendiri maknanya”……
Guung, guung,
guuuunguonguong!!!…terdengar bunyi gong ditabuh, sebagai tanda saat sayembara
dimulai. Maka mulailah dipanggil satu persatu peserta sayembara maju ke
gelanggang untuk mencoba merentang busur wasiat milik Prabu Janaka. Sayembara
sudah hampir sepekan berjalan tapi belum ada yang berhasil memenangkannya.
Telah berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus para kesatria dan raja manca Negara
yang mengikuti sayembara ini, tetapi seorangpun belum ada yang berhasil menarik
busur itu.
Kemudian pada
hari keenam datangkah dua orang kesatria yaitu Ramabadra dan Lesmana, mereka
kakak beradik satu ayah berlainan ibu, ayahnya adalah Prabu Dasarata dan ibunya
Ramabadra bernama Dewi Ragu atau Dewi Sukasalya sedangkan Lesmana dari ibu
bernama Dewi Sumitrawati yaitu putrinya Prabu Sumaresi dari Suwelaraja.
Keduanya kesatria ini sewaktu mendaftar ikut sayembara mengaku sebagai cantriknya Resi Yogiswara
berasal dari pegunugan berniat mengikuti sayembara.
Ramabadra ikut
sayembara hanya karena dia ingin menguji kesaktiannya saja, berbeda dengan
adiknya Lesmana setelah berkesempatan melihat Shinta duduk di kursi panggung,
maka tumbuh dari dalam hatinya rasa cinta kepada Shinta. Setelah gilirannya
Lesmana gagal kemudian giliran terakhir adalah Ramabadra. Diangkatnya busur
dengan mengerahkan seluruh tenaganya, dan setelah terangkat kemudian
pelan-pelan ditariknya tali busur sehingga busur panah yang begitu besar dan
berat dapat melengkung. Dan berhasil, tepuk tangan dan sorak penonton
memecahkan kesunyian.
Kemudian raja
memanggilnya dan ditanya asal usulnya sesungguhnya, juga diminta kesanggupan
Ramabadra untuk ikut mendukung raja akan kepentingan-kepentingan politiknya,
dan Ramabadra dan Lesmana mengaku bahwa mereka datang dari negeri Ayodya,
keduanya adalah putera Prabu Dasarata, dan menyanggupi permintaan Prabu Janaka
setiap saat akan membantu bila dibutuhkan. Mendengar pernyataan Ramabadra Sang
Prabu Janaka merasa senang sekali, kemudian Prabu Janaka mengumumkan bahwa
sayembara telah dimenangkan Ramabadra dan selanjutnya Shinta dikawinkan dengan
Ramabadra pada hari yang telah ditentukan.
Terbangunlah
Shinta dari lamunannya
….”diajeng Shinta, diajeng telah selamat
berkat lindungan para dewa dari keganasan api, kini aku percaya setelah
menyaksikan kejadian ini dimana diajeng telah berani membuktikan dengan
melakukan pati obong dan terbukti masih suci, maafkanlah semua sikap kakanda
kepadamu selama ini dan janganlah ada perceraian diantara kita, marilah kita
songsong bersama-sama hari depan dengan mengisi lembaran-lembaran baru menata
kehidupan yang lebih baik,”…..
seraya menggenggam tangan Shinta kemudian
mendekat mencium keningnya. Melihat situasi ini Anoman, Trijata dan Lesmana
tahu diri dan segera menyingkir keluar.
Akan tetapi
Shinta malahan menghindar dan membalikan tubuhnya menghadap ke dinding
membelakangi sang suami Ramabadra. Mata hatinya melihat orang yang ada dihadapannya
adalah bukan suaminya lagi, bukan sigaring nyawa nya lagi, ia melihat
sosok pecundang bukan seorang kesatria dan hanya percaya pada bisikan-bisikan
setan yang mengelilinginya, sosok orang yang suka memperalat atau memanfaatkan
kesempatan dalam kesempitan atau kesusahan orang, orang seperti Ramabadra
adalah pantas mendapat sebutan raja tega yang tidak perlu dibelani
lagi.
20
SANG
PUJANGGA
Setelah
pertempuran dengan Alengka dimenangkan oleh Ramabadra, maka Ramabadra
menobatkan dirinya sebagai Maharaja di Ayodyadiraja dengan gelar Prabu Rama
Wijaya. Sedangkan adiknya YMT raja Barata kemudian diangkat sebagai raja di
Ayodya dengan gelar Prabu Barata. Dan Alengka tapuk kerajaan diserahkan kepada
Wibisana dan negeri tersebut menjadi bagian jajahan Ayodyadiraja. Dipanggilah
para pujangga-pujangga untuk mengarang kisah-kisah kepahlawanannya sewaktu
menundukkan Alengka. Pujangga-pujangga yang tidak mendukung kebijakan Prabu
Rama Wijaya diultimatum akan dimasukan penjara.
Dan pada waktu
pujangga dari India yaitu Walmiki apakah ia juga ada keterpaksaan atau tekanan
didalam menyusun ceritera Ramayana? Satu tahun selesailah karya sastra besar
karangannya diterbitkan dengan judul Ramayana itu yang kemudian terkenal
dan menyebar keseantero dunia dongeng. Dan mereka yang termasuk golongan Prabu
Rama Wijaya sangat senang dan puas setelah ikut membacanya.
Prabu Rama Wijaya
tidak perduli akan tuduhan dari sebagian orang mengatakan bahwa didalam
mengatur atau menyusun sebuah salsilahnya, tidak lepas dari pamrih pribadi atau
dengan maksud mengedepankan kepentingan politiknya. Para pujangga yang menyusun
sejarah tersebut mengakui, meskipun tidak terang-terangan, telah dibuat
rekayasa bahan-bahan sejarah yang telah terkumpul dengan membuang bahan-bahan
aselinya, sehingga penafsiran dan penyimpulan para pemerhati akan berpihak
kepada Prabu Rama Wijaya. Lebih-lebih pemerhati sejarah beberapa generasi
berikutnya yang hidup tidak semasa dengannya, yang tidak tahu menahu asal
usulnya terpaksa hanya mengaminkan saja.
21
SEMAR
KEPILUT
Padepokan
Karangtumaritis dimana ki lurah Badranaya atau Semar tinggal. Semar sedang
menerima tamu yaitu Batari Sri, Resi Wasista dan Resi Mitra dari Gangga,
sepertinya ada pembicaraan serius antara mereka. Semar kena bujukan Batara Sri,
dikatakannya bahwa Rahwana masih hidup dan sekarang dalam perlindungan Batara
Guru di Jonggring Saloka.
….”Tidak ada manusia di Mayapada ini yang bisa
melawan kekuatan Jonggring Saloka, kecuali kakang Semar dan kakang Togog.
Batara Guru itu sebagai cahaya Ciwa yang bertugas melindungi kehidupan seluruh
Mayapada, tapi saat ini sedang kena godaan dan dirinya telah dikuasai oleh
Rahwana, yang punya ambisi ingin menguasai kehidupan di Mayapada ini,…..oleh
karena itu kedatanganku kemari ingin meminta bantuan kakang Semar untuk
membantu kami merebut kembali Kadewatan Jonggring Saloka dari cengkeraman
keangkara murkaan Rahwana.”….
Dan Semar setelah mendengar penjelasan mereka
itu, timbul kemarahannya dan menyesalkan perilaku saudaranya yaitu Manikmaya
atau Batara Guru, dan kemudian kepada Batara Sri ia menyatakan kesanggupannya
untuk membantu merebut kembali Jonggring Saloka, serta ingin menyadarkan Batara
Guru dari segala kekeliruannya, maka katanya
…..”baiklah aku akan ikut kalian, kurang ajar siadi
Guru itu, akan aku kasi pelajaran padanya dan cepat bawa aku kepadanya akan aku
hajar dia agar sadar akan kesalahannya….dan Rahwanapun juga akan aku musnahkan
hingga jadi debu!”…..
Batara Sri
tersenyum dan saling berpandangan penuh arti dengan Resi Wasista dan Resi
Mitra, dan katanya lagi
…..”terimakasih kakang Semar, pada saatnya
nanti aku akan kabari, saat ini kami sedang melakukan persiapan wadya bala
untuk menyerang Jonggring Saloka, rencana penyerangan akan dipimpin Prabu Rama
Wijaya,…..tapi ada kendala untuk mengirim wadyabala tersebut kealam kadewatan
sebab mereka adalah manusia-manusia biasa yang tidak mungkin bisa naik
kekayangan dengan badan wadagnya kecuali ruh-ruh atau nyawa mereka yang sudah
meninggal……Hanya manusia-manusia yang diberikan kelebihan atau punya ilmu yang
tinggi yang bisa menerobos kedunia Kadewatan,……..dalam hal ini bagaimanakah caranya untuk mengatasi masalah
ini, mungkinkah kakang Semar tahu jalan keluarnya? Kami mohon petunjuk kakang”…..
Semar tertawa mendengar keluhan Batari Sri dan
sekali lagi Semar menyakinkan kepada mereka bahwa dialah nanti yang akan
membawa seluruh wadyabala Prabu Rama Wijaya kealam kahyangan dan katanya,
….”tidak usah risau, aku akan bawa seluruh
wadyabalamu kealam kahyangan, serahkan saja semuanya itu kepadaku!”….
Ada pendapat orang bahwa perjalanan kealam gaib seperti ke kahyangan
adalah suatu perjalanan non fisis, dijelaskan bahwa alam non fisis itu seluas
alam fisis yang ekstensinya saling terkait erat keduanya. Yaitu selama langit
dan bumi ada, yang mana pada kejadian penciptaannya muncul bersamaan. Kedua
alam tersebut berdampingan, hanya saja umumnya manusia hanya dapat
menginderakan alam fisis, sedangkan alam yang lain tak dapat diperiksa dengan
mata kepala.
Kecuali orang-orang yang dikaruniai ‘daya linuih’ yang bisa menembus
alam non fisis tersebut. Diantaranya adalah Narada manusia yang menjadi tangan
kanan Batara Guru, kemudian Rahwana, anak-anak para Dewa dewi hasil
perkawinannya dengan manusia. Alam non fisis ada yang menyebut alam gaib yang
keberadaannya tak dapat diperiksa dengan indera mata. Seperti halnya arus
listrik, gelombang radio bisa dikatakan gaib dan masih banyak lagi.
Proses Teleportasi, demikian yang akan Semar lakukan untuk
mengirim wadyabala Prabu Rama Wijaya, yaitu dari manusia (materi) kemudian
dirubah (proses particle accelator) menjadi energi (listrik atau cahaya) yang
kemudian dikirim melalui gelombang listrik magnetik. Transfer energi dari
Jagatraya dikirim menuju Kahyangan atau sebaliknya dengan kecepatan gelombang magnetik
(gelombang mikro) adalah sama dengan kecepatan cahaya, Ayodyadiraja sampai
dengan Jonggring Saloka dibutuhkan kurang dari satu detik. Kemudian energi
dirubah kembali setelah tiba di Jonggring Saloka menjadi bentuk materi kembali
seperti semula (proses materialisasi).
Dunia Paranormal ‘daya linuih’ kasus seperti tersebut diatas
masih ada dilakukan hingga sekarang, baik yang bersifat positip untuk
penyembuhan atau yang bersifat negatip untuk mencelakakan orang, kasus Santet
dengan memanfaatkan keahlian pada proses teleportasi energi negatip maka yang
terjadi ada jarum, silet bahkan gunting bisa masuk keperut orang yang menjadi
obyek sasarannya.
Dijaman modern saat ini para ilmuwan baru bisa memanfaatkan teknologi
energi atom untuk memproduksi listrik, kemudian televisi (tranfer sinyal-sinyal
TV). Sesungguhnya materi dan energi adalah 2 bentuk berbeda dari benda,
perubahan bentuk keduanya tidak akan gagal, jika telah dicapai kesempurnaan
metodologi ilmiah serta tekniknya. Pada proses materialisasi yaitu menyusun
partikel atom yang terpencar kembali keformasi awal (proses akselatorisasi)
masih mengalami kesulitan. Terakhir sainis modern baru berhasil 60% disebabkan
berpencarnya gelombang-gelombang itu diudara.
Tiba-tiba datang Batara Narada membawa pesan Batara Guru untuk Lurah
Semar, tentang rencana pertemuan para dewa di Jonggring Saloka atas perintah
Sang Hyang Tunggal. Akan tetapi belum sempat Batara Narada menyampaikan pesan
tersebut, keburu mendapat dampratan dari Lurah Semar yang hatinya sudah tertutup
oleh hasutan-hasutan Batari Sri.
…..”pergi
dari sini sebelum aku puntir kepalamu, dan sampaikan majikanmu Batara Guru aku
akan datang untuk menghajar kepadanya,….cepat pergi atau…!”
Melihat situasi
demikian maka segera dimanfaatkan oleh Batari Sri melakukan penyerangan kepada
Batara Narada, begitu pula Resi Wasista dan Resi Mitra turun ikut membantu
mengeroyok
Situasinya semakin keruh, Batara Narada terpaksa lari menghindar dari
keroyokan mereka. Sengaja dia tidak meladeni penyerangan atas dirinya, Batara
Narada pikir ini pasti terjadi kesalah pahaman sampai-sampai Lurah Semar
berperilaku demikian terhadapnya. Maka cepat-cepat Batara Narada terbang
kembali kekahyangan untuk melaporkan kejadian yang menimpa dirinya kepada
Batara Guru.
Jonggring Saloka, Batara Guru sedang memimpin rapat dengan Delapan
Laskar Dewa. Tiba-tiba datang Batara Narada dengan tergopoh-gopoh segera
menghadap Batara Guru dan melapor kejadian yang menimpa dirinya,
….”ketiwasan
adi Guru, belum sempat aku sampaikan pesanmu kepada kakang Semar, tiba-tiba
bogem mentah bertubi-tubi datang kepadaku dari kakang Semar dengan dibantu
Batara Sri dan para Resi,….aduh adi Guru sepertinya mereka kerasukan setan
sehingga berperangai aneh dan tega menganiaya aku, yang tidak jelas alasan dan
duduk perkaranya.”….
Mendengar ada kalimat Batari Sri maka Batara
Guru langsung tanggap, maka segera diperintahkanya Delapan Laskar Dewa untuk
siaga menghadapi serangan Batari Sri sewaktu-waktu terjadi.
22
BANJIR BANDANG,
SHINTA MINGGAT
Abu
disertai lahar yang terus menerus keluar dari gunung berapi Rah Tawu diseberang
lautan dapat menyebabkan gangguan cuaca, yaitu yang bisa mempengaruhi proses
pembentukan awan. Suhu yang meningkat, dan abu yang menyebar mencapai
ketinggian ribuan kilometer hingga mencapai kawasan Mahendra yang kondisinya
saat ini gundul dan gersang. Awan abu gunung merapi Rah Tawu ini dapat
menimbulkan dua kemungkinan, yaitu bila udara mengandung banyak uap air, debu
dapat memicu terjadinya hujan, sebab dalam hal ini debu berfungsi sebagai inti
kondensasi. Namun bila kandungan uap air sedikit, debu yang bersifat
hidroskopis akan menyerap uap air dan berubah menjadi asap kabut. Akibat yang
dapat ditimbulkannya adalah terjadinya lapisan inversi, yaitu kondisi tingginya
suhu dilapisan atas dan sebaliknya lapisan bawah dingin, dalam kondisi demikian
hujan tidak mungkin turun.
Masih ingatkah
sewaktu pasukan beruk pimpinan Sugriwa membangun bendungan Mahendra Suwelogiri?
Pada saat perang berkecamuk antara Bala Rama melawan Alengka. Sugriwa
melaksanakan perintah Ramabadra untuk membuat tanggul melintas selat Mahendra
Suwelogiri guna menyeberangkan tentaranya menyerbu Alengka dalam rangka
membebaskan kembali Shinta yang menurutnya disandra Rahwana di Alengka. Sugriwa
sang raja beruk dibatasi waktu yang pendek, pekerjaan yang sangat mendesak
untuk harus segera diselesaikan, proyeknya harus selesai sebelum air pasang
naik pada bulan pertama muncul. Pekerjaan buru-buru, mereka terpaksa ngawur
mengeruk satu-satunya gunung yang ada di Mahendra guna mengurug tanggul dan
menebang dengan liar beribu-ribu hektar hutan untuk diambil kayunya guna
membuat cerucuk sebagai landasan pondasi tanggul penyeberangan.
Tanpa terlebih
dulu memperhitungkan pengaruh dan dampak lingkungannya setelah kawasan Mahendra
menjadi gundul, kemungkinan gersang dikarenakan kerusakan alam lingkungan tanpa
ada upaya pemulihan kembali melalui reboisasi atau penanaman tanaman hutan
kembali. Marga satwa pada mati dan sebagian yang lain lari pindah kehutan-hutan
kenegeri tetangga. Mahendra adalah daerah pesisir yang masuk kekuasaan Ayodya,
yang tadinya sebuah kawasan yang makmur dan kaya akan hasil hutannya seperti
dammar, kapur barus, rotan, kayu manis, gambir dsb. Dan juga binatang-binatang
buruan seperti banteng, rusa, babi hutan yang daging dan kulitnya menunjang
kebutuhan ekonomi Ayodya, dan sekarang semuanya sudah punah.
Mendung hitam
datang berarak-arak dari arah lautan melayang-layang rendah kearah daratan
mengikuti angin laut yang bertiup kencang menuju Mahendra. Makin lama makin
gelap, matahari tertutup awan dan dinginnya udara semakin berat dan jenuh
disertai angin semakin kencang yang mulai merobohkan pohon-pohon nyiur yang ada
dipesisir pantai, memporak porandakan bangunan pos penjaga pantai menjebol atap
hingga berterbangan. Pasukan beruk pada lari ketakutan mencari perlindungan
masuk kerumah-rumah penduduk di Mahendra. Badai petir mengikuti drama cuaca
ini, hujan turun deras mulai jatuh mengikis permukaan tanah didataran Mahendra
yang gundul. Tanah tebing-tebing yang gundul pada longsor bersamaan mengalirnya
air-bah, meluncur kebawah menerjang perumahan-perumahan penduduk hingga rusak
porak poranda.
Hari itu Anila
dan Hanggada kebetulan sedang giliran tugas patroli di Mahendra, saat
terjadinya badai itu mereka sedang berada didalam pesanggrahan untuk membagi
tugas jaga pada para pimpinan pasukan beruk, mendengar suara gemuruh dan
gemertaknya benda yang mau retak maka cepat-cepat meloncat keluar dari
bale-bale pesanggrahan di Mahendra yang sesaat kemudian dindingnya terlihat retak-retak,
disusul atapnya jatuh runtuh, bersamaan masuknya air bah menerjang bangunan
tersebut. Pasukan beruk banyak yang mati tertimpa atap-atap bangunan, karena
tidak sempat untuk menyelamatkan diri. Air mulai menggenang semakin lama
semakin tinggi hingga ketinggian atap. Penduduk Mahendra banyak yang mati
terseret banjir bandang, mayat-mayat terlihat banyak yang kentir atau keli
mengapung dimana-mana.
Lurah
Karangtumaritis yaitu Semar yang gemuk
masih selamat ikut hanyut sambil berpegangan pohon pisang, disusul anaknya
Petruk dan Gareng berpegangan pada lesung kayu yang hanyut. Sedangkan Bagong
masih tertinggal diatas atap penduduk yang nyaris roboh, menunggu pertolongan.
Bencana alam ini datang dengan tiba-tiba, sehingga banyak penduduk Mahendra yang
mati konyol, tidak sempat untuk menyelamatkan diri. Mereka yang mati jadi
korban karena bencana banjir dan lonsor ini hamper mencapai ribuan orang. Dan
mereka yang ingin selamat harus dengan susah payah berusaha berenang melawan
arus yang ganas atau bertahan berpegangan kuat pada pohon-pohon besar, begitu
juga Anila dan Hanggada akhirnya bisa selamat berenang mencapai gumuk tertinggi
di Mahendra yang terbebas dari genangan banjir. Disana sudah banyak ratusan
penduduk yang menyelamatkan diri mengungsi didataran gumuk tersebut, termasuk
Lurah Semar beserta anak-anaknya Petruk, Gareng, dan Bagong.
Air sudah surut, daratan yang luas menyembul
kembali dengan pemandangan yang amat memilukan. Tidak ada satu bangunanpun yang
tersisa, tumbuh-tumbuhan besar tergolek roboh dan sawah dan ladang semua rata
dengan tanah. Tampak bangkai-bangkai manusia dan binatang ternak sangat banyak
menumpuk menjadi satu tersangkut diantara celah-celah batu dialiran kali,
berkerumun lalat diatas bangkai-bangkai menandakan mulai membusuk disertai bau
busuk menyengat hidung.
Ki lurah Semar
bersama anak-anaknya Petruk, Gareng, Bagong bergegas berangkat menuju ke
Ayodyadiraja menghadap raja untuk melaporkan semua kejadian bencana yang
melanda wilayah Mahendra.
…..”aduh cilaka duabelas gusti Prabu, Mahendra
sekarang berubah menjadi neraka jahanam, bencana alam akibat badai disertai
banjir gunung mengakibatkan bukit-bukit pada longsor, tolonglah gusti Prabu
rakyat sekarang sangat menderita, harta benda mereka habis ludes hayut bersama
arus menerjang gubug-gubug mereka…..segeralah gusti Prabu mengirimkan bantuan
bahan pangan dan obat-obatan, bila tidak mereka pasti akan mati kelaparan.”……
Peristiwa bencana
banjir bandang sangat memukul Ayodyadiraja, Prabu Rama Wijaya sedih, marah juga
gelisah masalahnya hamper semua kas keuangan Negara terkuras untuk membiayai
untuk menyelamatkan rakyatnya dari bahaya kelaparan dan penyakit paska banjir.
Terpaksa semua kerugian dia tanggung sendiri, oleh sebab negeri-negeri
sekutunya tidak ada yang mau membantu mengucurkan dana mengingat mereka sendiri
dalam kesulitan paceklik didalam negerinya sendiri. Betari Sri dan para Resi
hanya sanggup membantu dana-dana untuk persiapan perang berikutnya kenegeri
langit.
….”oh tidak tidak, ananda Prabu jangan
menganggap kami akan lepas tangan akan kesulitan-kesulitan Ayodyadiraja, kami
akan bantu tetapi setelah ananda Prabu selesai melaksanakan janji ananda Prabu
untuk membantu kami menyerang Jongring Saloka,….saran kami kepada ananda Prabu
seyogyanya rakyat yang terkena musibah akibat bencana banjir itu kita biarkan
saja, anggap saja mereka ikut bela pati dan rela sebagai tumbal Negara agar
terbebas dari sukerta-sukerta yang menguasai negeri ini,….seperti kasus
perselingkuhan Shinta dengan Rahwanalah yang menyebabkan ananda terlibat perang
besar melawan Alengka,….banjir bandang yang merupakan bencana alam menurut kami
bukanlah ulah manusia tetapi mereka penguasa Jongring Saloka yang menciptakan
musibah ini,….oleh karena itu menurutku ulah-ulah Batara Guru secepatnya dihentikan
sebelum Ayodya hancur dengan bencana-bencana berikutnya,…nah, coba renungkan
nasehatku ini.”…..
Betari Sri bukannya memberikan jalan keluar
yang baik tetapi malahan hasutan-hasutan keluar dari mulutnya. Sepertinya Prabu
Rama Wijaya termakan akan hasutan Batara Sri dan para Resi. Kemarahan,
kejengkelan Prabu Rama Wijaya dilampiaskan kepada dewi Shinta. Kata-kata kotor
dan penghinaan meluncur dari mulut Prabu Rama Wijaya ditujukan kepada
isterinya, tuduhan-tuduhan tidak masuk akal bahwa bencana alam yang terjadi ini
oleh sebab ulah Shinta yang membawa sukerta dari Alengka.
Shinta tidak
tahan menghadapi suaminya yang terus uring-uringan, terbesit niatan untuk pergi
jauh meninggalkan Ayodya. Tidak ada gunanya Shinta bertahan dinegeri ini,
baginya Ayodya sudah berubah menjadi neraka. Hari telah malam, maka jelang
fajar dimana para punggawa lengah pada tertidur dipos jaganya, maka beranjaklah
Shinta dengan membawa sedikit bekal nekat keluar dari kamar tidurnya yang
berada dilantai dua Kaputren. Tanpa menerbitkan suara Shinta menuruni tangga
loteng menuju ruang besar dan terus melangkah hati-hati melewati ruang para
penjaga. Tampak para penjaga sedang asyik bermain ‘ceki’ semacam kartu domino
sehingga tidak tahu kalau ada seseorang menyelinap keluar menuju lorong
samping. Lorong yang sepi dan gelap Shinta terpaksa berjalan sambil meraba-raba
dinding untuk mengurut menuju pintu keluar bagian belakang Kaputren.
Kini ia mencapai
pintu belakang, dengan meraba-raba ketemulah gerendel pintu dan kemudian
ditariknya untuk membuka pintu. Pada saat membuka pintu tiba-tiba ada tangan
besar menangkap tangannya sehingga membuatnya sangat terkejut,
….”stt, sstt…..tenang jangan berisik. Hamba
Limbuk gusti Putri….ssttt….ikutlah hamba kepojok sana,……lebih aman !”….
Rupa-rupanya mbok emban Limbuk yang secara
diam-diam mengikuti gerak-gerik Shinta,
….”lho gusti Puri, malam-malam begini kok
keluar meninggalkan Kaputren mau kemana? Ayolah masuk kembali, udara diluar
sangat dingin nanti bias masuk angin lho.”….
Limbuk berusaha membujuk Shinta untuk kembali
ke Kaputren, tetapi Shinta tidak mau dan akhirnya Shinta berterus terang kepada
Limbuk bahwa ia berniat untuk minggat dari Ayodya,
….”Limbuk, tolonglah aku dan biarkanlah aku
pergi dari neraka ini,….aku sudah tidak tahan lagi akan perlakuan Prabu Rama
Wijaya yang selalu menghinaku….lebih baik aku mati saja daripada tetap tinggal
bersamanya…tolonglah Limbuk biarkan aku pergi!”….
Limbuk
menjadi iba melihat bandoronya yang sedih dan setengah putus asa itu. Limbuk
membenarkan ucapan Shinta, memang sudah sering Prabu Rama Wijaya berbuat
semena-mena, menyakitkan hati setiap kata-kata yang keluar tertuju kepada
Shinta. Limbuk ikut marah juga sebab iapun seorang wanita dan tidak rela
sesamanya direndahkan martabatnya.
….”baiklah bandoro ayu Shinta, panjenengan mau
pergi kemana saja boleh,…tapi ada syaratnya….Limbuk harus ikut, paduka tidak
boleh pergi sendirian,…Limbuk akan menyertai paduka, menjaga dan bisa sebagai
teman berbincang-bincang diperjalanan,”….
Dengan didampingi
Limbuk, pergi Shinta meninggalkan suaminya, dan pergi jauh meninggalkan Ayodya.
Perjalanan menuju ke Barat terus mengikuti jalannya matahari, jauh dan semakin
jauh perjalanan yang melelahkan, terkadang mereka berhenti sejenak berteduh
dari panas matahari sambil melepas lelah, kemudian perjalanan dilanjutkan lagi.
Hari berganti malam, Shinta dan Limbuk terus berjalan, tetapi rupa-rupanya
mereka tersesat masuk kedalam hutan. Tampak remang-remang pohon besar-besar
tampak seperti monster raksasa yang menakutkan.
…..”Limbuk, sepertinya kita tersesat masuk
kedalam hutan belantara, bagaimana ini….sebaiknya kita berhenti dan cobalah
cari tempat yang aman agar kita tidak jadi mangsa binatang buas,”….
Shinta dan Limbuk berusaha mencari tempat yang
aman, ada sebuah gua sempit mereka temukan dan masuklah mereka kedalam sambil
membawa tongkat sebagai senjata pemukul bisa digunakan bila terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan. Malam yang sunyi dan sepi terpaksa mereka bermalam
didalam gua ditengah hutan belantara.
Sang pagi telah
datang, sinar matahari tampak menerobos diantara dedaunan. Shinta dan Limbuk
terbangun karena mendengar suara gaduh diluar gua. Shinta mencoba melongokkan
kepalanya keluar untuk memeriksanya.
…..”Limbuk bangun ! ayo cepat kita pergi dari
sini! Diluar sana banyak binatang buas, seekor beruang sedang dikeroyok
beberapa serigala, ayo kita cepat-cepat lari menyingkir dari sini!”….
Shinta dan Limbuk berlari sekencang-kencangnya
menjauh dari lokasi kanibal tersebut, terus berlari nafas terengah engah
keringat bercucuran perut terasa lapar dan tenaga semakin lemah, jalan menjadi
gontai. Sampailah keduanya dipinggir hutan, tampak didepannya hamparan padang
rumput yang luas, dan jauh disana ada sebuah bangunan tua,
….”Limbuk rasanya aku pernah tersesat
disini….ya ya bangunan disana itu pernah menyelamatkanku dari kebuasan
seseorang (yang dimaksud adalah Lesmana) yang hendak memperkosa aku,….ayo cepat
kita berteduh disana,”…..
Masih ingat
dibenak Shinta peristiwa-peristiwa kelam masa itu, dimana waktu itu Shinta
ditinggal Ramabadra berburu kijang dihutan , dan Shinta ditinggal berdua
bersama Lesmana adik iparnya. Melihat kecantikan Shinta, adik iparnya timbul
nafsu birahinya dan berusaha untuk menggagahinya. Beruntung Shinta berhasil
meloloskan diri dan sempat lari bersembunyi kedalam silo bangunan tua yang
tampak didepannya sekarang ini. Dengan langkah gontai keduanya masuk kedalam
Silo tua itu. Shinta mencoba naik keatas atap dan berdiri diatas atap silo,
tinggi sekali ia coba memandang kembali keadaan sekelilingnya, ia ingat dibawah
sana disebelah selatan masih terlihat kebun milik penduduk, dan disebelah utara
terhampar padang yang luas sampai ketepi hutan, ia ingat arah dimana
diperkirakan Shinta tadi datang dari hutan dan berlari menuju kebangunan silo
ini. Dan didalam keputus-asaannya waktu itu kemudian datang pertolongan,
….”yah dialah sang penolong itu, Prabu Rahwana
sang penolong itu,….dimanakah beliau
sekarang,”….
Shinta bergumam sendiri.
….”gusti putri, sedang menggalih apa kok
ngomong sendiri,….ayo kita cari makanan, perut saya sangat lapar,…disana ada
rumah penduduk ijinkanlah hamba pergi kesana untuk meminta makanan,”….
Limbuk
berinisiatif untuk mencari makanan kerumah penduduk, Shinta menyetujuinya. Maka
keluarlah Limbuk dari bangunan Silo dan meninggalkan Shinta sendiri didalamnya.
Hari semakin sore, Shinta dengan sabar menunggu kedatangan Limbuk dengan
membawa makanan, hingga jelang malam Limbuk tidak datang-datang dan menjadikan
perasaan Shinta was-was. Dalam pikirannya muncul dugaan-dugaan bermacam-macam,
apakah Limbuk tersesat atau diperjalanan diserang binatang buas. Shinta kembali
naik keatas atap, ia coba perhatikan pandangannya kearah perumahan penduduk,
tapi sepertinya disana tidak ada tanda-tanda kehidupan, masalahnya hari semakin
malam tidak nampak penduduk menyalakan lampu-lampu penerangan dimasing-masing
rumahnya. Apakah kampong disana itu tidak ada penghuninyakah, Shinta semakin
mengchawatirkan Limbuk.
Perut semakin
lapar, badan semakin loyo dan mata Shinta terasa berkunang-kunang. Pikirannya
mengharapkan ada seseorang yang dating mau menolongnya, tapi mustahil ditempat
yang sepi seperti ini mana ada orang yang berani lewat didaerah yang angker
seperti ini.
…..”dulu sewaktu aku terjebak diSilo ini,
datang secara kebetulan Prabu Rahwana datang menolongku…..dia memang seorang
tua yang berhati emas,…..meskipun belum aku jawab akan cintanya kepadaku, tapi
dia amat sabar menungguku untuk member jawaban, menerima cintanya atau
tidak,…..sebenarnya dia adalah laki-laki yang gagah yah fisiknya ya jiwanya,….tapi
kenapa sekarang aku memikirkan dia, kebaikan-kebaikannya yang tanpa pamrih
sewaktu membantuku membangun usaha di Alengka sepertinya sulit aku
melupakannya,….ucapan terimakasih saja belum pernah keluar dari
mulutku….melihat sikap dan perilakunya yang sopan menjadikan aku bersimpati
kepadanya meskipun hatiku belum bisa menerima kehadirannya,”…..
Shinta menangis
mengenang masa lalunya, dia duduk bersimpuh diatas atap Silo sambil memandangi
bintang-bintang dilangit,
….”andaikata bintang dilangit itu Prabu Rahwana,
pasti bila dia melihatku sengsara seperti ini dan pasti akan datang segera
menolongku….tapi mungkinkah….Prabu Rahwana…..yah aku akan coba memanggilnya,
siapa tahu Prabu Rahwana ada diantara bintang-bintang itu………..Prabu
Rahwaaanaaa!.........Prabu Rahwaanaaa!!!.....Prabu Rahwanaaaa!!!......Shinta
disini….tolonglah aku Prabu Rahwanaaa!!!.....aku ingin bersamamu, tolonglah aku
Prabu Rahwannaaaaa…..”
Teriakan-teriakan Shinta memanggil nama Prabu
Rahwana bagaikan Guntur membelah langit, terus dan terus dia memanggil-manggil
nama Rahwana hingga serak suaranya dan akhirnya tubuh Shinta lemas kehabisan
daya karena lapar. Mata semakin berkunang-kunang dan Shinta tak sadarkan diri.
23
SERANGAN
KELANGIT
Balairung
Ayodya, sedang diadakan rapat penting dan dipimpin langsung oleh Prabu Rama
Wijaya. Hadir pada rapat itu Batara Sri, Resi Wasista, Resi Mitra dan para
resi, para raja bawahan, para Pangeran, para Menteri dan Perwira kerajaan.
Rapat membahas persiapan-persiapan rencana ekspansi terutama menguasai
Jonggring Saloka. Suasana yang serius itu mendadak menjadi terganggu karena
tiba-tiba datang Wibisana disertai menantu dan putinya Trijata. Wibisana
menghadap raja seraya menangis dan katanya,
….”ampunilah kami kakang Prabu, kami
benar-benar orang yang tak berguna, kami menghadap untuk menyampaikan berita
buruk kepada Kakang Prabu bahwa Alengka telah terjadi pemberontakan yang
dipimpin R.Sapanyana…….dan keraton Alengka berhasil mereka kuasai, kami sudah
sekuat tenaga berusaha untuk menghalaunya,…rupanya R.Sapanyana sangat sakti dan
kami kalah didalam pertempuran,….akhirnya keraton bisa mereka kuasai, kami
sekeluarga terusir dari Alengka,….aduh Kakang Prabu maafkan kami dan sekali
lagi kami mohon bantuan Ayodya untuk menumpas kerusuhan-kerusuhan yang terjadi
di Alengka,”…..
Prabu Rama Wijaya mendengar laporan Wibisana
wajahnya menjadi merah menyala, keringat keluar dari seluruh tubuhnya sehingga
membuat pakaiannya basah karenanya. Marah dan marah melihat ketidak becusan
Wibisana menghadapi kemelut didalam negerinya.
Belum reda
amarahnya, tiba-tiba dari pintu samping mbok emban Cangik datang langsung
bersujut dikaki Prabu Rama Wijaya sambil menangis meraung-raung sehingga
menambah kacaunya suasana Balairung Ayodya.
….”edaan, heh Cangik ada apa kamu berlaku
kurang ajar terhadap rajamu,….apa yang terjadi di Kaputren sana?”….
Sambil menyembah Cangik tergagap-gagap
menceriterakan kejadian di Kaputren,
…..”ampun gusti Prabu,….ampun…..ampun….itu
gusti putrid Shinta…..ampun gusti ….ampun!”…..
Resi Wasista dating
menghampiri Cangik dan berusaha memenangkan kegugupannya dan punggawa dating
memberikan air putih untuk diminum,
….”nah ceriteralah dengan tenang, segera matur
kepada rajamu ada apa dengan bandoro ayumu Shinta?”…..
….”mohon ampun gusti Prabu, kami laporkan
bahwa gusti puteri Shinta tidak ada di Kaputren…..para punggawa telah berusaha
mencari kesana sini…..tapi gusti Shinta tidak ada lagi di Kaputren,….demikian
juga Limbuk juga pergi entah kemana kami tidak tahu gusti….ampunilah kami
gusti,”….
Prabu Rama Wijaya
langsung melompat dari singgasana dan menghampiri Cangik dihajarnya habis
habisan sehingga Cangik semaput kemudian digotong keluar oleh para punggawa.
Suasana Balairung menjadi sepi, semua yang hadir terdiam dan sedikit ketakutan
melihat rajanya sedang marah. Batari Sri dating menghampiri Prabu Rama Wijaya
dan menggandengnya kembali duduk disinggasananya sambil menasehatinya,
….”tenang…tenang….tenanglah ananda Prabu,
jangan emosi, perhatikan baik baik laporan dari Prabu Wibisana dan Mbok emban Cangik…..semakin
jelaslah kejadian-kejadian ini bahwa perang melawan Ayodya sudah dimulai.
Kasusnya Shinta pergi adalah perang melawan keteguhan jiwa ananda
Prabu,….sedangkan kasusnya Prabu Wibisana adalah benar-benar melecehkan
kewibawaan ananda Prabu sebagai ratu gung binatoro,…maka dari itu ananda Prabu
agar waspada dengan tipu muslihat mereka….kuncinya ada di Jongring Saloka. Oleh
karena itu segera persiapkan wadyabala Ayodya untuk melakukan penyerangan
pembalasan kepada mereka…..bagilah tentaramu menjadi dua, sebagian menyerang
Alengka dan sebagian untuk menyerang Jonggring Saloka.”….
Rapat kembali
dilanjutkan dan menelorkan keputusan yang disepakati, kecuali Prabu Sugriwa
yang merasa keberatan akan rencana-rencana yang dirasa akan berakibat membawa kerugian
dan bertambahnya kesengsaraan rakyat Ayodya. Prabu Sugriwa justru mengingatkan
Prabu Rama Wijaya agar mengurungkan niatnya untuk melakukan peperangan, lagi
pula diingatkan bahwa negeri-negeri tetangga akan terganggu hubungan
perdagangannya dengan berbagai negeri. Yang kesemuanya akan berimbas lemahnya
perekonomian dunia.
Anoman juga
membenarkan pendapat Prabu Sugriwa pamannya. Akan tetapi saran-saran Prabu
Sugriwa dan Anoman tidak ditanggapi sebagian besar yang hadir pada rapat
tersebut. Anoman terpaksa mengundurkan diri, ia tidak mau ikut-ikutan pada
rencana penyerbuan ke Alengka, apalagi menyerang Jonggring Saloka, dimana
bertahta disana adalah Batara Guru orang tuanya. Oleh karena itu ia mengambil
keputusan tidak ikut campur urusan Betari Sri dan Prabu Rama Wijaya. Anoman
kemudian berpamitan dan keluar dari rapat Balairung. Lebih baik ia pulang
kepasepokannya untuk kembali melatih putera angkatnya yaitu Trigangga.
Trigangga telah
beranjak dewasa, menjadi seorang pemuda yang gagah, cerdas, santun tingkah
lakunya serta terpuji jiwa welas asih ada pada dirinya. Trigangga adalah putera
Sewi Urang Ayu dengan Prabu Rahwana, sewaktu Alengka kalah perang melawan
Ayodya maka Dewi Urang Ayu termasuk menjadi ‘puteri boyongan’ Ayodya. Anoman
melihat Dewi Urang Ayu yang sedang hamil besar timbul rasa ibanya untuk
menolongnya, maka diambilnya sebagai isterinya. Dan saat melahirkan jabang bayi
Trigangga, Dewi Urang Ayu meninggal dunia (Kunduran). Bayi Trigangga tidak
punya ibu, Anoman ikut prihatin dan melihat bayi Trigangga yang lucu dan manis
memikat hatinya, Anoman bertambah sayang dan bertekat untuk mengasuhnya sendiri
sebagaimana anaknya sendiri.
Balairung Ayodya,
rapat masih berlanjut tanpa kehadiran Anoman,
….”dari laporan Wibisana, jembatan atau
tanggul Mahendra Suwelogiri telah diputus dan dibongkar oleh tentara Alengka.
Maka dari itu andalannya adalah kekuatan gaib dari kesaktian Lurah Semar untuk
menyeberangkan seluruh pasukan Ayodya….bagaimana Ki Lurah Semar apakah masih
berlaku janjimu untuk membantu kami?”…..
Demikian Batari Sri mengingatkan semuanya agar
segera mempersiapkan diri pada perang besar yang akan mereka hadapi. Prabu Rama
Wijaya membagi tugas, wadyabala untuk penyerbuan ke Alengka ditunjuk
Manggalayudanya adalah Lesmana dan Wibisana, sedangkan wadyabala untuk
penyerangan ke Jonggring Saloka akan dipimpin langsung Prabu Rama Wijaya
dibantu Batari Sri, Resi Wasista dan Resi Mitra bersama para resi.
Pertahanan dalam
negeri Ayodya dan kerajaan bawahan diserahkan Prabu Barata untuk mengkoordinirnya.
Rapat dibubarkan, dan ketentuan waktu penyerbuan akan diberitahukan kemudian
oleh raja. Sisik melik segera dikirim untuk mengintai pertahanan musuh di
Alengka. Kapi Jembawan dikirim kesana dengan mengendarai Garuda Sempati
melakukan tugas pengintaian dari udara. Semuanya kegiatan dan persiapan Alengka
telah dia ketahui, dimana pihak Alengkapun rupa-rupanya telah mempersiapkan
pertahanan terhadap serangan-serangan mendadak dari Ayodya.
Parit-parit
pertahanan, perbentengan-perbebtengan darurat yang cukup kuat memberikan
petunjuk-petunjuk bahwa pihak Alengka memang telah mempersiapkan diri untuk
berperang dalam waktu tidak terbatas. Ranjau-ranjau peledak telah dipasang
lebih dulu oleh tentara Alengka disepanjang pantai yang tidak dijaga. Alengka
menyadari akan kurangnya jumlah pasukan yang dimiliki dan tidak sebanding
dengan jumlah tentara Ayodya yang ribuan berlipat-lipat, maka guna
mengantisipasi penyerangan pada daerah-daerah yang dimungkinkan lawan akan
masuk didaerah-daerah yang jauh dari jangkauan pengawasan, maka setiap malam
tentara Alengka dengan menggunakan perahu paling sedikit 200 buah ranjau laut
yang siap meledak bila tali-talinya tersentuh oleh kapal Ayodya yang nekat
menerobos ke Alengka.
Adalah satu
kenyataan yang tak dapat dibantah bahwa tentara Alengka meskipun tidak banyak
tapi dalam setiap pertempuran melawan Balarama memang merupakan lawan-lawan
yang tangguh. Perjuangan tentara Alengka sangat suci yaitu demi pembebasan
negerinya yang telah dijual oleh seorang pengkianat bernama Wibisana, demikian
pendapat mereka.
Pada hari yang telah ditetapkan berangkatlah
tentara Ayodya menuju medan pertempuran. Lurah Semar yang keturunan dewa mejadi
andalan tentara Ayodya dengan kesaktiannya diciptakannya dua lorong gaib, satu
untuk jalan menuju ke Alengka dan satu lainnya jalan menuju Jonggring Saloka.
Satu-satunya cara Lurah Semar membuat jalan gaib untuk menyeberangkan tentara
Ayodya. Meskipun demikian Ayodya juga mengirimkan pasukan udaranya
berpuluh-puluh Garuda Sempati diterbangkan menuju Alengka.
Garuda Sempati
adalah andalan Ayodya untuk melakukan penyerangan balasan ke Alengka. Didepan
para pilot-pilotnya Kapi Jembawan memberi tugas-tugas melakukan
pemboman-pemboman pada titik-titik yang ditentukan yaitu daerah-daerah vital
pertahanan Alengka. Selesai menerima petunjuk para pilot segera menuju ke
kendaraannya masing-masing yaitu Garuda-garuda Sempati yang sangat terlatih
melakukan pertempuran dari udara. Take-off pertama diikuti take-off kedua dan
demikian seterusnya, jumlah keseluruhan ada 150 ekor Garuda Sempati berangkat
ke medan perang.
Dibawah komando
Kapi Jembawan pasukan udara Ayodya menyeberangi laut menuju ke Alengka, Kapi
Jembawan tidak lagi menghiraukan garis dimarkasi batas Negara tetangga. Ia tahu
tindakannya adalah melanggar batas wilayah Negara, tetapi perang adalah perang
siapa yang menghalangi jalannya hanya ada satu perintahnya, yaitu gilas dan
hancurkan.
Ketika datang
berpuluh-puluh kereta perang Ayodya yang dilengkapi berbagai senjata dan
beribu-ribu tentara Ayodya yang muncul dari gerbang-gerbang gaib yang
diciptakan oleh Lurah Semar, dan disusul kemudian pasukan udara berpuluh-puluh
Garuda Sempati sambil menjatuhkan batu-batu kerikil yang dilumasi racun
warangan dan bola-bola api kearah kubu-kubu pertahanan Alengka, maka tidak
alasan bagi tentara
Alengka yang dipimpin R.Sapanyana datang
menyambut penyerangan itu. Apapun dalihnya Ayodya dianggap telah melakukan
suatu tindakan agresi dinegeri Alengka. Pemboman-pemboman dilakukan pihak
Ayodya dan mengakibatkan kebakaran-kebakaran dipelabuhan Suwelogiri dan
Kutagara Alengka. Tetapi nyatanya kehancuran-kehancuran akibat pemboman
tersebut tidaklah melumpuhkan semangat tentara-tentara Alengka. Dengan gigih
R.Sapanyana menyemangati pasukan-pasukannya dan perlawanan diteruskan. Hanya
berbekal keberanian yang nekat pasukannya tetap bertahan dan gigih menangkis
serangan-serangan udara dengan ketapel-ketapel besar yang telah dipersiapkan.
Satu persatu Garuda Sempati berhasil dijatuhkan yang akhirnya sebagian dari
Garuda Sempati yang selamat ditarik kembali kepangkalannya karena kehabisan
amunisi.
Pertempuran masih
berlangsung antara Ayodya melawan Alengka, dalam kurun waktu kurang dari 2
bulan dan melalui peperangan dahsyat dengan kehancuran hebat bagi kedua pihak
yang sedang bertempur mati-matian sehingga berakibat banyak menelan korban,
beribu-ribu tentara mati.
Mungkin
R.Sapanyana mempunyai pendirian yang sama teguhnya dengan Kapi Jembawan, bahwa
perang adalah perang. Dalam medan peperangan bukanlah pemimpin-pemimpin Negara
atau tokoh-tokoh politik yang berkuasa, meskipun mereka inilah biasanya yang
mencetuskan api-peperangan yang pertama-tama. Bahkan para Panglima perang
sendiri terkadang tidak berhasil untuk menyuruh diam panah-panah yang
dilepaskan anak buahnya. Medan pertempuran adalah ditangan prajurit-prajurit
kecil, sekali dilepaskan anak panah, mereka akan membalasnya dengan tembakan.
Kalau seorang kawan ditembak jatuh oleh musuh, mereka akan meminta
berpuluh-puluh nyawa sebagai gantinya. Dan akhirnya tentara Ayodya berhasil dipukul
mundur hingga ketepi pantai Suwelogiri dan akhirnya mereka tentara Ayodya yang
masih tersisa menyerah dan bisa dikuasai oleh tentara Alengka. Lesmana dan
Wibisana berusaha untuk melarikan diri akhirnya juga tertangkap dan menjadi
tawanan perang.
24
SUKSESI
DI ALENGKA
R.Sapanyana
pemimpin baru Alengka Merdika, adalah kerajaan baru didunia dongeng, salah satu
negeri yang maju setelah lengsernya Wibisana dari tapuk pimpinan kerajaan
Alengka lama karena ketidak mampuannya memimpin Negara, dia tidak bisa
melaksanakan apa yang menjadi inspirasi maupun keinginan rakyatnya, meskipun
bekal Hastabrata sudah diperolehnya tapi tidak mampu ia jalankan karena apa,
dia cacat mental terbukti dari perilakunya, yang pernah dia lakukan adalah menjual
Negara karena ketakutannya kepada Ramabadra, tega nian seluruh rahasia Negara
dia buka dan berikan kepada Ramabadra, karena kecemburuan dan sifat irinya
kepada Rahwana ketika menjadi raja di Alengka, akibatnya Alengka kalah didalam
peperangan melawan Ayodya.
Setelah itu ia
mendapat kalungguhan jadi raja, sifat penjilatnya tidak berubah, dan
tetap dia adalah merupakan raja boneka kepanjangan tangan Ramabadra untuk tetap
bisa menguasai Alengka, dimana tindakan dan keputusan, segala sesuatunya harus
mengikuti kemauan Ramabadra raja Ayodya. Hastabrata yang berisi ajaran
pembinaan mental bagi seorang pemimpin yang harus ia laksanakan yaitu meliputi
delapan sifat atau watak,
…..”Ambeg darma (dermawan), Kenceng (tegas dan
bijak), Alus (jujur dan wajar), Sregep, Ngundi (mengupayakan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyatnya), Temen (sungguh-sungguh perhatian pada rakyatnya),
Laku (beragama), Ambeg peramarta (sabar dan suka mengayomi rakyatnya)”…..
itu yang ia ditulis besar-besar pada batu
prasasti peringatan pengukuhan dirinya sewaktu ia diangkat sebagai raja, tapi
tidak ditulis dan diresapi dalam hatinya. Seluruh tuntunan itu ia abaikan,
memang Wibisana tetap Wibisana yang dulu, masih anak ragil yang manja.
Rakyat Alengka
ingin merdeka, kebencian rakyat terhadap raja Wibisana telah mencapai
puncaknya. Rakyat pada akhirnya serempak melakukan demo besar-besaran dan
melucuti askar-askar kerajaan yang pro raja, dan kemudian melengserkan Wibisana turun dari tapuk
pimpinan kerajaan dan mengganti pemimpin barunya yaitu R.Sapanyana. Dia adalah
putera angkat Antaga (Togog) yang dinobatkan sebagai raja, dulunya ia
berprofesi sebagai dalang kerajaan yaitu pada jamannya Alengka masih dipimpin
Wibisana. R.Sapanyana dengan muka bertopeng guna menutupi wajahnya yang buruk
rupa karena kecelakaan, dengan topeng diwajahnya bermaksud agar penampilannya
tidak membuat orang menjadi takut bila memandangnya.
Ketika
bergantinya kekuasaan di Alengka maka kemudian secara diam-diam Wibisana
bersama Trijata berkemas-kemas berencana untuk melarikan diri dengan membawa
emas berlian, sebelum pengadilan rakyat menghakiminya terjadi, tujuan mereka
pergi keluar negeri untuk mencari suaka dinegeri Ayodya.
Ayodya mendengar suksesi
di Alengka tidak bisa berbuat banyak, maksud hati Prabu Rama Wijaya ingin
merebut kembali dengan mengerahkan bala tentaranya untuk menyerang Alengka akan
tetapi rencananya selalu gagal karena:
Pertama, Ayodya tidak
mendapat dukungan dari kerajaan-kerajaan bawahan, Sugriwa sendiri dengan
alasannya bahwa dari pengalaman yang sudah-sudah berperang melawan Alengka
sangat tidak menguntungkan, mengulang suatu kecerobohan strategi berperang
dengan menerobos jalur tanggul yang sempit sama halnya bunuh diri, malahan
secara kuantitatif korban tentara Ayodya dan Guakiskenda yang tewas lebih
banyak dibanding tentara Alengka yang hanya menunggu mangsa diujung tanggul.
Kedua, apalagi setelah
terputusnya Bendungan Mahendra Suwelagiri, yaitu tanggul penyeberangan mega
proyek yang dibangun pasukan beruk pimpinan Sugriwa telah memakan biaya besar,
telah dibongkar oleh R.Sapanyana dengan membiakkan dan menyebarkan Yuyu-rumpung
kembali untuk menggroti pondasi bawah tanggul, sehingga menyebabkan tanggul
yang menghubungkan daratan Mahendra negeri bawahan Ayodya dan Suwelagiri negeri
bawahan Alengka ambrol tenggelam. Jalan menuju Alengka menjadi terputus dan sulit untuk bisa
diperbaiki, andaikan nekat untuk membangun kembali perlu menyiapkan tanah dan
bebatuan yaitu paling sedikit dipersiapkan dua buah gunung untuk dipindahkan
guna mengurug tanggul baru, dan pekerjaan itu akan menguras tenaga dan biaya
lebih besar lagi.
Ketiga, ancaman embargo
dari negeri seberang pada komoditi penting seperti kebutuhan pangan akan
dihentikan perdagangan impor beras dll apabila Ayodya nekat membangun tanggul
dan menyerang Alengka kembali. Ramabadra sadar kelemahan-kelemahan yang ia
miliki, pencaharian keseharian masyarakatnya yang utama adalah hasil berburu
seperti kulit binatang dan kayu cendana dan getah-getah hasil hutan,
barang-barang tembikar, dan hasil peternakan, sedangkan teknologi bercocok
tanam sedang ia pelajari sehingga kebutuhan akan beras masih import dari negeri
tetangga.
Alasan
pembongkaran tanggul oleh R.Sapanyana itu karena Alengka Merdika
berkepentingan, yaitu untuk mengembalikan dan mempermudah jalur lalu-lintas
pelayaran negeri-negeri seberang yang akan melakukan perniagaan dengan Alengka
Medika. Selama masih ada tanggul itu terpaksa jalur pelayaran menjadi jauh
memutar. Dan juga merupakan upaya mengembalikan dan merawat kelestarian alam
diharapkan ekosistemnya kembali seperti semula, sehingga habitat penghuni
lautan akan berkembang biak banyak dan akhirnya toh manusia sendiri nantinya
yang beruntung dari hasil memanennya. Gagasan dan tindakan R.Sapanyana ini
disetujui dan mendapat dukungan dari negeri-negeri seberang kecuali Ayodya.
Sayangnya Ayodya
tidak punya armada laut guna menyerang Alengka Merdika. Alengka Merdika sendiri
dengan pengalaman berperang melawan Ayodya kemudian membangun kembali
pertahanannya dengan memperkuat atau mengganti sektor-sektor yang lemah. Armada
angkatan lautnya dilengkapi dengan panah-panah api molotof. Ketapel-ketapel
penangkis serangan udara juga diperbanyak. Melakukan rekruimen pada pasukan
mariner dan kafalerinya. Wajib belanegara bagi setiap warga Negara untuk
menambah tentaranya bila Negara dalam keadaan darurat, dan setiap warga Negara
baik pria maupun wanitanya pernah mendapatkan pendidikan militer.
Baru berjalan
lima tahun dibawah pimpinan R.Sapanyana, raja berhasil membawa negeri Alengka
Merdika menjadi negeri yang sur-plus pendapatannya sehingga makmur, meskipun
negerinya kecil, raja bersama rakyatnya bisa merubah negeri ini menjadi gemah
ripah loh jinawi, negeri yang tata tentrem kerta raharja. Kemajuan industry
dan pertanian yang dikembangkan dengan teknologi canggih membuka lapangan
pekerjaan yang bisa memberikan kesempatan bagi rakyatnya dan pemuda-pemudanya
untuk berkarya, sehingga tidak ada pengangguran dinegeri ini, mereka
mendapatkan penghasilan dan kehidupan yang layak. Orang-orang tua yang sudah jompo
mendapat santunan. Tempat-tempat ajar mengajar dibiayai Negara sehingga
anak-anak yang belajar disini gratis tidak dipungut biaya.
Apalagi Negeri
Alengka Merdika sekarang menjadi penting dalam perniagaan dengan negeri-negeri
tetangga, khususnya perdagangan transito dan pelabuhan pengumpul barang-barang
perdagangan, semua komoditi dari berbagai negeri-negeri dongeng banyak dikirim
keluar negeri melalui Alengka Merdika. Kemajuan teknologi dan kemampuan
managemen serta dilandasi mental cinta bangsa dan Negara menjadikan negeri ini
menjadi kuat dan maju dalam segala hal. Itu semua berkat perjuangan para
leluhurnya meskipun nyawa taruhannya demi membela Negara.
Luas negeri
Alengka Merdika yang relative kecil dan merupakan sebuah pulau yang luasnya
hanya 600 km2. Dan penduduknya tinggal sepertiganya karena banyak yang
meninggal pada saat peperangan dengan Ayodya. Dan yang tersisa kurang lebih
sebanyak 2,5 juta orang termasuk Lascar Bayangkara yaitu kopasusnya kerajaan
yang tersisa tinggal satu garda, yang kemudian mereka menempati separoh dari
luas negeri ini. Pada kepemimpinan R.Sapanyana negeri Alengka Merdika dengan
kerja keras akhirnya berhasil menyelesaikan kewajiban membayar pampasan perang
kepada negeri yang dirugikan pada saat peperangan Alengka melawan Ayodya yaitu
ketika pada jamannya prabu Rahwana, yaitu pembayaran berupa emas sebagai
kesepakatan ganti kerugian material, maka dengan demikian Alengka kembali
menjadi negeri yang merdeka.
25
PATUNG
PAHLAWAN
Dipusat
Kuthagara Alengka Merdika terdapat suatu bangunan seperti Museum yang dinamakan
Gedung Taman Soka, memang dulunya sebelum gedung tersebut dibangun adalah bekas
lokasi taman raja. Didalamnya tiap-tiap bagian negeri bawahan Alengka Merdika
menaruhkan patung-patung lilin dari beberapa orang warganya yang terkemuka,
baik laki-laki maupun perempuan yang mereka sangat banggakan.
Patung-patung
tersebut sebagai lambang kepahlawanan bangsanya yang berjasa didalam
membangkitkan perasaan setia kepada negerinya serta cita-citanya, sama halnya
bendera dan lagu kebangsaan yang dipunyai setiap Negara. Pahlawan yang artinya
orang-orang yang berjuang mencari pahala dijalan Tuhan demi kemerdekaan,
kemanusiaan, keadilanan, kesejahteraan, kebenaran serta kemaslahatan
masyarakat.
Kepahlawanannya
ditempuh dengan berlainan jalan untuk mencapai tujuannya. Mereka bekerja keras
dengan menyalurkan tenaga maupun fikirannya untuk beberapa hal, tapi bisa jadi
hanya satu yang berfaedah untuk menciptakan dunia dongeng yang lebih maju.
Mereka juga tak selalu orang-orang yang popular, bahkan ada yang sama sekali
tak disukai orang, yah sedikit-dikitnya sebagian dari hidupnya. Biasanya mereka
adalah juara untuk hal-hal yang tak disukai orang karena apa, karena mereka
lebih maju dari pada jamannya. Meskipun besarnya mereka, tapi didalam hidupnya
dengan tujuan tak untuk diri pribadi semata akan tetapi ada yang lebih penting
untuk generasi berikutnya. Perjuangannya demi kemanusiaan kebebasan yang lebih
luas dengan pandangan hidup yang lebih lapang dan jauh, demi kesejahteraan yang
lebih besar dan murni dengan pengendalian kekuatan-kekuatan alam yang lebih
sempurna, dalam arti pengertian umat manusia yang lebih mendalam, semua itu
dengan gigih mereka perjuangkan.
Didalam gedung
tersebut, ada patung Rahwana bermuka sepuluh dengan sebutan Prabu Dasa Muka
maharaja dari Alengkadiraja, dilambangkan sebagai sosok orang yang bakti kepada
orang tuanya dan selalu membela keluarga, Negara dan bangsanya. Wataknya yang
keras tapi mudah luluh dan sangat sayang kepada adik-adiknya. Dengan sepuluh muka
mencerminkan sosok orang yang bijaksana dan mempunyai pengetahuan dan pandangan
hidup yang luas, tanggap kebutuhan lingkungannya, waspada, berwibawa sehingga
disegani lawan-lawannya, kejam dan bengis demi keadilan, lembut cermin welas
asih sehingga dicintai rakyatnya. Rahwana segera mengambil keputusan yang bijak
untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran, dia hentikan peperangan antara
Alengka dengan Ayodya yaitu dengan cara mengalah pada peperangan melawan
Ramabadra yang bukan lawan sebenarnya bagi dia. Mengalah bukan berarti kalah,
tetapi ada alasan kemanusiaan yang menjadi pertimbangan, sehingga ada kebijakan
yang lebih penting untuk didahulukan. Rahwana ingat akan nasehat ibunda Sukesi
bahwa hakikat yang melatar belakangi berbagai peristiwa peperangan antar
manusia. Dia sadar bahwa setiap peperangan, pergolakan atau kekacauan yang
sering menumbalkan kehidupan manusia dan materi adalah akibat dari
persekongkolan kekuatan jahat terhadap kebenaran. Mereka inilah yang menutup
mata bangsa-bangsa dengan kaca mata setan sehingga mengabaikan ajaran-ajaran
dari Tuhan Yang Maha Kuasa yang benar.
Disebelah patung Rahwana adalah patung
Kumbokarno, gagah dan angker, postur tubuhnya tinggi besar sehingga orang manca
menyebutnya raksasa, tetapi jiwanya bukan raksasa. Sosok orang pemberani
berjiwa kesatria, saat berperang tidak pernah meninggalkan gelanggang, berbudi
luhur, jujur dan suka menolong siapa yang menderita kesusahan, Kumbokarno gugur
dimedan pertempuran sebagai pahlawan pembela bangsa dan tanah air Alengka,
terkena panah Guhawijaya milik Ramabadra pada saat Kumbokarno sibuk berperang
melawan Sugriwa.
Patung Prahasta,
meskipun rambutnya sudah memutih tapi tubuhnya yang bongsor masih tampak gagah,
Prahasta menjabat sebagai patih Alengka, ahli didalam tatanegara, dan ahli
perang dan berwibawa, sangat dicintai rakyat, juga disegani oleh rajanya karena
ia pemimpin yang bijaksana dan ambek paramarta, Prahasta terbunuh pada saat
berperang melawan beruk sakti bernama Anila, pada waktu itu Anila terbiri-birit
melarikan diri dikejar Prahasta dan bersembunyi masuk ketempat kuil pemujaan,
Prahasta mengikutinya, tapi karena ketaatannya akan tata cara dan tahu tata
susila setiap masuk ketempat pemujaan, kemudian Prahasta masuk dengan berjalan
jongkok sebagai rasa hormat kepada Yang Maha Kuasa maju mendekati batu Lingga
sebelum membekuk Anila, terlebih dahulu ia melakukan sembah dan sujud dikaki
Lingga. Prahasta tidak mengetahui kalau Anila bersembunyi dibalik batu Lingga,
Anila tidak melewatkan kesempatan untuk mencelakai Prahasta yang pada saat
itu ia sedang khusuk sujud dikaki batu
Lingga, dengan kekuatan penuh Anila mendorong batu Lingga yang besar dan
beratnya hamper dua ton itu hingga roboh dan menghantam kepala Prahasta yang sedang
khusuk sujud dibawah batu Lingga. Prahasta mati seketika, sedangkan batu Lingga
pecah terbelah, tak terduga muncul seseorang yang terbebas keluar dari rongga
batu Lingga yang terbelah seorang dewi, yaitu Dewi Windradi isteri Resi Gotama
dari gunung Sukendra yang telah mengurungnya karena menyembunyikan asal-muasal
Cupu Manik Astagina. Dewi Windradi kembali ke Kahyangan mengiringi nyawa
Prahasta masuk ke surga. Prahasta dalam semasa hidupnya hanya dibaktikan
dirinya untuk kepentingan bangsa dan negerinya, ia gugur sebagai pahlawan.
Patung Sarpakenaka,
sosok wanita yang melambangkan kemandirian, karirnya yang tak lazim yakni
menjadi wanita polisi dan prajurit, saat perang Alengka dengan Ayodya dia
sanggup menjadi senapati dalam peperangan, dan akhirnya dia gugur sebagai
pahlawan pembela bangsa dan negaranya. Kiprahnya di kepolisian dia dikenal
karena dedikasinya yang tinggi dan teguh pada prinsip, hanya beberapa gelintir
orang bisa dihitung yang seperti dia,
mempertahankan prinsip idealisme hingga akhir hayat seperti Sarpakenaka.
Banyak ditemukan orang-orang yang cenderung menggadaikan prinsip ketika
berbenturan dengan kepentingan dan keuntungan pribadi. Sarpakenaka adalah
seorang wanita yang disiplin, sikapnya yang demokratis juga melandasi
kehidupannya didalam bermasyarakat. Pengabdiannya sebagai aparat penegak hokum
dengan penuh cinta, dan bertanggung jawab dan ia tipe pemimpin yang bersahaja.
Ia tidak pernah membedakan orang berdasarkan kedudukan dan pangkat, ia tak
segan-segan turun kejalan mengemban tugas seorang polisi, tujuannya adalah memberi
teladan tentang inisiatif, motivasi dan kecintaan polisi akan tugasnya. Namun
Sarpakenaka adalah pemimpin yang tegas, pada bawahan yang lalai atau malas, ia
memberi teguran bahkan peringatan. Semua ia lakukan didalam tugasnya dengan
sedikit bicara dan lebih banyak kerjanya, ia langsung memberi contoh dengan
perbuatan kepada setiap bawahannya. Sarpakenaka adalah tokoh yang meneladani
arti kejujuran, sikap luhur yang patut dijadikan panutan oleh generasi penerus
bangsa, khususnya dilingkungan kepolisian Alengkadiraja. Sapakenaka sangat
bangga jadi polisi, sebagai penjunjung supremasi hokum, ia bertekat menegakkan
citra polisi ideal yaitu memulai dari dirinya sendiri.
Dan masih banyak
lagi patung-patung pahlawan yang dipajang didalam museum tersebut.
26
PURI DILEMBAH
RAHTAWU
Disebuah
pulau terpencil tampak Togog sedang membantu Prabu Rahwana mengawasi
pembangunan Puri baru untuk Prabu Rahwana bermukim nantinya. Letak Puri
tersebut dipilihnya dilembah gunung Rahtawu dipulau Muria. Setelah peristiwa
patiobong yang dilakukan Shinta maka sengaja Prabu Rahwana melakukan hijrah
kenegeri yang jauh dan menemukan sebuah pulau yang masih sepi yang belum ada
yang penghuninya. Kemudian menetapkan pulau tersebut menjadi wilayah
kekuasannya yang baru. Bersama Togog dibantu masyarakat setempat, ia mulai
membangun Puri sebagai pusat pemerintahannya yang baru nantinya.
Konon nama Puri
masih ada hingga jamannya ratu Shima di Kalingga bahkan sampai jaman sekarang,
banyak orang mengatakan letak Puri ada di kota Pati di pesisir utara Jawa
Tengah. Masyarakat disana adalah masyarakat yang jujur-jujur dan prigel ing
gawe, tidak ada pencuri dan masyarakatnya pantang mengemis. Demikianlah sifat
masyarakat Puri atau Pati khususnya dan masyarakat dikawasan Muria umumnya,
masyarakat tersebut dijaman sekarang masih banyak dijumpai di daerah Pati
Selatan yang dikenal dengan masyarakat Sedulur SIkep di Kecamatan Sukolilo
dilembah pegunungan Kendeng Pati.
Sementara itu
Prabu Rama Wijaya bersama para Resi menyertai Batari Sri melakukan penyerangan
ke Jonggring Saloka pusatnya Raja Dewata yaitu Batara Guru. Penyerbuan mendadak
membuat kalut pertahanan Jonggring Saloka. Batara Guru tidak menyangka bila
akan terjadi penyerangan di Kadewatan, dan benar-benar Jonggring Saloka tidak
ada persiapan untuk menghadapi serangan tentara Prabu Rama Wijaya yang didukung
Betari Sri dan para resi Gangga. Apalagi dibelakang itu didukung oleh Lurah
Semar alias Batara Ismaya saudara kandungnya. Delapan Laskar Dewa pun tidak
mampu menahan serangan-serangan dari Lurah Semar dan kawan-kawannya. Dan
akhirnya Jonggring Saloka berhasil diduduki Prabu Rama Wijaya dan Batari Sri.
Dan seluruh penghuni Kadewatan terusir keluar. Dan yang berkuasa di Kadewatan
sekarang adalah Batari Sri dan Prabu Rama Wijaya.
Delapan Lascar
Dewa melarikan diri dan terdampar dipulau Muria. Disana secara kebetulan mereka
bertemu dengan Prabu Rahwana dan karena ke Delapan Laskar Dewa pernah
berselisih dengan Prabu Rahwana gara-gara memperebutkan nyawa Shinta antara
Batara Yamadipati sipencabut nyawa dengan Prabu Rahwana yang menginginkan
dikembalikannya nyawa Shinta kejasadnya. Ketegangan dan kecurigaan terjadi,
Prabu Rahwana mengira Delapan Laskar Dewa berniat meringkus Prabu Rahwana
sebaliknya Delapan Laskar Dewa mengira Prabu Rahwana sengaja akan melanjutkan
peperangan yang pernah terjadi. Dan tidak saling babibu lagi perkelahian pun
terjadi. Satu orang melawan delapan orang, suatu perkelahian kroyokan yang
tidak seimbang.
Saat seru-serunya
perkelahian tiba-tiba datang seseorang untuk memisah, entah dari mana dia
muncul yang jelas ia seorang yang sakti nyatanya perkelahian antara Prabu
Rahwana dan Delapan Laskar Dewa berhasil dihentikan. Orang sakti itu adalah
Togog. Togog adalah penjelmaan Dewa yang ngejawantah kedunia, dulu ia adalah
seorang yang tampan tetapi sekarang berubah, wajah dan postur tubuhnya yang
buruk adalah akibat perilakunya sendiri yang tamak dan serakah, ambisinya ingin
menjadi raja dewata di Jonggring Saloka terpaksa harus berseteru dengan
saudaranya sendiri yaitu Semar. Rupa-rupanya Semarpun punya keinginan yang
sama. Mereka mengadu kesaktian untuk memperebutkan tahta tersebut, akibat
kesombongan pada diri mereka masing-masing kedua-duanya gagal untuk menelan dan
memuntahkan sebuah gunung segede gunung Semeru yang menjadi taruhannya. Dan berakibat keduanya rusak fisiknya
masing-masing menjadi buruk rupa.
Sang Hyang
Tunggal mengetahui perilaku mereka maka keduanya kemudian dihukum untuk turun
kemayapada menjalani hidup sebagaimana layaknya manusia biasa. Mereka diijinkan
kembali kekadewatan apabila mereka mau bertobat dengan menjalankan
kebajikan-kebajikan didunia dengan member tuntunan kepada manusia untuk
berperilaku yang baik dan tidak berbuat kejahatan serta tidak melanggar
aturan-aturan agama. Togog dan Semar turun kebumi dan mereka berpisah, Togog
menjalankan profesinya sebagai pamong pada pewayangan kiri, dan Semar menjadi
pamong pada pewayangan kanan. Dan oleh Sang Hyang Tunggal kerajaan kadewatan
Jonggring Saloka dipercayakan Batara Guru saudaranya Togog dan Semar.
….”stop,
stop…kalian jangan berkelahi lagi,….kalian salah paham, berhentilah
berkelahi…..ayolah Prabu Rahwana dan juga para Dewa duduklah dan ceriterakan
kepadaku, ada tujuan apa kalian datang kesini dan ujug-ujug tidak ada dang ding
dongnya kok kalian saling berkelahi,….coba kamu Batara Yamadipati
ceriterakanlah kepada kami duduk persoalannya!”…..
Panjang lebar
Batara Yamadipati menceriterakan kejadian kudeta tahta kadewatan Jonggring
Saloka yang dilakukan oleh Betari Sri dan Prabu Rama Wijaya dibantu para Resi,
dan melalui pertempuran yang sengit tapi akhirnya para dewa kalah karena
dibelakang mereka ada Lurang Semar yang sakti maka jatuhlah Jongring Saloka
ketangan Betari Sri dan para Dewa terusir keluar dari Kadewatan. Batara Guru
tidak jelas sekarang dimana keberadaannya dan Delapan Laskar Dewa tersesat dan
terdampar di pulau Muria ini.
Togog marah
mendengar laporan Delapan Laskar Dewa yang diwakili Betara Yamadipati,
….”Lurah
Semar ikut-ikutan urusan anak-anak kecil, keterlaluan sekali,….jangan jangan ia
belum jera dengan hukuman dari Sang Hyang Tunggal dan masih berambisi untuk
menguasai Jonggring Saloka,….tidak!....hal ini tidak boleh terjadi,…aku akan
datang untuk menghentikannya”..
Togog, menduga yang tidak-tidak terhadap
saudaranya Semar maka berniat untuk merebut kembali Jonggring Saloka dari
tangan tangan kotor yang tidak bertanggung jawab. Mereka telah melanggar
ketetapan Sang Hyang Wenang, artinya mereka telah berbuat makar dan hal ini
harus dihentikan.
….”
Delapan Laskar Dewa, kalian sementara bisa tinggal di Rahtawu pulau Muria ini,
bantulah Prabu Rahwana membuka alas Rahtawu dikawasan ini untuk keperluan
pemukimannya yang baru,….kemudian disini kita akan atur menentukan strategi apa
yang kemudian kita bias merebut kembali tahta Jonggring Saloka,….nah
hentikanlah kecurigaan kalian terhadap Prabu Rahwana demikian pula sebaliknya
Prabu Rahwana, sebenarnya kalian semua adalah menjadi korban dari ulah-ulah
mereka,….nah sekarang istirahatlah dulu dipadepokan sederhanaku di Rahtawu!”….
Delapan Lascar
Dewa terpaksa menuruti nasehat Togog untuk tinggal di Rahtawu. Dan disana
mereka membantu pembangunan sarana dan prasarana untuk permukiman baru di
Rahtawu. Delapan Laskar Dewa mencoba bergaul dengan Prabu Rahwana, lama
kelamaan mereka tahu akan sifat-sifat dan perilaku Prabu Rahwana yang
sesungguhnya. Tidak seperti yang mereka tuduhkan selama ini, ternyata Prabu
Rahwana orangnya bijaksana dan ramah sekali. Hanya yang menjadi tanda tanya
mereka adalah waktu pertemuan dengan Prabu Rahwana yang hanya bisa mereka temui
yaitu pada waktu malam saja. Pagi-pagi sekali Prabu Rahwana telah pergi entah
kemana, dan jelang malam sudah ada di Rah Tawu untuk menyelesaikan pekerjaannya
membangun Puri Rahtawu. Jadi terbalik kegiatannya dengan Delapan Laskar Dewa
dan Togog, yang mana mereka bekerja pada pagi harinya dan malam mereka
beristirahat.
Prabu Rahwana
atau Dasa Muka menamakan negerinya yang baru dengan nama Puri Rahtawu. Untuk
sementara Delapan Laskar Dewalah yang mengurus tata laksana kerajaan. Penduduk
pendatang mulai berdatangan mengisi kegiatan dinegeri tersebut.
Emigran-emigran
yang datang di Negara Puri Rahtawu ini ditilik dari asal-usulnya mereka bermacam-macam
bangsa, budaya dan agama, ada yang datang karena tekanan politik dari
negeri asalnya, ada yang karena tekanan ekonomi, ada yang memang mencari daerah
baru untuk mengembangan perdagangannya. Disini
mereka bergabung, berbawur, berasimilasi dan berjuang bersama, untuk tujuan
kesejahteraan. Sehingga munculah nilai-nilai sosial budaya baru dalam bentuk
ketatanegaraan yang baru dan pada puncaknya adalah mereka sepakat atau berikrar
untuk bersatu mendukung Negara Puri Rahtawu dan menjadikannya sebagai negeri
tumpah darahnya.
Masarakatnya pada
jaman itu awalnya ulet dalam menghadapi hidup dan bergairah. Kegagalan,
kesengsaraan dan bencana disadari dihadapi untuk diperbaiki. Rajin bekerja dan
berkarya, belajar akrab dan menguasai alam. Cita-citanya tinggi untuk maju
meraih kesejahteraan. Mereka bisa berorientasi kesesamanya dengan menilai tinggi
kerjasama dengan lain tanpa meremehkan kwalitas individu, dan tanpa menghindari
tanggung jawab sendiri. Mereka itulah yang selanjutnya menyebut dirinya
sebagai pribumi-pribumi di Negara Puri Rahtawu.
27
RAMA TAKLUK,
TERBONGKARNYA KEDOK
Semakin
jelas motif peperangan merambah sampai ke Kadewatan. Sakit hatinya Batari Sri
kepada Batara Guru, dan ia berhasil memperalat Rama Wijaya beserta pasukan
Ayodya dan Semar untuk membantunya menyerang Jonggring Saloka. Dan berakhir
Jonggring Saloka porak poranda dan jatuh ditangan Batari Sri. Para dewata
diusir keluar dari Jonggring Saloka kecuali Batara Guru dikurung didalam
tahanan dibawah tanah.
…..”Hentikanlah
kekacauan ini Betari Sri,…..tidak ada gunanya kamu melakukan makar seperti ini,
tindakanmu berakibat kerugian dan kesengsaraan bagi semua mahkluk dialam
semesta ini,…kutukan itu tidak akan berhenti bila kamu terus-menerus melakukan
kejahatan-kejahatan seperti ini,….aku tidak akan mengapuni engkau sampai
kapanpun kalau kamu tidak mau menghentikannya, sebetulnya batas kutukan itu
hamper rampung waktunya, sayang kamu tidak sabar sedikit untuk menyelesaikannya
.”….
Demikian ucapan Batara Guru kepada Batari Sri
sebelum ia digelandang masuk kedalam tahanan. Menilik kata-katanya nampaknya
ada sesuatu masalah diantara mereka berdua yang berbuntut perseteruan dan
dendam diantara mereka berdua.
…..”Tidak,….
kanda Batara Guru telah ingkar,….aku tahu sengaja engkau singkirkan aku ke
dunia, agar kakanda Batara Guru bebas mencari daun-daun muda yang lebih cantik
dariku,….hanya persoalan kecil sengaja kakanda ciptakan “jalaran” untuk
menyingkirkanku,….dengan alasan aku tidak mau melayani kanda untuk bersetubuh
diatas tunggangan kita Lembu-andini,….ketahuilah aku ini bukan tipe murahan yang bisa kakanda Batara Guru
rendahkan derajadku bagaikan hewan-hewan liar dipadang sabana,….kakanda Batara
Guru marah dan menghambur kutuk kepadaku sehingga aku menjadi bulir-bulir
padi,….dan ingat janji kakanda bahwa aku akan terbebas dari kutukan apabila aku
bisa tumbuhkan padi dan berhasil
memakmurkan bangsa-bangsa ditanah Jawa, maka aku akan bisa pulang kembali
sebagai Dewi Uma sebagai permaisuri dan ratu Kadewatan yang menguasai para
betari di Kahyangan,…….tetapi apa yang terjadi, selama aku terbelenggu didunia
aku mendengar berita bahwa kakanda Betara Guru bersenang-senang dengan seorang
wanita yang buruk rupa yaitu Dewi Anjani disebuah kolam,…..aku tahan-tahan
sakit hatiku,….. dan waktu kutukanmu berakhir, aku kembali menjelma sebagai
Dewi Uma,…… namun pintu Kahyangan telah kakanda pasang rapalan sehingga aku
sulit untuk memasukinya, dan bagiku semakin jelas niat buruk
kakanda,…kakanda telah melupakanku
apalagi untuk menjemputku kembali, …maka mulai detik ini kakanda bukan seorang
raja Dewata….nah sekarang terimalah pembalasanku,….hai pengawal bawalah Batara
Guru ketahanan bawah tanah dan jangan beri makan atau minum tanpa ada
perintahku,”….
Dengan geram Batari Sri yang adalah penjelmaan
Dewi Uma yaitu mantan permaisuri Batara Guru memerintahkan pengawalnya membawa
Batara Guru dimasukkan ke tahanan bawah tanah. Marah tapi tidak berkutik dan
tanpa perlawanan Batara Guru tunduk kepada perintah isterinya yaitu Dewi Uma
atau Batari Sri diseret pergi dengan diborgol dengan kawalan ketat menuju
tahanan.
Jauh di Puri Rah
Tawu, Prabu Rahwana dan Togog, dihadiri juga Delapan Laskar Dewa sedang
merundingkan rencana-rencana merebut kembali Jonggring Saloka dari cengkeraman
Betari Sri atau Dewi Uma, Prabu Rama Wijaya bersama komplotannya yaitu Resi
Wasista, Resi Mitra dan kawan-kawannya para resi Gangga. Disepakati mereka
berbagi tugas untuk melawan musuh sesuai tingkat kesaktian yang mereka miliki.
Prabu Rahwana sanggup untuk berhadapan dengan Prabu Rama Wijaya, Togog akan
berhadapan dengan Semar dan Delapan Laskar Dewa akan memimpin tentaranya
menghadapi tentara-tentara Ayodya dibawah komando Rama dan para resi.
Dan pada hari
yang telah ditentukan, berangkatlah pendekar-pendekar Puri Rahtawu yaitu Prabu
Rahwana, Togog dan Delapan Laskar Dewa disertai beberapa pasukan handal menuju
ke Jonggring Saloka. Tampak didepan gerbang Jonggring Saloka telah dijaga ketat
oleh pengawal-pengawal pilihan dari Ayodya, disana terlihat Resi Wasista dan
Resi Mitra sedang mengatur anak buahnya.
Maka tidak usah
menunggu komando lagi, segera Delapan Laskar Dewa langsung melabrak mereka.
Pertempuran terjadi, terompet dan genderang peperangan berbunyi bersaut-sautan
member isyarat bahwa Jonggring Saloka dalam keadaan bahaya telah diserbu
Delapan Laskar Dewa. Pintu gerbang berhasil dibuka, maka masuklah pendekar-pendekar
Puri Rahtawu yang semakin membuat kuwalahan para resi untuk menahannya.
Lurah Semar
keluar setelah mendengar keributan-keributan diluar, disana ia bertemu dengan
Togog, pada masing-masing muncul kecurigaan akan keinginan berkuasa di
Jonggring Saloka. Semar dan Togogpun kembali berselisih pendapat, mereka lupa
akan kesepakatan masa lalu bahwa tidak akan bertengkar lagi dalam situasi
apapun mengingat mereka adalah bersaudara dan juga seorang pamong.
…..”Togog,……pergilah,…..dan
jangan kembali lagi, tinggal saja dipadepokanmu,…Jogring Saloka adalah milik
aku, dan akulah tercipta dari bagian telur yang paling mula, dan akulah
saudaramu yang tertua oleh karena itu akulah yang berhak menduduki tahta
Jonggring Saloka,…pergilah kamu dan jangan ganggu aku,”…..
Lupa dan dikuasai nafsu, kembali keduanya
menginginkan kedudukan sebagai raja dewa, dan kembali keduanya berkelahi
memperebutkan tahta Jonggring Saloka, sehingga menambah keruhnya suasana.
Mengetahui situasi yang demikian maka Rahwana pergi meninggalkannya.
Delapan Laskar
Dewa menjadi kuwalahan menghadapi serangan serangan dari Resi Wasista, Resi
Mitra dan keroyokan para resi Gangga. Tetapi penyerbuan ke Jonggring Saloka
meskipun Prabu Rahwana tidak ada, tiba-tiba muncul seorang kesatria datang
bagaikan dewa penolong bergabung membantu Delapan Lasakar Dewa bertempur
melawan para resi. Pahlawan tersebut adalah R.Sapanyana seperti banteng ketaton
bertempur melawan tentara Ayodya yang dipimpin Prabu Rama Wijaya. Dan akhirnya
Batari Sri dan Resi Wasista dan Resi Mitra berhasil diringkus. Sedangkan Prabu
Rama Wijaya berusaha melarikan diri turun ke Mayapada untuk meminta bantuan
Prabu Barata di Ayodya.
Mengetahui
gelagat yang tidak baik maka R.Sapanyana memburu Prabu Rama Wijaya serta
pasukannya yang berusaha melarikan diri meninggalkan Jonggring Saloka, terjadi
perlawanan yang sengit dan sempat Prabu Rama Wijaya memukul wajah R.Sapanyana
sehingga mengakibatkan terlepasnya topeng baja penutup muka R.Sapanyana, maka
tebukalah kedok R.Sapanyana. Siapa sebenarnya R.Sapanyana ????
Ia adalah Prabu
Rahwana dalam samaran, setelah topeng penutup mukanya terbuka maka ketahuanlah
siapa sebenarnya R.Sapanyana. Mengetahui siapa yang menjadi lawannya, Prabu
Rama Wijaya keder hatinya, ia tidak menyangka kalau Prabu Rahwana masih hidup.
…..”Ramabadra,
sekarang saatnya yang cocok kita menentukan hidup dan mati kita,….dulu sengaja
aku mengalah karena pertimbangan kemanusiaan, agar semua tidak ikut menjadi
korban dari kebengisanmu, dan sekaranglah saatnya kamu dan kejahatanmu akan
terkubur disini, ayo hadapi aku Rahwana yang siap melumatmu,”…..
Pada saat Prabu
Rama Wijaya terbengong-bengong memikirkan kehadiran Prabu Rahwana, sehingga
membuatnya ia lengah dan tahu-tahu pukulan keras dari Prabu Rahwana tepat
diwajahnya yang membuat matanya berkunang-kunang dan kemudian ia tak sadarkan
diri. Pada saat Prabu Rahwana akan menghujamkan pedangnya ke ulu hati Prabu
Rama Wijaya, tiba-tiba ada tangan kuat memegang pergelangan tangannya menahan
niat buruknya untuk mengakhiri hidup Prabu Rama Wijaya.
….”Jangan,
belum waktunya Ramabadra mati, …lepaskanlah pedangmu, dan bersihkanlah
pikiranmu dari sifat-sifat pendendam karena hal itu tidak bakal menguntungkan
dirimu bahkan akan merugikan didalam bobot karmamu dikemudian hari,”….
Tangan itu adalah Sang Hyang Tunggal yang
sengaja datang untuk mengakhiri peperangan di Jonggring Saloka.
Semua yang berada disana begitu melihat
kehadiran Sang Hyang Tunggal kemudian bergegas bersujut melakukan penghormatan
kepada Dewa tertingginya. Tidak terkecuali Semar dan Togog segera menghentikan
perkelahiannya, cepat-cepat keduanya merebahkan diri dan bersujud memberikan
penghormatan kepada Sang Hyang Tunggal.
Kemudian Sang
Hyang Tunggal memerintahkan semua untuk mengakhiri peperangan di Jonggring
Saloka, dan memerintahkan semua orang yang tidak berhak tinggal di Jonggring
Saloka untuk pergi meninggalkan Jonggring Saloka turun ke Mayapada. Akhirnya
Prabu Rama Wijaya beserta pasukannya menyerah dan dia berserta tentaranya
dilucuti persenjataannya dan kemudian ditawan digiring ke Alengka Merdika untuk
diadili.
28
PERTEMUAN
DENGAN BUAH HATI
Diluar
Negeri Ayodya, dimana Anoman sang putera Batara Guru dengan Ratna Anjani
ibunya, sadar setelah mengetahui rencana-rencana Batari Sri dan Prabu Rama
Wijaya akan melakukan penyerangan ke Jongring Saloka untuk merebut tahta
ayahnya yaitu Batara Guru. Maka secara diam-diam Anoman ingin menggagalkan
rencana-rencana mereka.
Pertama-tama yang
ia lakukan adalah mengasuh dan membina Trigangga putera Prabu Rahwana dengan Dewi
Urang Ayu yang beranjak dewasa. Kemudian sengaja Anoman menghindar dan pergi
jauh kepedalaman bersama Trigangga agar tidak mudah dicari Prabu Barata.
Rupa-rupanya Anila dan Anggada punya pendirian yang sama denga Anoman, maka
tanpa sepengetahuan orang tuanya yaitu Prabu Sugriwa keduanya pergi jauh
berkelana.
Ketika Prabu Rahwana akan melakukan penyerangan ke Ayodya untuk
menundukkan Prabu Barata dan sekutunya, diperjalanan terhalang dengan urakannya
anak kecil yang bernama Trigangga. Trigangga bermaksud menghalangi penyerbuan
Alengka ke Ayodya, sehingga Prabu Rahwana menjadi murka. Trigangga diangkat dan
kemudian dilemparnya ke lautan. Tetapi Anoman mengetahui apa yang telah Prabu
Rahwana lakukan. Dijelaskan kepada Prabu Rahwana bahwa bocah yang diangkat dan
dilemparkannya itu sebenarnya adalah putera kandung Prabu Rahwana sendiri dari
ibu permaisuri Dewi Urang Ayu yang telah meninggal saat melahirkan Trigangga.
Prabu Rahwana kaget dan sangat menyesal akan sikapnya, segera sang Prabu terjun
kelaut mengejarnya untuk menyelamatkan buah hatinya. Beruntung Trigangga
berhasil diangkat dari air dan berhasil diselamatkan dari kematian.
Dipeluknya Trigangga erat-erat sambil memohon ampun kepada Yang Maha
Kuasa dan menyatakan penyesalannya bahwa hanpir saja ia akan mencelakai darah
daging sendiri. Kemudian kembali dipeluknya Trigangga erat-erat seraya mohon
maaf atas kesalah pahaman yang terjadi, dan Trigangga tersenyum bukti telah
memaafkannya. Prabu Rahwana dan Trigangga gembira sekali, anak dan bapak
bergandengan tangan dengan ceria.
Anoman melihat dari kejahuan sambil menangis haru campur senang
menyaksikan pertemuan mereka yang tak terduga. Rakyatpun ikut gembira
menyaksikan pertemuan anak dan orang tuanya yang lama telah berpisah, maka laut
dimana Trigangga telah diceburkan Prabu Rahwana mereka sebut dengan nama muara
Silugangga, dan nama tersebut abadi hingga sekarang (dijaman sekarang orang
menyebutnya dengan bengawan Silugangga atau Sungai Juana).
29
PERDAMAIAN
DAN PERADILAN
Bila
dipertanyakan, siapakah sebenarnya yang menang dalam peperangan antara Ayodya
dan Alengka??. Kiranya jawaban yang benar adalah, kedua-duanya kalah, karena
sama-sama mengalami kehancuran yang besar. Kesemuanya itu mestinya tidak perlu
terjadi, seandainya perselisihan antara keduanya bisa dimusyawarahkan dan
diselesaikan sendiri tanpa ada campur tangan dari pihak Resi-resi Gangga dari
negeri India untuk intervensi sehingga menjadikan keruhnya permasalahan.
Dan betapa
pulakah airmata ini tidak runtuh, melihat banyak korban-korban bermula pada
wanita-wanita yang dilecehkan yang kemudian menimbulkan peperangan yang
berakibat terbunuhnya anak-anak mereka, demikian pula berjatuhan korban-korban
yang katanya berdalih membela kebenaran, mereka yang ditinggal mati oleh bapak
ibunya, isteri-isteri yang ditinggalkan suaminya. Mereka jadi korban peperangan
yang keji pada peperangan Ramayana dan Mahabarata yang dicetuskan oleh tangan
bangsa sendiri karena pengaruh pihak-pihak lain yaitu para Resi-resi Gangga,
dan akhirnya Ayodya dan Alengka mengalami kehancuran dan rakyatnya menderita.
Alengka Merdika
kini kembali tenang dan damai dibawah raja-barunya yaitu Prabu Trigangga yang
bijaksana menggantikan ayahnya yaitu Prabu Rahwana.
Sedangkan
Jonggring Saloka sementara dipegang langsung oleh Sang Hyang Tunggal yang
kemudian menggelar perdamaian antara Semar, Togog, dan para Dewa kecuali Dewa
dan Dewi yang telah berbuat kekacauan di Mayapada diantaranya adalah Batara
Guru, Batari Sri, semuanya mendapatkan hukuman dari Sang Hyang Tunggal, yaitu turun
ke Mayapada hidup sebagai brahmana selama 1000 tahun lamanya.
Setelah selesai
memberikan keputusan-keputusan itu, kemudian Sang Hyang Tunggal memanggil
Batara Kala yaitu putera Batara Guru yang telah disia-siakan untuk datang
menghadap, dan kemudian untuk sementara pimpinan para Dewa-dewi di Jonggring
Saloka dan Kahyangan diserahkan kepadanya.
Batara Kala
adalah hasil ulah Batara Guru yang suka melakukan onani untuk mengumbar
syahwatnya sehingga airmaninya terhambur dan tercecer jatuh di Samudera Hindia
yang kemudian menjelma menjadi seorang bayi yang konon selalu didalam
mitos-mitosnya di diskreditkan sebagai bayi yang menyebabkan sukerta dan petaka
dunia. Benarkan seorang bayi yang suci bisa dianggap membuat petaka didunia?
Jongring Saloka
kembali tenang, Delapan Laskar Dewa ikut mendukung kebijakan-kebijakan rajanya
yang baru yaitu Batara Kala, menjaga ketenteraman alam semesta. Dia menghukum
kepada para orang tua orang tua yang suka menelantarkan anak-anaknya, dia
menghukum anak-anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya, dia menghukum
manusia-manusia yang membuat kerusakan didunia. Dan Sang Hyang Tunggal kembali
kelangit sebagai Dewa Tertinggi di alam semesta.
Dan Prabu
Trigangga menjatuhkan hukuman kepada Rama Wijaya, Lesmana, Wibisana yaitu hukuman
kerja paksa dan tinggal dalam pengasingan seumur hidup dan kastanya diturunkan
sebagai rakyat biasa yaitu golongan sudra……Sedangkan Prabu Barata, Prabu
Danaraja putera, Prabu Janaka dan Prabu Sugriwa boleh tetap memerintah
negerinya dan diampuni kesalahannya dengan suatu syarat yaitu diwajibkan
membayar pampasan perang sebagai ganti kerugian materi kepada Negeri-negeri
Perdamaian disamping itu punya kewajiban melakukan reboisasi di wilayah
Mahendra dan perbaikan lingkungan pada sarana-sarana yang pernah dirusaknya
dalam tempo 20 tahun. Anoman diberi penghargaan karena berjasa membesarkan
Trigangga dan diberi tanah perdikan yaitu didaerah Bali, disana ia dirajakan
dan dipuja-puja oleh penduduk setempat.
Bagaimana
tugas-tugas selanjutnya dengan Semar dan Togog? Sang Hyang Tunggal memberikan
peringatan pada mereka, sebab sedikit banyak mereka lalai menjalankan tugasnya
sebagai pamong atau punakawan di Mayapada, oleh karena itu Sang Hyang Tunggal
menukar kedudukan tugas mereka di Mayapada. Yaitu masih dalam penugasan tetap
sebagai pamong atau punakawan. Semar ditugaskan sebagai pamong pada masarakat pakeliran
kiwo (kiri) dan sebaliknya Togog mendapat tugas pada masyarakat
pakeliran tengen (kanan).
30
HIDUP
BAHAGIA
Bagaimana
dengan prabu Rahwana atau Prabu Dasa Muka? Dia hidup bahagia bersama Shinta di
negeri yang jauh, yaitu negeri Puri Rahtawu dipulau Muria. Hidupnya hanya
diabdikan untuk kepentingan masyarakat, setiap bulan Sura mereka turun untuk
membantu orang-orang fakir miskin dan masyarakat yang membutuhkan bantuannya
baik materi ataupun non materi seperti berbagi pengalaman dan pengetahuan
dengan harapan masyarakat tesebut akan menjadi maju.
Shinta? Bagaimana
kisahnya dia bisa bertemu kembali dengan Prabu Rahwana? Lima tahun yang lalu
sewaktu Prabu Rahwana berada diruang menara Puri yang tertinggi, Prabu Rahwana
merasakan semilirnya angin gunung Rahtawu
berembus lewat jendela-jendela teralisnya. Pada saat menikmati kesejukan
angin gunung Prabu Rahwana mendengar ada
suara orang sayup-sayup tertangkap ditelinganya, suara tersebut sepertinya
memanggil-manggil namanya. Sekali lagi dipasang telinganya lebar-lebar dan
dikonsentrasikan pendengarannya kearah datangnya suara, maka yakinlah bahwa ada
seseorang yang sedang memanggil-manggil nama Prabu Rahwana.
Tentang gelombang suara, ilmuwan mengatakan bahwa, gelombang suara yang
muncul pada saat kita berbicara, gelombang suara yang telah keluar dari
sumbernya itu akan berjalan keluar dengan kekuatan tertentu yang merambat semakin menjauh akan
tertangkap telinga semakin lemah. Akan tetapi gelombang suara tersebut tidak
berhenti dan akan terus berjalan menembus dari waktu ke waktu dan akan menumpuk
terekam dilapisan eter dialam semesta ini dan tersusun bagaikan kue lapis atau
tekstur pada lingkaran tahun pada batang tua kayu jati.
Naluriah tingkah laku binatang disebabkan jawaban indera binatang
terhadap rangsangan alam sekitar sehingga Kumbang, lebah atau tawon, semut,
ngengat adalah binatang golongan serangga, yang punya kehidupan yang unik.
Dengan antenanya yang sensitif terhadap sentuhan dan bau bisa mendeteksi dimana
ada mangsa atau makanan dan juga bisa mengirim sinyal-sinyal ke kelompoknya
tentang keberadaannya bahwa dia telah menemukan makanan agar bisa ditindak
lanjuti untuk mengangkut makanan tersebut kesarangnya, dengan antenanya
singengat jantan dapat mengetahui betinanya pada jarak lebih dari 1,5 km.
Kemudian binatang yang lain seperti kelelawar, kalong , burung-burung
yang terbang mencari mangsanya pada malam hari yang gelap gulita, juga pada tubuhnya dilengkapi indera-indera
istimewa semacam radar yang bisa mendeteksi obyek-obyek sasaran yang
dikehendaki, sehingga dalam perburuan mangsanya atau perjalanan terbangnya dia
terhindar dari tubrukan, jatuh kelewat pada saat mau hinggap diranting atau
salah arah pada tujuan mau pulang kesarang.
Adalagi keistimewaan pada ikan-ikan disungai di Afrika yaitu jenis
knifefish menggunakan medan listrik yang memancar dari ditubuhnya untuk dapat
mengetahui obyek baik mangsa maupun arah sampai sejauh 2 m, kemudian ikan-ikan
dilaut, diantaranya adalah belut listrik yang hidup diprairan yang dalam, belut
listrik ini dilengkapi pertahanan dalam tubuhnya untuk berburu atau menangkal
serangan-serangan dari musuhnya dengan kekuatan pancaran listrik atau strum penyengat yang keluar dari tubuhnya, sehingga
musuh yang mendekat mengganggunya akan pingsan bahkan bisa mati kesetrum
listrik yang berkekuatan hampir mencapai ribuan volt.
Para ahli meneliti, bahwa rupanya sibelut pada saat terancam bisa
dengan segera mengkonsentrasikan listrik negatip dan listrik positip yang ada
pada tubuhnya dan akan berubah menjadi sengatan apabila tubuhnya disentuh oleh
musuhnya. Mirip apa yang dilakukan orang mencari ikan disungai dengan membawa
batery (accu) dipunggungnya dihubungkan dua kabel yang satu bermuatan listrik
positip dan yang lain bermuatan listrik negatip, kemudian dijulurkan kearah
gerombolan ikan menjadi obyeknya diair dan ikan-ikan tersebut pada pingsan
karena tersengat listrik, itulah cara untuk menangkap ikan dengan disetrum. Dan
masih banyak lagi seperti ikan salmon dengan penciumannya dapat melacak kembali
ketempat kelahirannya yang jaraknya ribuan km.
Sedangkan manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang paling
sempurna diantara makhluk-makhluk ciptaannya yang lain. Artinya apa, diantara
manusia-manusia yang hidup didunia ini, ada diantaranya yang memiliki kemampuan
kemampuan yang dimiliki makluk-makluk seperti tersebut diatas, salah satunya
adalah Prabu Rahwana, orang dulu mengartikan sebagai daya linuih atau
kesaktian-kesaktian bisa dalam bentuk reiki, tenaga dalam seperti ginkang dan
leukang, ajian brajamusti, atau ajian-ajian lain yang lazim orang menyebut ilmu
energy gaib atau tenaga prana,.
….”Prabu Rahwanaaaa, tolonglah aku…..Shinta
dalam kesulitan….tolonglah aku Prabu Rahwanaaaa !!”……
Prabu Rahwana gusar dan gundah hatinya setelah
diyakini ada orang yang memanggil-manggil minta pertolongan dirinya,
…..”Shinta, benarkah itu suara
Shinta……benarkah Shinta memanggil aku….Shintaaaa….Shintaaa…dimanakah kamu….tunggulah
aku….
Aku
Rahwana…….Shintaaa……..aku Rahwana segera datang!”……
Tanpa berpamitan
dengan Togog, Prabu Rahwana langsung melesat keudara bagaikan burung alap-alap
mencari mangsanya. Dengan penglihatannya yang tajam dan pendengaran yang peka
Prabu Rahwana terus mengikuti arah datangnya gelombang suara Shinta. Pantulan
–pantulan suara yang tertangkap bermacam-macam, namun dengan ketajaman inderanya Prabu Rahwana berhasil memilah
suara Shinta dari suara-suara lain yang terpantul dialam raya ini.
Instingnya
membawa Prabu Rahwana terbang kearah hutan Dandaka, dan suara Shinta semakin
jelas tertangkap di telinganya.
….”Lho, suara itu dari arah bangunan tua
ditengah padang rumput dibawah,….aku ingat itu adalah silo tua….beberapa tahun
yang lalu aku telah menolong Shinta disana,….lho, siapakah orang yang tergolek
diatasnya,….sepertinya seorang wanita,….jangan-jangan itu adalah Shinta….ohh,
benar itu Shinta….Shintaaa, Shintaaa…..apa yang terjadi denganmu sayang?”….
Prabu Rahwana cepat-cepat menukik turun dan
mendarat diatas silo tua dihampirinya Shinta yang tergolek tak sadarkan diri,
…..”Shinta, Shinta sayangku……bangunlah
sayang,….. apa yang terjadi, siapa yang berani menganiaya kamu,….bangunlah
saying, bangun……kamu aman Shinta, Rahwana ada disampingmu…..bangunlah!”……
Prabu Rahwana tidak sabar, dan segera
tangannya yang kekar itu segera mengangkat tubuh Shinta dan cepat-cepat
membawanya terbang keangkasa, melesat menuju kelembah Rahtawu yang menurutnya
adalah tempat yang aman untuk menolong Shinta.
…..”Shinta, cintaku bangunlah,….janganlah
mati,…..bangunlah dindaku, Rahwana akan melindungimu sayang,”…..
Sambil menggendong Shinta menuju ke Puri,
Prabu Rahwana menangisinya sambil ndremimil menyadarkan Shinta. Air mata
lelakinya mengalir deras, Rahwana menangis. Derasnya air mata yang keluar
menetesi wajah Shinta, dan ajaib air mata itu membuat Shinta sadarkan diri,
Shinta bergerak-gerak dan membuka matanya. Prabu Rahwana gembira sekali,
didekap erat-erat tubuh Shinta, sehingga tubuh yang ramping itu sepertinya terselimuti
oleh tangan-tangan Rahwana yang kekar,
….”Prabu Rahwana,…..Prabu Rahwana, tolonglah
hamba,…..Shinta sangat membutuhkan paduka,….benarkah orang yang mendekapku
adalah paduka,”….
Rupanya Shinta masih mengigau, ia belum sadar
benar dan belum yakin bahwa orang yang berada didekatnya adalah benar-benar
Prabu Rahwana.
…..”Dinda Shinta sadarlah…..Rahwana ada
disampingmu, ayo bukalah matamu,….Shinta sayang!”….
Togog
memperhatikan adegan mesra dari momongannya Prabu Rahwana dan Dewi Shinta.
…..”maafkan
hamba,….ternyata hamba baru tahu apa itu yang dimaksud “cinta”…..hamba berusaha
mengusir sosok bayangan paduka,…..tapi ternyata hamba tidak kuasa,…bahkan hamba
sangat merindukannya, dekaplah hamba Paduka,….dan lindungilah hamba selalu,
hamba akan abdikan jiwa dan raga ini buat paduka,”…..
Dan,….”Jangan
tinggalkan aku lagi ya kakanda Prabu Rahwana, aku akan setia melayanimu,”…..
Suara Shinta sedikit merayu kepada Prabu
Rahwana, dan diluar sana terdengar,
…..”Ehem,…ehem…mana
tahan,”…..Suara Semar, mendehem-dehem, kakinya gatal
dikerubut nyamuk…kale? Rupanya Semar bersama keluarga besarnya yaitu Petruk,
Gareng dan Bagong telah meninggalkan Karang Tumaritis dan hijrah bergabung
dengan Prabu Rahwana,dan selanjutnya mereka tinggal dipadepokan Tempur yaitu
dipuncak gunung Wukir Rahtawu menggantikan Togog yang telah dimutasikan
kepakeliran kanan dan selanjutnya tinggal di Karang Tumaritis.
NING NONG NING GUNG……NING NONG NING GUNG……..
TAMAT
TANCEP
KAYON
|
TENTANG PENULIS
HENKY B HERNOWO,
lahir di Kota Pati, jawa Tengah pada tanggal 11 Juni 1950. Disiplin ilmu /
profesi sebagai Arsitek. Ayah dari 2 orang putera dan 2 orang puteri.
Kiprahnya di Industri Konstruksi dan Konsultan
Teknik (1976-2002). Semasa sekolah aktif di Kepanduan / Pramuka di Pati.
Hobinya pada tanaman disalurkan dibidang agrobisnis di Kopeng dengan budidaya
Jamur dan tanaman hortikultura (2003-2007). Dikala senggang, ia melampiaskan
kegemaran dan bakatnya dikanvas untuk melukis dan tulis menulis. Selain menulis
buku ini, Penulis telah menulis buku-buku diantaranya;
1.
EKOR SANG NAGA.
2.
DASA MUKA BANGUN.
3.
GEMA BEDUG SAM PO KONG HINGGA WALI SANGA.
4.
KABAR GEMBIRA DARI CATATAN A HONG.
5.
KASTO BLANDONG.
6.
KENANGAN MANIS GUGUS DEPANKU
7.
MISTERI KALI OPAK.
8.
PANDU TUA
9.
PINTU GERBANG MAJAPAHIT.
10. PRAGOLA PATI
11. PUNTUNG MENYALA
BHUMI MATARAM TERBAKAR
12. RUMPUN TUMBUH
DISEMBILAN MATA AIR.
13. SABDA WAYANG
14. TRAGIKOMEDI
MILLINIUM.
15. DLL.
Kini Penulis tinggal di Banyumanik, Semarang
Jawa Tengah dirumah hadiah dari anak-anaknya, menghabiskan hari-tuanya bersama
isteri tercinta Tan Giok Nio.=
0 comments: